Mengenai Saya

Sabtu, 18 Maret 2023

IQRO MASIH MENJADI AYAT, BELUM MENJADI NILAI YANG MENUBUH DAN MENYEJARAH ; DIALEKTIKA

Tauhid itu jika sebuah bangunan, ia adalah pondasinya. Mustahil mendirikan sebuah bangunan diatas pondasi yang bengkok dan rapuh.

Di era Post Trust ini, kita kerap Membangun segala hal diatas dasar yang Bengkok dan Rapuh. Begitu di terpa Angin, roboh Seketika. Berhala-berhala itu semakin Canggih. Saya kerap menyebutnya, dengan Terma Modern yang Jahiliyah. Moderen secara Artifisial-material. tetapi, Hakikatnya Jahiliyah.

Kita berada di fase, Ghoyah (Tujuan) menjadi Wasila (Cara), wasila Menjadi Ghoyah. Padahal itu senyata-nyatanya Berhala, yang terpampang jelas di depan mata kita. Tetapi, kita dengan sengaja tidak menyadarinya. Kesesatan yang nyata adalah tidak tahu jalan pulang ke tempat asal, tidak tahu asal usul, tidak tahu titik berangkat dan titik tuju.

Saya kira, salah satu yang membuat kita lambat mengubah sesuatu di dalaam kehidupan bermasyarakat dan bernegara atau membuat kita buntu berpikir, karena ada shet up dasar dalam pemikiran dan pahaman kesejarahan kita.

Kita menganggap zaman jahiliyah - berhala itu terjadi dahulu kala, sehingga kita merasa hidup berabad-abad sesudah itu bukan lagi zaman berhala - jahiliyah. 

Padahal, kalau kita menggunakan parameter yang substansial, bisa banyak sekali bukti bahwa kehidupan kita sekarang sebenarnya memiliki kadar kejahiliyaan yang jauh lebih Jahiliyah dari zaman jahiliyah. 

Peradaban patung yang pernah di sembah oleh manusia, hari ini telah mencapai tingkat yang paling canggih. Saking canggihnya Berhala-berhala di abad 21 ini, sehingga membuat manusia tidak menyadari bahwa yang mereka sembah adalah berhala. 

Artinya, kita harus menemukan cara berpikir baru untuk menganalisis, menyadari dan menyelidiki bahwa pada dasarnya berhala - berhala. paradigma substansialnya sama. formulasi teknis dan budayanya saja yang berbeda. 

Kalau dulu orang menyembah berhala, benar-benar membikin patung untuk menyembahnya. Sekarang, mungkin berhalanya sudah berbagai bentuk yang terdapat dimana-mana. Dengan kita menyadari, bahwa ada Transformasi patung-patung dan berhala-berhala. Maka, kita akan menemukan, bahwa Jahiliyahnya kita ini tidak kalah dahsyatnya di bandingkan dengan kejahiliyaan orang di zaman dulu. 

Mengapa jahiliyah dianggap sangat penting dan menjadi wacana-wacana dasar dalam sejarah peradaban ummat manusia, karena jahiliyah ini merujuk kepada faktor yang di sembah - sesembahan - bahasa lainnya, kita sebut sebagai Tuhan (sesuatu yang di sembah) ; ada Tuhan Allah SWT,  ada Sang Yang Widi dan berbagai Macam Tuhan, yang jelas dia di nomor satukan oleh manusia.

Dulu di zaman jahiliyah, Tuhan di wujudkan dalam bentuk berhala, yang di imajinasikan dan di lekatkan dengan simbol-simbol tertentu. Sedangkan pada zaman kita, yang di sebut berhala adalah segala sesuatu yang kita letakkan dalam skala prioritas utama atau kita nomor satukan melebihi Tuhan itu sendiri. 

Di titik itulah, sesungguhnya berhala kita jauh lebih Dahsyat, lebih bervariasi dan lebih beragam. 

**

Harta, Kekuasaan, Jabatan, kecantikan, ketampanan, Kekayaan, Pembangunan, kemajuan, lelaki, perempuan, Materi, kemeriahan, cinta, ilmu, dsb adalah Wasila, bukan Tujuan. Sebab, Tujuan Utama, dari seluruh drama kehidupan ini Di Gelar adalah MENGKUDUSKAN dan MENGKULTUSKAN TUHAN. Itulah sebabnya, ia menjadi Syarat pertama keberislaman seseorang (Rukun Islam).

Ketika kita mendaraskan Siroh Rosulullah SAW pertama kali Di Utus di muka bumi ialah mereformasi aqidah, Menanamkan Tauhid pada masyarakat Mekkah, selama 13 Tahun dan Sejarah mencatat, hal itu merupakan Pencapaian paling menggemparkan sepanjang Peradaban Manusia.

Merombak sebuah bangsa biadab menjadi Bangsa beradab dan 10 Tahun Periode Madinah, Membangun masyarakat Religius. Dalam Terma Al Qur'an, "Ummatan Wahida (Ummat Terbaik)".

Kalimat Tauhid ini, kata Ibnul Qoyyim Al Jausiyah dalam Kitab Ziyadatul ma'ad, adalah kalimat super, Yang karena Kalimat tersebut, Allah menciptakan surga dan Neraka ; surga, bagi mereka yang menerima dan Neraka bagi mereka yang menolaknya.

Tauhid adalah Tujuan. maka, manusia butuh latihan. di buatkanlah, Langit dan bumi, agar manusia menerima konsep "la ilaha illallah". Selain latihan, manusia butuh pelatih, maka di utuslah para Rosul untuk melatih manusia Menerima konsep La ilaha illallah. Itulah Sebabnya, Seorang Muslim, baru di katakan muslim, jika Shohihul aqidah. Seorang muslim aqidahnya harus kuat ; Lailaha illa allahu, tertancap kedalam Palung terdalam sanubarinya. Faktanya kan tidak demikian?.

Dalam Terma KeIndonesia, kita punya Pancasila. Kita menjadikan, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar berpikir dan Bersikap di bangsa ini. Tetapi, Tidak pernah menomor satukan Tuhan di dalam segala aktivitas keseharian hidup kita. Tidak pernah istikharo, tidak pernah Tuhan di jadikan rujukan Utama atau pertimbangan dalam menapaki langkah-langkah.

Misalnya, Kita membangun infrastruktur di indonesia, itu tujuannya untuk dunia atau akhirat?. Atau silahkan sebutkan semua contoh-contoh yang terjadi. Dengan jujur, kita harus menjawab untuk dunia.

Menurutku, inilah implikasi awal, karena kita Cacat mendikotomi Persoalan Ghoyah dan Wasila?. Maka, menjadi wajar, jika korupsi subur, nepotisme bertumbuh, kolusi tak terelakan. Modern tapi Jahiliyah ; Modern secara Artifisial. Tetapi Hakikatnya Jahiliyah.

Mengapa?. Karena Tuhan tidak pernah di libatkan dalam setiap urusan-urusan yang dianggap berpretensi duniawi. Padahal berani menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Primer.

Artinya, masalah Kita di era Post Trust, bukan kemiskinan, bukan ketimpangan, bukan kemelaratan, bukan pengangguran, bukan ketidakadilan, bukan Globalisasi, bukan Sekularisme, bukan matrealisme, bukan korupsi, Bukan Nepotisme, Bukan Tipu Muslihat, bukan kerakusasn, bukan Eksploitasi, bukan penindasan, dsb.

Masalah kita yang sesungguhnya ialah "Bukan Tuhan di jadikan Tuhan. Tuhan di jadikan Bukan Tuhan. Hal itu sangat mungkin di lakukan oleh SEORANG MUSLIM. Sebab, Mustahil Bagi seorang beriman yang Muhlis, serta Bertaqwa, melakukan semua penyakit berhala yang saya sebutkan diatas.

Ihwal itulah, sehingga saya kerap menyebutkan. Jika hendak menjadi Pejabat dari level RT sampai Presiden, menjadi konglomerat, menjadi Teknorat, Menjadi Ilmuan, menjadi Rohaniwan atau menjadi apapun saja. Maka, diri kita sudah harus Selesai dengan semua soal remeh temeh tersebut. Agar, saat di Perhadapkan pada kondisi terburuk sekalipun, kita enggan Menggadaikan Prinsip (Aqidah) demi sesuatu yang Temporal dan Nisbi, serta yang pada dasarnya bukan Tujuan dari pergelaran drama kehidupan.

Jika ilmu pengetahuan konsisten dan istiqomah dalam perkembangannya. maka, dipastikan akan tiba suatu masa dimana ummat manusia mencapai taraf kedewasaan berpikir untuk betul-betul berperan sebagai khalifah, (asisten Allah) dibumi. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa sepanjang otak manusia berpikir keras dan kencang. maka, sel-selnya akan bertambah banyak dan jaringan-jaringan sarafnya menjadi bertambah luas pula, yang pada gilirannya meningkatkan kecerdasan. Semakin tinggi kecerdasan makin mendewasakan berpikir dan bertindak.

Rosulullah Muhammad Saw sudah memberikan Uswah bersama para sahabatnya pada 10 tahun periode Madinah bagaimana kedewasaan berpikir tersebut menjadikan manusia paripurna merealisasikan kebersatuan dua dimensi dalam diri manusia yakni dimensi ilahiah dan dimensi manusiawi. Penyatuan dua dimensi itulah sesungguhnya yang merupakan makna tauhid yang sering kita dengungkan sebagai intisari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Tauhid sama sekali bukan konsepsi teologi tentang keesaan Allah. sebab, Allah tidak bisa dikonsepsikan apalagi dipersepsikan. Nabi sangat jelas dalam hal ini. "Apapun yang terbetik dalam benakmu bukan Tuhan, justru Tuhan menciptakannya," sabdanya.

Ketika Rosulullah SAW menegaskan bahwa agama adalah akhlak bukanlah sekedar pernyataan moralitas belaka melainkan penegasan atas gagasan Tuhan adalah sang Mutlak yang tak dapat dipersepsikan maupun dikonsepsikan. Tuhan hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan cinta kasih. Menyatu dengan Tuhan adalah menyatu dengan kebaikan dan cinta kasih.

Artinya seseorang yang merealisasikan tauhid akan menjadi personifikasi kebaikan dan cinta kasih; apapun yang dilakukan dan diperbuatnya semata-mata hanya kebaikan, semata-mata hanya cinta kasih. Manusia paripurna. Maka, agama bukanlah sistem aturan keimanan dan peribadatan melainkan situasi keilahian yang menuntun kepada kebaikan. Agama menuntun kepada Allah, Tuhan yang bertajalli dalam kebaikan dan cinta kasih.

**

Kalimat Tauhid tidak hanya dianggap sebagai Doktrin Teologis tentang Supremasi Tuhan (Hamba dan Khaliq). tetapi, Juga sebagai prinsip revolusioner ; bahwa tidak ada satu orang (Manusia) pun yang berhak mengklaim dirinya lebih superior diantara sesamanya. Sebab, superioritas adalah Cikal bakal dari sikap Eksploitatif.

Orientasi Hidup berTuhan itu berbanding terbalik dengan mempercayai Thogut. Siapa Thogut itu?. Thogut adalah orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Berkenaan dengan itu, Nabi pernah di ingatkan perihal ini, kamu jangan Tirani : "Innama anta Muzakkir, lasta alaihim bi mushaitir - Hai Muhammad, kamu ini cuman memperingatkan, tidak untuk mengancam - memaksa orang".

Nilai kehidupan apapun, selalu memiliki prospek ketuhanan. Baik di ranah sosial, politik, ekonomi serta ranah kehidupan lainnya. Nilai-nilai ketuhanan (teologi) dimaksud, senantiasa menitikberatkan pada relasi Tuhan, manusia dan alam.

Namun, sebagai makhluk mikrokosmos, hubungan Tuhan, manusia dan alam, senantiasa bersiklus pada manusia sebagai pusat orbit kehidupan. Dengan pengertian, manusia adalah objek sirkulasi kebenaran meliputi semua aspek kehidupannya. Sebab itu, setiap nilai teologi, menjadikan kemakmuran hidup manusia sebagai standar kebenaran. Baik nilai yang bersumber dari Tuhan (kitab suci) maunpun manusia (norma, peraturan perundang-undangan lainnya).

Dalam buku Teologi Menuju Aksi- Abad Badruzaman, membedah tuntas teologi fungsional, dalam memberikan daya dorong keberpihakan dan pembelaan terhadap hak orang-orang lemah yang tertindas. Wujud praksis dari kesadaran ketuhanan demikian, meniscayakan terciptanya keadilan ekonomi, sosial dan politik bagi ummat manusia.

Masih dalam landscape kesadaran teologi, menukil Asghar Ali Engineer dalam konsep teologi pembebsannya ; dijelaskan, "kesadaran bertuhan akan menjadi kering dan hilang maknanya, manakala dalam mendefinisikannya, tidak berpihak pada kesejahteraan hidup manusia, terutama kepada mereka-mereka yang lemah". Banyak ketidakadilan dan penindasan hak orang-orang lemah yang harus dibela dengan kesadaran teologi dimaksud. Nukilan kajian Asghar Ali Engineer soal teologi di atas, sangat tepat kita jadikan pijakan, sebagaimana ajakan Abad Badruzaman berujar bahwa Keyakinan pada nilai-nalai teologi saja tidak cukup, ketika nilai-nilai tersebut tidak dibumisasikan dalam praktek kehidupan sosial. Dan kesadaran demikian, harus mengilhami setiap orang, lebih khusus para pemimpin, untuk menjadikan teologi keberpihakan sebagai paradigma utama dalam ideologi kepemimpinannya.

Golongan orang-orang tertindas yang dimaksudkan Abad Badr dalam Teologi menuju Aksi tersebut, adalah mereka-mereka yang lemah, tidak berdaya dan tertindas akibat struktur sosial yang tidak adil Atau mereka-mereka yang terpinggirkan akibat suatu kebijakan penguasa yang tidak populis pada masyarakat miskin, anak-anak jalanan, orang-orang lemah yang tergusur dan terintimidasi akibat stigma politik masa lalu. Munculnya istilah kolompok lemah, karena antonim dari yang kuat. Dalam keadaan yang sebenarnya, dan sesuai prinsip hukum sebab-akibat, tidak mungkin ada kaum lemah yang tertindas, jika tidak ada kaum kuat yang menindas. Secara umum, pasti ada kaum lemah dan kuat. Akan tetapi, penindasan itu bukanlah sesuatu yang wajar. Manusia diciptakan untuk membumikan keadilan. Dan membebaskan manusia lainnya dari keterbelengguan dari berbagai kezaliman.

Dalam pendekatan apapun, penindasan adalah hal yang tidak dibenarkan. Karena mengakibatkan hilangnya rasa kemanusiaan. Kaum lemah yang tertindas akan menjadi terpinggirkan dan menderita, sementara kaum kuat yang menindas akan semakin mapan dan menikmati kesejahteraan hidup secara tidak adil.

Banyak contoh yang telah kita saksikan, bahwa dari ketertindasan tersebut, banyak rakyat di negeri ini yang belum benar-benar menikmati keadilan dan kemakmuran. Mereka terisolir akibat tirani struktur sosial yang despotic. Saat ini, pemimpin dengan nalar teologi pembebasan, sangat diharapkan, agar aspirasi dan histeris orang-orang kecil itu, dapat disuarakan, untuk mendapatkan keadilan yang sepatutnya.

Masih menurut Abad Badruzaman dalam buku Teologi menuju Aksi- menjelaskan juga, bahwa yang termasuk golongan tertindas adalah masyarakat dengan status ekonomi rendah. Mereka adalah orang-orang miskin yang tidak diberdayakan. Mereka adalah petani yang tidak dipedulikan, buruh yang dihargai dengan upah yang rendah, pembantu rumah tangga yang dilecehkan atau dianiayayah, serta anak-anak jalanan yang kesehariannya dihardik oleh orang-orang kaya, yang setiap harinya selalu berceloteh tentang nasib rakyat”. Tapi, seolah buta dan tuli dengan kondisi sosial di sekitarnya.

Melalui Gagasan Abad Badruzaman ; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan, Ia hendak hendak mengajak kepada Kita untuk menjadi jiwa-jiwa pembebas dari penindasan. Dengan tulisan sederhana tapi sedikit menggugat, saya ingin mengadzani nurani kita, bahkan pemimpin negeri ini, untuk sensitif dan tanggap terhadap nasib orang-orang kecil yang kian hari kian terenggut hak-haknya sebagai manusia. Itulah sebabnya kita ini bukan hanya perlu orang pintar. Tapi orang benar. Bahkan, lebih baik benar tidak terlalu pintar ketimbang pintar tapi tidak benar.

Kelalaiaan dan pengabaian pada konsepsi Keadilan ekonomi dan sosial di dunia islam terjadi secara luas dan meliputi semua lapisan ummat, termasuk elitnya dan fenomena ini terus berlansung. Inilah yang menjadi sebab bagi Syaikh Thanthawi mengatakan bahwa Ulama dan ummat islam masih berkutat untuk menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan dana untuk perkara Fiqih. Kira-kira syair terkenal berbunyi begini " Al-Fiqhu anfusa syai'in (segala-galanya atau fiqih adalah ilmu yang paling berharga)" Atau " idza Ma'a tazza dzu ilmin bi ilmin fa ilmul Fiqhi aula bi' tiza'azin" (jika orang berilmu mulia lantaran ilmunya, ilmu fiqih membuatnya lebih mulia). Kita masih di sibukkan pada perkara qunut dan tidak, perkara melafadzkan Basmalah di awal al-fatiha atau tidak, Dan itu masih sangat mendominasi ummat Islam bahkan ada yang tidak tidur, karena sibuk menyasar pendapat, pikiran dan sikap orang yang tidak sepaham dengannya dan tak jarang juga mereka mejebloskan ke dalam neraka karena berbeda.

Islam di yakini sebagai ajaran yg kompherensif dan sempurna namun di sisi yang lain di reduksi menjadi satu dua aspek (Fiqih) saja sehingga Islam yang Rahmatalill alamin hanya sebatas jargon.

Kapan Islam menemukan Formula kesenjangan Sosial dan ekonomi?. Tentunya setelah meneguhkan Keyakinan Bahwa " Tidak ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah", sebagaimana Ajaran Monoteisme Nabiullah Ibrahim, yang di lanjutkan Rosulullah SAW selama 13 Tahun pada periode Mekkah?.


- Makassar, Tanjung Bayang, 25 Desember 2019


*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Kopi Silong
*PenaKoesam
*NalarPinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar