Budaya Populer adalah Budaya yang di produksi secara Massal, untuk kepentingan Atau kesenangan banyak orang. Budaya populer juga kerap berkelindan di wilayah citra atau apa yang tampak secara artifisial.
Makanan yang sering kita makan, pakaian yang kerap kita kenakan dan kendaraan yang acap kita kendarai atau apapun itu, di masa sekarang, tidak lagi dilihat sebagaimana Nilai Guna (Fungsi) Produk tersebut.
Makan hari ini, misalnya. tidak hanya sekedar aktivitas penunjang biologis saja. Bukan lagi untuk pemenuhan Gizi, energi dan semacamnya. Lebih dari pada itu, dengan kita makan. maka, dalam waktu yang bersamaan, ada prestise atau status sosial kita yang ikut menjadi Naik.
Seperti, Makan di MCD dan tempat-tempat sejenis lainnya, Tentu derajat sosialnya berbeda dengan makan di emperan jalan.
Artinya, apa yang kita Makan, dimana kita makan. Pakaian apa yang kita pakai, belinya dimana, Mereknya apa. begitupun dengan Kendaraan, Hp, Make Up, bahkan sampai pada variabel keganteng dan kecantikan, ada standarnya. Padahal semua itu, awalnya hanya untuk pemenuhan Biologis. Tetapi, dari pilihan tempat Makan saja, sudah menunjukkan cara masyarakat sekarang mengindentifikasi kelas sosialnya berada pada posisi apa.
Selain, bukan lagi semacam aktivitas penunjang bagi pemenuhan biologis. Beberapa soal diatas, telah menjadi Semacam ideologi atau budaya Massal. Artinya, Praktek harian kita, standarnya telah men-Tradisi (Membudaya).
Maka, Tak ayal masyarakat kita, menjadi masyarakat Konsumen. Masyarakat yang senang membeli produk apa saja, asalkan hal itu dapat mengangkat status sosial, Gengsi dan Popularitas. Sekalipun, nilai Gunanya (fungsi) sama.
Selain itu juga, aktivitas Harian yang dimaksudkan, hanya sekedar memenuhi fantasi kita, dalam hal ini kita menemukan kenikmatan-kenikmatan tertentu setelah kita makan di MCD, Misalnya, Beli Pakaian di Mall, misalnya. pakai Hp Apple, misalnya.
Makan hari ini, misalnya. tidak hanya sekedar aktivitas penunjang biologis saja. Bukan lagi untuk pemenuhan Gizi, energi dan semacamnya. Lebih dari pada itu, dengan kita makan. maka, dalam waktu yang bersamaan, ada prestise atau status sosial kita yang ikut menjadi Naik.
Seperti, Makan di MCD dan tempat-tempat sejenis lainnya, Tentu derajat sosialnya berbeda dengan makan di emperan jalan.
Artinya, apa yang kita Makan, dimana kita makan. Pakaian apa yang kita pakai, belinya dimana, Mereknya apa. begitupun dengan Kendaraan, Hp, Make Up, bahkan sampai pada variabel keganteng dan kecantikan, ada standarnya. Padahal semua itu, awalnya hanya untuk pemenuhan Biologis. Tetapi, dari pilihan tempat Makan saja, sudah menunjukkan cara masyarakat sekarang mengindentifikasi kelas sosialnya berada pada posisi apa.
Selain, bukan lagi semacam aktivitas penunjang bagi pemenuhan biologis. Beberapa soal diatas, telah menjadi Semacam ideologi atau budaya Massal. Artinya, Praktek harian kita, standarnya telah men-Tradisi (Membudaya).
Maka, Tak ayal masyarakat kita, menjadi masyarakat Konsumen. Masyarakat yang senang membeli produk apa saja, asalkan hal itu dapat mengangkat status sosial, Gengsi dan Popularitas. Sekalipun, nilai Gunanya (fungsi) sama.
Selain itu juga, aktivitas Harian yang dimaksudkan, hanya sekedar memenuhi fantasi kita, dalam hal ini kita menemukan kenikmatan-kenikmatan tertentu setelah kita makan di MCD, Misalnya, Beli Pakaian di Mall, misalnya. pakai Hp Apple, misalnya.
Jadi, secara eksistensial, ada semacam identitas baru, yang terbentuk secara Kolektif. Seperti, kita akan merasa jauh lebih gaul, jauh lebih keren dan lebih berkelas ataukah menjadi Bahagian dari kelompok masyarakat tertentu, dengan melakukan aktivitas harian kita di tempat-tempat tertentu.
Ihwal tersebut, jika di telaah kedalam skema Masyarakat Kapitalisme mutakhir. maka tanpa kita sadari, kita telah menguntungkan mereka. Dalam hal ini MCD, misalnya. sebagai salah satu perusahaan makanan yang sangat di minati dan populer. Meskipun ada banyak tempat makan lainnya. Tetapi, makan ayam hari ini, bukan hanya sekedar mengkonsumsi ayam. Ada simbol Yang melekat pada Ayam, yaitu Status sosial, Gengsi dan Populisme.
Padahal ayam Di MCD dan ayam di Sari laut, sama substansi dan fungsinya. Pakaian di Mall dan Di pasar senggol, sama fungsinya. hp yang bukan Apple dan Apple, sama Fungsinya, begitupun dengan yang Lainnya. Jadi, tanpa kita sadari ataupun disadari, Masyarakat kita hari ini digeser Konstruksi berpikirnya, menjadi penghamba dan penyembah simbol.
Kita didorong sedemikian rupa, untuk menggenapi Hasrat konsumtif kita, yang sebenarnya untuk memenuhi Nalar Gengsi kita. kita akan semakin bergengsi, jika kita Makan di MCD. Kita akan semakin cantik, jika menggunakan Skinker atau derajat sosial kita naik jika mengkonsumsi Produk-produk Populer.
Bahkan mereka kerap menggunakan Publik figur (Artis dan Model) sebagai penghubung. Apalagi, jika artis yang di maksud adalah artis idola. Maka apapun yang dilakukan idolanya, apapun yang di makan dan dimana idolanya makan, pakaian apa yang dikenakan idoalanya, dsb. akan di ikuti. Sebab itu adalah dongkrak yang menunjukkan gengsi mereka sebagai pengikut idola yang setia.
padahal, Jika di tinjau dalam konteks Ekonomi politik, semua itu demi keuntungan dan kepentingan pasar. Dalam hal ini, ada kelas-kelas tertentu dalam masyarakat kapitalisme mutakhir, yang mendapatkan keuntungan dari peristiwa tersebut.
Korporate Kapitalisme, akan menggunakan Citra Publik figur atau Idola masyarakat untuk memotong Jarak sosial antara produsen dan Konsumen. Sehingga, produk yang di hasilkan tetap laku dan untung. Istilah ekonominya adalah Marketing.
Begitupun juga dalam Konstruksi Politik elektoral, di sebahagian karakter Politisi kita. Mereka kerap memanfaatkan Budaya Populer untuk menggenjot Elektabilitasnya. Misalanya, presiden Jokowi, kerap menggunakan sepatu Snikers dan Jaket , Gemar Musik metal, bahkan Memanfaatkan Grup Musik Slank, yang sangat di gandrungi anak-anak Muda, semua itu untuk mengkapitalisasi suara.
Jadi, politik dan Budaya populer itu sama dengan Budaya Populer dengan agama, mereka saling terhubung dan saling memanfaatkan.
Tidak hanya sampai disitu, Budaya Pop telah merambat ke hampir semua segmen kehidupan, termasuk kekuasaan, Filem, seni dan Sastra.
Misalnya, kita menonton beberapa Filem pabrikan Amerika, yang kerap mencitradirikan Islam sebagai Agama Teroris. Ataukah, jika kita pernah menonton film Rambo, yang mencitrakan Bahwa Amerika adalah Negera Super power, negara adikuasa yang tak terkalahkan. Dari cerita Rambo, bagaimana Amerika mau membuktikan Kedigdayaannya, seperti beberapa adegan Rambo sendirian melawan sekompi tentara. Jadi, pada cerita Rambo kita lihat bagaimana kekuasaan memanfaatkan filem untuk menciptakan narasi tertentu. Padahal, fakta sesungguhnya Amerika Kalah dari Vietnam.
Filem sebagai Contoh dalam kasus ini, di manfaatkan oleh Amerika. Sebagaimana Budaya Pop di manfaatkan para politisi dan korporate. Terutama Filem Pabrikan Hollywood. Hollywood adalah industri perfilman Amerika yang kerap menciptakan Narasi, diamana Amerika selalu ditempatkan sebagai negara digdaya.
Jika di telaah dalam Konteks Marxisme, ideologi adalah kesadaran. Jadi mereka membalikkan kenyataan atau menciptakan narasi, melalui perangkat-parangkat kebudayaan (Filem, Novel, seni, Sastra, dsb).
Memang harus di akui bahwa Budaya Populer adalah Medan pertarungan semua hal. Makanya menjadi wajar, jika ada budaya yang menampakkan ideologi tertentu dan dalam waktu bersamaan ada Budaya tandingannya. Sebagaimana, yang kita baca bahwa Budaya Populer adalah Budaya Tanding atas budaya sebelumnya, yaitu budaya Mainstrem, seperti Punk, gerakan Skinhead dan semacamnya, yang tumbuh beriringan dengan Musik-musik Underground.
Budaya Mainstream itu adalah satu strategi untuk menandingi budaya elit sebelumnya atau budaya yang direpresentasikan oleh kelompok tua. Jadi sesungguhnya Budaya itu bukan lagi dipandang sebagai representasi nilai estetis tertentu. Jika dalam Kajian politik adalah representasi dari nilai politik tertentu.
Padahal selama ini, kita kerap mencitrakan bahwa budaya Pop itu adalah budaya yang main-main, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat hedonistik dan Konsumeristik, dangkal. Ternyata, Budaya pop sangat terkait erat dengan politik, yang serius.
Nah, budaya pop tidak berjalan sendiri. Sebab, ada Idologi yang bekerja dibelakangnya. Jadi, kalau kita akrab dengan Studi-studi Marxisme, seperti yang saya sampaikan diatas, bahwa Budaya itu sulit dilepaskan dari setting struktur sosial Politik tertentu.
Contoh kasus misalnya, diindonesia. Dulu, Kita seringkali disuguhkan filem G 30 PKI. Melalui filem, negara memanfaatkan budaya populernya. Kalau kita pernah baca Buku 'Aril Heryanto ; Politik Identitas dan Kenikmatan', jelas sekali urainnya bagaimana, Politik dan budaya Populer itu sangat memanfaatkan. Sehingga melalui filem, Narasi dan semacamnya negara dengan gampang memanipulasi kesadaran sejarah masyarakatnya.
Jika analisis Fuko (Foucolt), ada relasi antara Kekuasaan dan pengetahuan. Nah, budaya populer, dalam hal ini filem dimanfaatkan untuk mengontrol bahkan memproduksi pengetahuan. jadi, kekuasaan selalu memanfaatkan pengetahuan untuk mereproduksi Narasi untuk mengontrol pengetahuan dan tindakan masyarakat. Dalam istilah Foku, "demi Mendisiplinkan Masyarakat". (Nanti di segmen lain, saya akan Uraikkan bagaimana Kurikulum pendidikan di gunakan sebagai Basis Indoktrinasi terhadap suatu ideologi tertentu).
Budaya pop juga Seringkali bersitegang dengan Budaya Nasional. Misalnya Seperti, di korea Utara, presidennya telah melarang Budaya K-Pop masuk ke Korea Utara, karena dianggap akan mengancam identitas dan budaya Nasional negaranya. Kim Jong Un menganggap Budaya K-Pop itu sebagai Kanker ganas, karena merusak generasi muda. Tetapi, hal itu tidak bisa dipisahkan dari percaturan ideologi.
Tidak bisa memang di pungkiri, bahwa K-Pop adalah War Tools Korsel untuk mendekatkan masyarakat pada Identitas negaranya, seperti Drakor dan cara bicara, cara berpakaian. Bahakn sampai pada cara hidup dan cara pandang mereka.
Dulu, juga Bung Karno sering menyampaikan untuk tidak menjadi Bangsa Peniru. Sebab, itu akan menghilangkan budaya Nasional kita. Sekalipun, budaya Nasional kita juga masih deabetabel. Karena, kita tidak punya representasi budaya Nasional. Apalagi negara Indonesia ini majemuk, budayanya banyak.
Kalau dalam Kajian Mutakhir Budaya, budaya itu memang saling meminjam. Lalu, di konstruksi ulang, akulturasi, asimilasi, lalu menghasilkan jenis budaya baru. Jadi, di Indonesia sangat sulit menentukan budaya Nasional itu apa, saking banyaknya identitas budaya kita.
Akhinya, kita menjadi Objek Budaya, teralienasi dari apa yang tidak lahir dari budaya kita. Akibatnya, akar budaya kita tercerabut dan di gantikan dengan Budaya Populer.
Budaya populer itu tidak selamanya negatif, dengan catatan dia menguatkan apa-apa yang sudah ada dalam diri kita. Namun, kita harus tetap waspada. Sebab, budaya Pop rentan di manfaatkan oleh kekuasaan dan Ideologi yang berkerja dibelakangnya. Dalam konteks ini, saya Pikir jelas, bagaimana skema Masyarakat Global (Terbaru), sangat memanfaatkan Budaya Populer untuk mengakumulasi kapital.
Artinya, anak Muda sekarang. Sudah harus berpikir berbeda (Pinggiran) sebagaimana cara berpikir kebanyakan orang berpikir. Bahwa semua yang Kita Makan, kita pakai dan kita kendarai, kita harus tau bahwa ada konsekuensi politis dan hidden agenda ideologi tertentu dibaliknya.
*Pustaka Hayat
*Rst
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar