Mengenai Saya

Kamis, 16 Maret 2023

DIRGAHAYU TNI ; CITIZEN JOURNALISME


Di awal tahun 2000, pakar Komunikasi Politik, Kang Jalaluddin Rahmat pernah menulis  artikel di sebuah harian nasional. Tentang "trauma psikologis" yang berhubungan dengan militerisme. 

Kang Djalal menulis, "Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata antara GAM Vs TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. 

Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang - bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tetiba terdengar suara ketukan pintu. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruh lah salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. 

Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. 

Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut.  Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”.  Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. 

Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”. 

Penggalan tulisan Kang Jalal di atas menunjukkan kepada kita sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara".  

Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat.  Bukan itu. 

Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun. Apatah lagi bila dipimpin kalangan militer, seumpama masa Orde Baru, dulu. 

Tiga tahun yang lalu, ketika saya merekan percakapan seorang ayah dan Anaknya, yang tengah jalan-jalan. Mereka berjumpa dengan seorang anak muda. Berpakaian tentara Angkatan Darat. Sang anak secara spontan memanggilnya, "Hallo .... Pak Tara !", sambil melambaikan tangan kanannya. Anak muda, seumuran saya ini tersenyum sambil melambaikan tangannya pula pada Si anak Gadis.

Sang anak Gadis sumringah sambil berkata pada ayahnya, "ramah pak tara itu. ya, Ayah ?. Dulu, katanya sang anak gadis tersebut pernah diajak foto bareng dengan pak tara yang lain. Diajak bincang-bincang. Mereka sangat baik sekali !". 

Saya tersenyum. Kenangan saya pergi ke masa-masa silam. Ketika membaca beberapa kisah anak seusia anak Gadis tersebut. Ketika kekuasaan Orde Baru yang militeristik tersebut sedang kuat-kuatnya. Ada dua sosok yang kerap di takuti dan kebanyakan orang menakutinya bila berjumpa, yaitu tentara dan hantu. Sosok pertama riil-empirik, sedangkan yang kedua tak pernah berjumpa tapi mengendap baik dalam benak. 

Tentara (termasuk poliisi)  bagi orang yang hidup masa itu, sangat "menakutkan". Bila perlu, tak usah berjumpa. 

senior-senior Saya pernah "Hampir kencing celana" ketika dihardik tentara (Garnisum) hanya karena sudah larut, masih nongkrong di depan Lorong. Memang waktu itu, dalam kondisi mabuk. Padahal hardikannya biasa-biasa saja. Lebih keras hardikan guru atau ayah mereka, Katanya Padaku. 

Jangankan melihat ataupun berdekatan, mendengar nama tentara saja, saya langsung terkulai. Ibarat kerupuk kena air. 

Beruntunglah generasi Kita, hidup di zaman ini.

Selamat HUT TNI, untuk Kalian saya menitip dua pesan yang dulu di sampaikan Soekarno dan Jendral Sudirman. Soekarno menyatakannya dengan Silogisme yang sangat mencerahkan ; " saudara-Saudar Tentara, Kalian adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya Rakyat. Jadi, Kalian adalah Alatnya alat". 

"Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun, tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik diatoom sama sekali daripada tak merdeka 100%.” -Jenderal Soedirman.


*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Punggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar