Mengenai Saya

Minggu, 26 Maret 2023

CORET ESAI ; KUALITAS PUASA ADALAH PUASA YANG LUPA BERBUKA

 


Suatu Waktu, Saya tidak ada Jadwal ceramah Tarwih, saya mengajak adik-adik dari untuk buka puasa bersama di rumah. Saat kita sedang menikmati menu berbuka buka. Tetiba, salah seorang dari mereka bertanya mengenai kualitas puasa seseorang. Ada puasanya para Nabi dan Rosul. Ada puasanya para tabi'it-tabi'in, para wali, para imam, para ulama, ustad, kiai, tokoh agama, penuntut ilmu, dan lain-lain yang fokus aktivitasnya pada ibadah di dalam kehidupannya sehari-hari. 

"Siapa sebenarnya yang kualitas puasanya paling bagus, Kak?".

Dengan Tenang sambil menguap mengantuk, saya menjawab ; "Yang paling bagus kualitas puasanya itu penjual Nasi, Penjual kopi atau Penjual makanan Lainnya, yang warungnya tetap buka di bulan puasa".  

Beberapa adik-adik kaget, "Kenapa bisa, Kak?" 

"Ya bisalah. mereka puasa, tapi tetap bekerja melayani makan dan minumnya orang-orang yang tidak berpuasa Dan masakannya tetap lezat dan nikmat," jawabku sambil menyandarkan kepala dikursi (menguap mengantuk).

"Bisa dijelaskan lebih lanjut itu, kak?".

"Tidak ada lanjutannya. Setan tetap berbuat jelek di mana pun tempat terbaik. Malaikat tetap berbuat baik di tempat yang paling jelek sekalipun. Tetapi penjual nasi, penjual kopi atau penjual makanan lainnya, tetap berpuasa di tempat orang-orang yang tidak puasa, juga melayani orang-orang yang tidak puasa itu, dan kopi yang mereka jual tetap enak, masakannya tetap lezat. Coba bayangkan! Hebat, toh?".

"Lantas, bagaimana dengan puasanya para ahli-ahli ibadah yang berpuasa dengan segala ketekunan ibadahnya, Kak, misalnya para ulama, kiai, atau ustad?".

"Apanya lagi dek?", saya terkesiap dari rasa ngantuk, "ya tetap kalah sama penjual makanan-minuman yang tetap berpuasa di warung-warung itu," jawabku sambil berdiri bergegas menuju masjid.


***

Sebagaimana yang saya utarakan diatas, sesungguhnya puasa ialah upaya seseorang men-sifati dirinya dengan sifat-Nya yang tak butuh apa-apa. Seseorang butuh makan, minum, syahwat. Tetapi puasa menahan Atau menghidupkan sifat diri yang tak membutuhkan kebutuhan-kebutuhan manusiawi itu, sampai berbuka.

"Sehingga pada puncaknya, puasa bukan lagi upaya menahan diri atau "al-imsak". Melainkan telah sampai pada keseimbangan lahir-batin di dalam pengendalian diri. Kesadaran yang niscaya dan terus menerus," 

" Di kesempatan lain, adik-adik lainnya bertanya, bagaimana penjelasan Men-sifati diri dengan sifat Tuhan itu, Kak?" tanyanya sambil berhati-hati.

"Buka cakrawala berpikirmu baik-baik, Pasang telinga lebar-lebar. Sebab, saya tidak akan mengulang!" kataku, sambil menghisap rokok dalam-dalam.

"Tuhan itu Maha sabar. Kesabaran hanya mungkin terjadi di dalam tiap denyut upaya dan derita. Tidak mungkin Tuhan berupaya dan menderita, Dia maha kuasa. Namun kemahasabaran-Nya atau derita-Nya ialah perilaku-Nya di dalam men-sifati diri-Nya dengan sifat hamba-Nya, yang tak lain diri-Nya semata. Kayak seorang bapak yang menemani anaknya bermain mobil-mobilan. Sesungguhnya Bapak tersebut sedang men-sifati dirinya dengan sifat anaknya. Sehingga terjadilah kedekatan dengan sang anak, Dan agar seorang anak mengenali serta meneladani bapaknya dengan sempurna," jawabku, sambil kedua mata menatap jauh ke langit-langit rumah yang lubang.

"Puasa adalah perintah Tuhan kepada hambanya, agar men-sifati dirinya dengan sifat-Nya yang tidak membutuhkan apa pun. Itulah jalan bagi manusia untuk meneladani nama-nama-Nya, berperilaku dengan perilaku-Nya yang maha penyantun dengan kesadaran kemanusiaannya. takhallaqu bi akhlaqillah,"

"Jika selama ini kita selalu berprasangka macam-macam kepada Tuhan, coba sekarang rasakan bagaimana repotnya jadi Tuhan dengan cara berpuasa. Bagaimana pusingnya pagi hari tanpa kopi dan rokok, bagaimana bangsatnya menahan diri terhadap godaan berbuka."

"Godaan berbuka itu maksudnya bagaimana, Kak?", tanya adik saya mencoba menyela.

"Dengarkan mi dulu baik-baik, supaya penyakit malasmu membaca yang rawan menular itu, sedikit sembuh."

"Iyye, Kak"

"Lalu bagaimana setelah kita berpuasa? Yakni bagaimana setelah kita berbuka dari puasa?, Tenggorokan basah Dan selanjutnya apa tidak perlu menahan-nahan lagi?"

Sepi.

"Jika puasa hanya buat Tuhan, kenapa orang puasa menunggu dan berharap berbuka? Mestinya ia dapat melupakan kapan berbuka. Sehingga selalu berada di dalam puasa, di dalam pengendalian diri, sebagai manusia dengan segala tanggungjawab dan keberadaan hidup kita. Sebab jika kita lupa berbuka, dia tidak perlu khawatir. Karena kita akan diingatkan suara sirine berbuka puasa dari menara masjid terdekat, langsung menegur telinga'T! Hahahahahaha," jawabku, sambil tertawa.

Berbuka itu niscaya. Sehingga dalam ajaran agama diwajibkan. Kenapa kita berharap, menuju, atau menunggu pada yang sudah pasti? Padahal sehari di dalam puasa kita, kita, menghadapi ketidak-pastian-ketidak-pastian hidup yang dibangun dari pandangan kita terhadap hidup itu sendiri. Yang mesti kita kelola adalah ketidak-pastian-ketidak-pastian yang senantiasa ada. Sayangnya kita tidak betah di dalam ketidak-pastian itu. Itulah yang membuat kita kerap gagal mengolah ketidak-pastian itu di dalam kekuatan kerja, di dalam kreativitas iman dan harapan,".

"Wahai adikku! Paham kamu sekarang?" ujarku.

"Ampun. Paham, Kak", Jawabnya gugup.

"Kalau puasa kita adalah puasa yang masih menuju, mengingat, dan menunggu, bahkan merayakan berbuka puasa dengan pesta-pesta, itu kan puasanya anak-anak TK. Yang begitu itu yang kita bangga-banggakan sampai teriak-teriak segala macam?! Hahahaha!".

Saya pun tertawa bersama asap rokok yang mengasikkan Dan harum kopi buatan Mama, sampai di pedalaman hidungku.


~Makassar, 17 Mei 2022~



*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar