Bupati dan Wakil Bupati Alor, jangan Takut. Biarkan PDIP Memecat Bapak. Sebab, Bapak Bukan Bupati PDIP. Bapak adalah Bupati Masyarakat Alor. Bapak Adalah Bupatinya Rakyat bumi Seribu Moko.
Bapak, Jangan takut. Sebab, Jauh lebih baik seribu kali bapak di pecat sebagai kader Parpol karena menegakkan UU. Ketimbang tetap menjadi kader Parpol, tetapi terbukti melakukan penyalahgunaan Wewenang.
Kemarahan bapak, yang di anggap banyak khalayak sangat tidak beretika dan tidak mencerminkan wibawa seorang pejabat publik. Halooo, standar etika di Republik ini, seperti apa?. Ukuran Cerminan Wibawa seorang Pejabat publik itu dimana?. Tolong dijawab ini.
Etiskah seorang pejabat menyalahgunakan Wewenang yang telah di atur di dalam UU. Silahkan Bentangkan sendiri "UU MD3", di situ bisa lihat, seperti apa tupoksi DPRD (Legislatif). Berwibawakah seorang pejabat publik, jika terbukti mengangkangi Amanat UU MD3.
Di dalam UU MD3, sudah jelas. Bahwa DPRD tidak Punya wewenang dan berhak membagikan Bansos Presiden dan Mensos. Itu anda-anda yang punya etika, menganggapnya seperti apa?.
Amanat UU MD3 memerintahkan, bahwa yang berwenang dan berhak membagikan bansos adalah eksekutif atau pemerintah daerah, melalui satgas penanganan bencana Seroja, yang dikoordinir oleh BPBD.
Jika kita sudah paham alurnya, maka kita bisa Mendeteksi Seperti apa Marahnya seorang pejabat publik yang di anggap tidak terkontrol tersebut. Ini soal harga diri sebagai seorang kepala daerah yang di lucuti, tepat di depan matanya. Lalu, hal itu di nilai tidak memenuhi kualifikasi etika komunikasi?. (Di bawah saya akan uraikkan)
Mensos RI itu sudah sering bekerja Out Of The Box. Dulu, dia pernah berjanji membuat program rumah gratis di Jakarta. Padahal, Kemensos tidak punya program Rumah Gratis. Cuman Mensos RI yang pernah panjat tembok di kawasan kumuh Jakarta, mencari Tuna wisma. Cuman Mensos yang kerap bekerja out Of the box.
Di Postingan Senior saya, sekitar Januari, kalau saya tidak salah ingat, bahwa KPK mengabarkan, ada 16,7 juta penerima Bansos tanpa NIK. Media merangkumnya menjadi Bansos fiktif. Melayang kemana bansos-Bansos itu?. Kalau di hitung-hitung, ada sekitar Rp.5,010 triliun yang melayang percuma dan blusukan kemana-mana tanpa ujung pangkal. Tak tepat sasaran.
Siapa yang tahu, kalau Bansos fiktif itu, ternyata melayang-layang percuma ke Pilkada 2020. Ini cuman asas praduga. Pun Kalau benar adanya, nasi sudah jadi bubur.
Asal kita tau saja, Korupsi Bansos itu sudah mendekati Rp. 10 triliun. Lalu, kini ada bansos fiktif yang nilainya Rp. 5 triliunan. Mau dbilang ajaib, tapi nyata.
Jadi standar moralitas kita sekarang adalah Tidak masalah korupsi, asal berwibawa. Tidak jadi soal menyalahi wewenang, asal Beretika. Fuiihhh.
Di sinilah Misnya ; Kenapa ketua DPRD menerima bansos bencana tidak melapor ke bupati?. Siapa yang tanda tangan berita acara bansos tersebut?. Ketua DPRD?. Harusnya ini urusan pemkab Alor?. Mengapa petugas kemensos sebelum dilabrak bupati tidak melapor bahwa yang diterima ketua DPRD itu bansos bencana seroja, bukan PKH. Kenapa diam?.
Ini Hal sepele. tetapi ini soal tatakrama, adab dan etika ketimuran. Kan tadi bicara soal etika kan.
**
sebagai bahan pertimbangan pemikiran untuk kita, mari kita sejenak membuka cakrawala tengkorak kepala kita untuk menelaah beberapa diksi yang dianggap tak pantas. misal, Diksi 'Ja***k' di Jawa sudah tidak lagi di terjemahkan sebagai Makian, bahkan Sujiwo Tejo menjadikannya sebagai frasa nyanyian yang biasa-biasa saja.
Sama seperti, beberapa diksi yang di anggap makian Di Sulawesi, sudah di anggap biasa dan tabu. Bahkan, di pakai sebagai sapaan akrab. Dulu, ada pejabat publik di Makassar sering menggunakan Terma yang dianggap memaki kepada orang yang dianggapnya sangat akrab secara emosional.
Atau dalam struktur Kultural tata bahasa di sulawesi, semarah apapun Orang Bone. Intonasi dan Cara bicaranya tetap sama, tidak ada yang berubah secara signifikan. Hal itu yang membuat kita, termasuk saya tidak tahan untuk tidak baper, kalau Nona Bone yang jadi lawan bicara ☺️. Struktur kultural ini, mirip dengan Orang Sunda di Jabar sana. Siapa yang tidak tau, bagiamana mendayu-dayunya orang Sunda jika bicara. Duhaii...
Tetapi, Coba kita ke arah selatan sulawesi. Saat mereka marah dalam bicara atau bicara biasa. Pasti berbeda, sama dengan karakter bicara orang timur. kalau di jawa, hal itu bisa kita temukan dalam struktur bicaranya orang Madura, pasti berbeda dengan orang Malang. Di Sumatera, kita bisa dengar pada Orang Batak. Tetapi, saya lebih sering tertawan dengan Nona-nona di Selatan Sulawesi 😊.
Itulah sebanya, saya sangat menghindari memberikan ukuran atau standar etis dan tidak etis pada cara bicara orang. Sebab, kita bisa celaka dalam berpikir, tidak variabel baku untuk mengukur cara bicara, gerak tubuh dan simbol-simbol kultural orang. jika kita mengukur etis dan tidak etisnya seseorang, berdasarkan apa yang dia ucapkan. Maka, bagaimana cara mengukur etika komunikasi orang timur dengan paradigma Kultur orang Sunda. Atau bagaimana cara kita menilai etika komunikasi orang betawi, dengan struktur budaya Orang Jogya. Pasti terjadi bias paradigma, jika di paksakan untuk mengukur entitas kultural yang beragam ini. Etis dan tidak etis itu niscaya di ukur secara keseluruhan, ia adalah rangkaian yang menyatu.
Kalau memang kita hendak menginterpretasi sikap dan cara bicara Bupati AJ. Tetapi, pointnya kan bukan di situ. Jangan mengaburkan fakta penyalahgunaan wewenang dengan Asumsi yang sifatnya sangat relatif.
Sikap dan cara bicara AJ, Itu relativitas kultural. Saya kasih contoh lagi, Kata T**o di Alor itu beda interpretasinya dengan T**o di Makassar. Kalau orang Makassar bicara dengan menggunakan diksi T**o Dengan lawan bicara orang Alor, pasti tersinggung. Karena T**o di alor dianggap makian, sedangkan di makassar tidak. Tanya saja kawan-kawan yang kuliah di Makassar, saat pertama kali mendengar diksi itu di ucapkan di Makassar. Pasti mereka kaget.
Jadi, soal cara bicara dan lainnya, itu pengaruh Kultural. Tergantung kita melihatnya dari sudut pandang apa?.
Pointnya adalah, memang Ibu Risma dan Ibu Eny Anggrek salah secara prosedural. Kalau asumsi pembelaannya di media, " tidak ada satupun yang bisa di hubungi saat badai seroja melipir ke Alor". Lalu, kenapa bisa menghubungi Ketua DPRD Alor. Kenapa bisa menyalurkan Bantuan ke kabupaten lain, yang justru jauh lebih parah dampaknya. Atau jangan-jangan Bupati Alor tidak punya HP.
Bagaimana AJ tidak marah, kalau Penyalurannya bansosnya salah kamar. Sebab, implikasi Bansos yang salah kamar, bisa di duga, di gunakan untuk mendongkrak populisme dan elektabilitas parpol.
Kesalahan mengelola negara seperti ini, yang bikin negara ini rusak. Tidak tau kelola negara.
Saya tidak punya tendensi apapun dengan Bupati Alor, bahkan saya pernah melayangkan surat terbuka atas perbuatan tidak menyenangkannya kepada tetua di kampung saya, di lereng Alila sana.
Tetapi, sebagai orang kultur, yang memilih hidup di pinggiran, dengan laku dan sikap cinta dan mencoba menebar cinta ke sesama, jujur saya sangat menyanyangkan dan sedih mendengar pilihan diksi seorang yang terdidik, seumpama Bupati yang berkomunikasi kepada manusia. emosinya telah membuat otaknya kehabisan kosa kata yang friendly.
Sekalipun pilihan diksi tersebut terdengar biasa-biasa saja bagi telinga timur. Tetapi, Bapak sedang berbicara dengan lawan bicara yang struktur kulturalnya tidak bisa mendengar intonasi keras.
Terakhir : PDIP juga, jangan terlalu lebay lah. Sebab, Konsituen di Alor itu, basis PDIP. Kalkulasi matematisnya jelas. Bupati dan Ketua DPRD nya kader PDIP. Mustahil PDIP menjadi parpol penguasa jika tak ada representasi NTT sebagai basis Ril PDIP. Sekalipun, konsituen Indonesia Timur bergabung, belum bisa mengalahkan Konsituen Jawa timur, apalagi Jawa barat sebagai konsituen terbanyak di indonesia.
Uraian diatas adalah satu dari sekian sudut pandang pinggiran, cara berpikir yang melompati Mainstream. Bisa di uraikkan lebih telanjang sambil ngopi-ngopi, soal etis dan tidak dalam segmen kultural.
**
JANGAN MARAH DENGAN MEMAKI DI PUBLIK, PAK BUPATI
Beredar Video berdurasi Kurang lebih 3 menit, tampak Bupati Alor Marah, bahkan Beberapa diksi yang Terlontar sangat tidak Friendly sebagai seorang Kepala daerah, pejabat publik.
Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi memiliki beragam hasil audit. Jenis-jenis produk tersebut membedakan BPK dengan Badan Pengawasan Keuangan Daerah (BPKAD).
BPK bersifat independen sedangkan BPKAD di bawah pemprov. Dalam menjalanklan tugasnya, produk BPK adalah opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Dalam laporan tersebut terdapat empat peringkat penilaian, Antara lain ;
1. wajar tanpa pengecualian (WTP),
2. wajar dengan pengecualian (WDP),
3. Adverse (tidak wajar), dan
4. Disclaimer atau tidak memberikan pendapat karena adanya pembatasan proses audit yang dilakukan oleh pihak teraudit.
Jika Penilaian WTP diberikan BPK berarti ada kesesuaian antara anggaran dan pembelanjaan. Jika Penilaian yang masuk WDP, berarti ada kewajaran antara anggaran dengan pembelanjaan namun dengan pengecualian. Jika penilaian yang masuk dalam kategori adverse, adalah ketika tidak ada kesesuaian antara anggaran daerah dengan belanja. Dalam hal ini, tentu saja penilaian BPK bisa menduga adanya pelanggaran dalam pembelanjaan anggaran. Sedangkan yang dimaksud disclaimer adalah ketika auditor mendapat pembatasan dari pihak yang diaudit. Termasuk tindakan menghalang-halangi petugas atau mempersulit auditor dalam melakukan pekerjaan mereka.
Jika Bupati Alor, Amon Djobo Mengamuk dan Menyerapahi bawahannya Bahkan meminta BPK memberikan Disclaimer Pada Kabupaten Alor. Tentu logis jika publik bertanya apa dalilnya, sebab BPK sendiri dalam mengaudit berdasarkan Hasil dari Laporan keungan pemerintah daerah, yang notabennya meruoaka Bagian Integral dari Pemerintah Kabupatan.
BPK sendiri merupakan Lembaga yang bebas dan mandiri, yang berfungsi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, Bab VIIIA BPK Pasal 23E. Bahkan Secara rinci dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 disebutkan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Adapun cakupan Pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Dalam prosesnya, hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut akan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai kewenangannya. Setelah itu, barulah hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan atau badan sesuai dengan UU.
BPK Tidak seperti KPK yang hanya boleh berada di ibu kota negara, BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal itu kepada instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Laporan BPK dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BPKAD bertugas membantu Bupati melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan di bidang keuangan yang menjadi kewenangan daerah. Jika mereka di marahi, di maki-maki maka Secara Otomatis Bapak sedang memaki kinerja Bapak yang belum Maksimal.
Jika Penilaian WTP diberikan BPK berarti ada kesesuaian antara anggaran dan pembelanjaan. Jika Penilaian yang masuk WDP, berarti ada kewajaran antara anggaran dengan pembelanjaan namun dengan pengecualian. Jika penilaian yang masuk dalam kategori adverse, adalah ketika tidak ada kesesuaian antara anggaran daerah dengan belanja. Dalam hal ini, tentu saja penilaian BPK bisa menduga adanya pelanggaran dalam pembelanjaan anggaran. Sedangkan yang dimaksud disclaimer adalah ketika auditor mendapat pembatasan dari pihak yang diaudit. Termasuk tindakan menghalang-halangi petugas atau mempersulit auditor dalam melakukan pekerjaan mereka.
Jika Bupati Alor, Amon Djobo Mengamuk dan Menyerapahi bawahannya Bahkan meminta BPK memberikan Disclaimer Pada Kabupaten Alor. Tentu logis jika publik bertanya apa dalilnya, sebab BPK sendiri dalam mengaudit berdasarkan Hasil dari Laporan keungan pemerintah daerah, yang notabennya meruoaka Bagian Integral dari Pemerintah Kabupatan.
BPK sendiri merupakan Lembaga yang bebas dan mandiri, yang berfungsi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, Bab VIIIA BPK Pasal 23E. Bahkan Secara rinci dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 disebutkan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Adapun cakupan Pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Dalam prosesnya, hasil pemeriksaan keuangan negara tersebut akan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai kewenangannya. Setelah itu, barulah hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan atau badan sesuai dengan UU.
BPK Tidak seperti KPK yang hanya boleh berada di ibu kota negara, BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal itu kepada instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Laporan BPK dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BPKAD bertugas membantu Bupati melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan di bidang keuangan yang menjadi kewenangan daerah. Jika mereka di marahi, di maki-maki maka Secara Otomatis Bapak sedang memaki kinerja Bapak yang belum Maksimal.
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar