Beragama tidak terbatas pada taklidnya manusia kepada norma dan dogma. Kepatuhan pada otoritas agama hanya satu bentuk ekspresi yang alami dari aktivitas beragama kita. Alamiah tentu saja, namun tidak selalu membawa berkah.
Ekspresi "kepatuhan" hanya bisa dipandang sebagai satu bentuk yang lumrah, bukan satu-satunya yang sah. Mengira agama sebagai metode menundukkan akal di hadapan otoritas seperti teks dan tokoh, mungkin telah mengkerdilkan visi dan potensi agama yang jauh lebih besar.
***
Segelintir pemikir pemberani pernah muncul untuk membuktikan visi agama yang jauh lebih besar, Dan mereka muncul di sini, di wilayah kepulauan Nusantara, di Bumi Indonesia.
K.H. Hasyim Asy'ari mungkin lebih mudah dikenang sebagai agamawan terkemuka, perwujudan dari teori otoritas dan kepatuhan pada tokoh.
Faktanya, ia lebih dari itu. Kiyai Hasyim dan jaringan kiai yang ia bangun, juga menunjukkan sisi lain dari agama: Perlawanan.
Bermula dari perlawanan terhadap langkah-langkah Keluarga Saud dan klerik Wahabiyah merusak situs historis Islam di kawasan Hijaz, hingga perlawanan gagah berani jaringan kiai dan santri terhadap penyiksaan dan penindasan kolonialisme Belanda.
Berpuluh tahun kemudian, K.H. Abdurrahman Wahid meneruskan jejak perlawanan K.H. Hasyim. Baik ketika menjabat presiden Indonesia, maupun ketika bergerak sebagai intelektual publik, Gus Dur berada di barisan paling depan pembela hak-hak asasi masyarakat minoritas.
***
Mohammad Hatta, jenius ekonomi dan politik dari Sumatera Barat juga menunjukkan ekspresi lain dari agama: Keadilan Sosial dan Persatuan Nasional.
Seturut pengakuan Bung Hatta dalam buku "Demokrasi Kita", teori ekonomi koperasi yang ia ciptakan didasarkan pada praktik masyarakat Nusantara yang komunal, bergotong royong, dan berjiwa keadilan sosial.
Kata Bung Hatta, karakter kerja sama dan berkeadilan itu disuntik oleh nilai persatuan insaniyah dan nilai keadilan ilahiyah yang diajarkan oleh agama seperti Islam.
Tanpa menyebut bahwa dirinya juga terlibat, menurut Bung Hatta, para pendiri bangsa ini sadar sedari lubuk hati terdalam bahwa kemerdekaan nasional diperoleh berkat rahmat Allah. Bapak ekonomi kita ini berargumentasi bahwa bagi Indonesia, nasionalisme tak lepas dari moral; dan asas moral adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
***
K.H. Ahmad Dahlan juga membuktikan sisi yang lain dari ekspresi beragama: Mematerialkan Visi Wahyu.
K.H. Darwis (nama lahir Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis) sering digambarkan sebagai agamawan yang sangat ketat dalam berdalil, amat begitu menekankan metode kepatuhan pada dua teks suci: Quran dan hadis. Faktanya, ia lebih daripada itu.
Dengan diikuti oleh murid-muridnya, Kiai Darwis membuktikan bahwa teks suci tidak bisa berhenti sebagai tulisan dan hafalan. Menurut ia, visi wahyu untuk menciptakan pendidikan, kesehatan, keadilan, dan kekayaan harus termaterialisasi.
Oleh karena itulah agama bagi Kiyai Darwis harus terbangun dalam wujud sekolah, panti yatim, dan rumah sakit; dan juga harus termanifestasi dalam lembaga-lembaga inti masyarakat: negara, peradilan, dan pasar.
Berpuluh tahun kemudian, jiwa keadilan dan materialisasi Islam Muhammad Darwis hidup lagi di diri Buya Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii giat mendorong bangsa ini untuk (1) melawan korupsi, (2) meninggalkan sektarianisme. Buya ingin Islam dapat dilihat (materialized) dalam perilaku antikorupsi dan sikap bertoleransi.
***
Ekspresi beragama yang berbeda dari taklidisme dan kepatuhan ditunjukkan juga oleh Nurcholish Madjid. Sewaktu memimpin HMI dua periode di era 1970-an, Islam di masa Cak Nur telah terbiasa menjadi ideologi pergerakan.
Islam saat itu mempunyai Masyumi, partai politik yang paling menginginkan supremasi Islam dalam segala hal. Suasana batin tokoh-tokoh Islam saat itu terangkum dalam pandangan bahwa Islam adalah segalanya, solusi atas semua permasalahan.
Di hadapan besarnya dinding pembela kepatuhan tersebut, Cak Nur menunjukkan wajah lain dari agama : Pembaruan.
Dengan berani ia berorasi bahwa kesegaran Islam sudah redup, dihabisi oleh fantasi tentang supremasi. Islam jadi identik dengan partai politik. Beragama dikikis menjadi ideologi anti-Barat, anti-sains, anti-kemajuan, dan anti-kritik.
Semua ini, di mata sarjana cerdas itu, dijadikan bukti bahwa kesegaran Islam sebagai pembawa perubahan bagi masyarakat telah diamputasi.
Cak Nur pun memilih jalan pembaruan, reformasi pemikiran. Berbasis pada agama ia membuka jalan bagi sekularisasi, Islam yes Partai Islam no, idea of progress, dan kebebasan berpikir. (Baca Tulisan Islam Yes Partai Islam No)
***
Di atas saya cuma sedikit menggambarkan bahwa di samping ekspresi kepatuhan, taklid, dan otoritas, agama di dunia Nusantara -dengan menjadikan Indonesia sebagai contohnya - juga mempunyai sisi, bentuk, dan ekspresi yang lain.
Di masyarakat majemuk kita ini, nyatanya agama dapat bergerak dan menari secara amat kreatif.
Di tangan sarjana dan pemikir yang tepat, agama menjadi begitu produktif. Agama terbangun dari kondisi pasifnya, terdorong untuk mampu memberi respons terhadap setiap masalah genting kemanusiaan.
Contoh-contoh di atas harus dilihat sebagai bukti bahwa agama (dalam tulisan ini, Islam) di dunia Nusantara kita bukan sebuah ajaran hidup pengecut. Ia tidak berhenti di surau atau di sajadah. Ketundukan ritual hanya satu aspek dari agama dalam kebudayaan kita.
Di atas ritualisme dan taklidisme, terdapat gagasan-gagasan yang berani: Perlawanan, Keadilan Sosial, Nasionalisme, Institusionalisasi, Sekularisasi, dan Pluralisme - yang semuanya itu berbasis juga pada agama.
***
Islam Turki ramai dengan pengaruh kelompok sufistik. Tariqah dan zawiyah sufiyah ada di mana-mana. Mungkin ada ribuan jemaat yang saling berbeda, dengan syaikh dan mursyid sendiri-sendiri. Mengapa begitu marak komunitas sufi? Sebab mereka itulah yang jadi pelarian kaum Muslim Turki sejak kebijakan represif Mustafa Kemal dijalankan. Secara diam-diam, zawiyah berhasil bertahan hidup.
Islam Indonesia, yang kita alami, ramai dengan pembaruan. Meski bukan mayoritas dalam angka, pemikir dan filsuf Indonesia produktif memformulasi pandangan Islam yang maju dan kritis. Kalau saat ini di mana-mana di Indonesia menjamur konservatisme, itu soal lain. Menurut peneliti asal Singapura, Azhar Ibrahim, reformer Indonesia adalah halaman pertama dari wacana Islam progresif Asia Tenggara.
Kita tahu bahwa Islam Nusantara, atau dalam istilah Azhar Ibrahim: Islam in the Malay-World, beragam wajahnya. Di mana-mana, tak hanya di sini, memang beragam. Namun, satu gelombang khas tak bisa dianggap biasa-biasa saja. Itulah ia Pembaruan. Para reformer rajin mengolah kembali pemikiran Islam supaya mampu menjawab perubahan. Kita harus ingat, hanya reformer yang bisa piawai mengartikulasi sekularisme, demokrasi, pluralisme, gender, HAM, bahkan sains, di dunia Islam. Jadi, seperti yang saya alami, Islam di sini memang kuat unsur pembaruannya.
Di dunia Nusantara ini, insan-insan Pencerahan itu berani berbicara dengan lugas bahwa unsur kemajuan dan kemaslahatan itu ada pada nalar, toleransi, dan sains. Dari sanalah berkembang rasa percaya (yang tidak dogmatik) pada demokrasi, pluralisme, dan HAM. Sewaktu nalar kita bebas, kita jadi sadar bahwa sebagai masyarakat kita butuh bertoleransi, butuh hidup dalam demokrasi, butuh memandang dunia manusia secara pluralistik, butuh menjaga keadilan untuk tegaknya HAM, dan butuh semua kondisi kebebasan tersebut untuk memajukan sains.
Tak ada satu ekspresi bagi Islam di dunia indonesia kita ini. Namun, tak semua ekspresi itu sama dan senilai. Di antaranya ada yang asyik bermimpi soal kejayaan satu agama atau satu umat, menggeliat berwacana soal mengislamkan segala hal. Kebalikan dari itu semua, ada yang sudah lepas dari beban sejarah, mau mengakui perlunya belajar dari peradaban lain, kemudian move on menikmati potensi nalar yang besar ini.
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran
*Pustaka Hayat

.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar