Mengenai Saya

Sabtu, 25 Maret 2023

CORET ESAI - "SURAT DARI TANAH PENANTIAN"




Kucari kamu, kekasihku. Kutakwil wajahmu pada tiap jengkal ruang, kembara diri yang menciptakan waktu. Bagai Yusuf mentakwil mimpi, mencium kehendak segala peristiwa. 

Kekasihku, kutemukan sisa-sisa senyummu di Yerusalem impian, jejak kakimu yang luhur dan rawan, di antara tawa berdebu para serdadu, dan segaris rindu. Pada tembok ratapan dukamu, kecemasan waktu, keterpencilan hati, kesunyian jiwa. Ladang rindu, mata air harapan yang mengalir dari akar pohon-pohon Tin. Menemukan waktu yang mengalir pada Zaitun, bukit Sinai, dan negeri yang dicahayai api yang menyala dari minyak yang diberkati. 

Serasa kulihat orang dari jauh, berlari-lari tiba. Mencarimu, duhai bintang yang jatuh. Oh Betlehem yang sunyi. Kuduslah namamu. Hamba mengiramu, menafsirkan perwujudanmu dengan semesta rindu kasihmu. Menghidangkan darah dan dagingmu bagi pengampunan, kefanaan yang menderita, yang tersesat dalam belantara pencarian dan kerinduan. Apabila kau hukum mereka, sungguh mereka adalah hambamu jua. Namun, bila engkau ampuni, sebab engkau memanglah sungguh gemar mengampuni. 

Kekasihku, karena cintamu, hamba sunyi menanti, di timbunan batu dan kepalsuan-kepalsuan. Menunggu tanpa waktu, di dalam hujan abad-abad yang terperangkap Dan mengenangmu, kasihku. Menerbitkan bulan dan perbincangan panjang, memasuki relung-relung musykil. Menanti pagi di sepanjang sungai Nil, lagu pendatang, gerimis yang manis, secangkir kopi hitam, tarian-tarian. Menertawakan kekuasaan, menangisi penderitaan. Cahaya matamu, kasihku, mengalir duka dan bunga hingga lubuk desah sungai Gangga. Memainkan seruling di kaki bukit hijau. Menangisi jiwa yang membeludak, kemiskinan, ketakberdayaan. 

Tetapi, kekasihku. Jejakmu baka. Menjiwa semesta, dalam puisi-puisi kembara dan kitab suci. Kucari kamu, kekasihku, dalam Taurat dan Zabur, dalam Injil dan Qur'an. Dalam keterasingan yang memedihkan dan ketakutan yang menggoncangkan. Dalam samudera akal-pikiran, metode-metode, dan di dalam dadaku, segala sudut ruang dan waktu. 

Kembara rindu terus melaju. Mengakrabi cahaya yang mengantarkan Sang Thaha ke puncak semesta. Bagai membawa sebuntal harapan, sekendi air, dan penantian yang berlumut bulan-bulan dan abad yang berlepasan dari rongga dada. Menangisi kebatuan, kelupaan yang mengotori halamanmu. Di mana telah kau ajarkan merawat kerinduan dengan kesabaran?. Kening hamba terjerembab, merasakan alangkah demam dalam ketandusan tanah al-Haram Dan Arafahmu yang berdebu selalu. 

Sampai selalu tibalah wujudmu, kekasih. Dalam segala yang hamba cintai, dan segala yang hamba tangisi. Suaramu telah menjadi sastra dan tata bahasa. Dihidupkan meski segala malam yang benam dan putus asa. Kubelai lumut waktu di kuil-kuil suci, membasuh duka dunia dengan airmu yang baka. 

Di altarmu yang kudus, aku mencari jejakmu. Halaman yang bersimbah darah, pemujaan, kematian, kemalangan. Pada muntahan peluru, harga diri yang dibeli pakai nanah dan air mata. Air mata di pelataran al-Aqsamu yang kelam sendirian. Anak-anak menyambut putus harapan di tengah badai ancaman. Jiwamu bagai gelembung-gelembung sabun yang berserak di udara. 

Kucari kamu, kekasihku. Dalam percakapan malam. Canda cabul, hujan, dan asap tembakau. Lampu-lampu yang redup, dan kesepian-kesepian yang hilang. Menyusuri segala pertanyaan dan lorong kelam. Aroma minuman dan tubuh yang setengah telanjang. Kesempitan dan kesusahan melompat dari dalam jaringan maya, dari dalam radio dan tivi bersama iklan. Orang-orang memuja namamu sambil meludah di atas tubuh yang menderita, atau menyembah diri sendiri dan kemegahan-kemegahan. 

Gembala! Gembala! Rebutlah hamba ke padang gembalamu yang jauh. Seperti senja menyepuh dunia, petang menyergap, malam dan lelah yang dilepaskan. Seperti juga pengakuan yang mendekam di balik gemuruh zaman. 

Kekasihku, ke mana lagi rindu ini kubawa pergi? Ke ayat-ayatmu yang suci atau ke dalam perang dan kekejian? Ke dalam derita atau kematian yang setiap denyut berjatuhan di pelataranmu yang suci?. Kekasihku, hamba tak sepertimu. Sebab, tak ada yang menyamaimu. Bawalah aku dalam dukamu, dalam namamu yang kudus. Dari jiwa dan akalku yang tandus. 

Ledakan dan kelemahan. Kesepian yang menyiksa dalam dada, kehilangan yang begitu dalam. Duh, kekasihku. Bagaimana mungkin hamba menjadi Sulaimanmu yang perkasa, jika derita tak bisa hamba entaskan dari nasibnya, jika tak dapat hamba pahami sedikitpun bahasa yang tak mewakilkan penderitaannya pada kata-kata. Bagaimana hamba adalah ruh kudusmu, jika kehinaan tak dapat hamba muliakan dari kelemahannya, jika tak sedikitpun hamba mengasihi dan tak menyerahkan diri untuk menebus jiwa yang berdosa. 

Kekasihku! Kekasihku! Sambutlah hamba di gerbang Yerusalemmu, tanpa darah dunia, tanpa air mata malapetaka, kemalangan yang tak tertangguhkan. Agar hamba melihatmu dan mencicipi air matamu yang baka. Mempersembahkan kesucian juga kehinaanku pada baitmu yang agung, meminum anggurmu yang sunyi dan abadi. 


Makassar, 17/05/2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar