Beberapa hari lalu saya membaca sebuah artikel tentang uang penghargaan atau honor seorang artis. Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa seorang artis yang sangat populer mendapat uang jasanya sebagai master of ceremony (MC) sebesar Rp.5,5 Miliar untuk 45 menit dia bekerja.
Pada lain kesempatan, saya pernah diceritakan besaran bayaran seorang artis penyanyi terkenal yang sekali diundang menghibur bisa mengeluarkan biaya hingga 200 juta rupiah, hanya untuk 5 atau 6 lagu saja. Itu sudah termasuk biaya hotel, asisten dan pesawatnya.
Saya pernah hadir dalam sebuah perhelatan pesta pernikahan mewah. Hadir di situ seorang biduan terkenal tanah air. Dia membawakan 4 atau 5 Iagu saja, kemudian istirahat di kamar hotel tempat acara.
Pada lain kesempatan, saya pernah diceritakan besaran bayaran seorang artis penyanyi terkenal yang sekali diundang menghibur bisa mengeluarkan biaya hingga 200 juta rupiah, hanya untuk 5 atau 6 lagu saja. Itu sudah termasuk biaya hotel, asisten dan pesawatnya.
Saya pernah hadir dalam sebuah perhelatan pesta pernikahan mewah. Hadir di situ seorang biduan terkenal tanah air. Dia membawakan 4 atau 5 Iagu saja, kemudian istirahat di kamar hotel tempat acara.
Tampilannya luar biasa. Berbaju glamor dan berdandan seperti bidadari. Mulai dari gaunnya yang wah, dandanannya yang mempesona hingga Iantunan Iagunya yang sangat memanjakan telinga pendengar. Saya hanya senyum dan manggut-manggut memahami kenyataan itu. Saya hanya berfikir, bahwa hal ini adalah bagian dari mode hidup yang terjadi dewasa ini, mungkin juga menjadi trend dunia, semisal budaya Korea.
Negeri gingseng yang tetiba menggeser obat herbal menjadi penjual drama, make up dan gaya. hingga seorang Kiyai Makruf Amin pernah merujuknya dalam sebuah pidato beliau. Belakangan ini saya jarang sekali menonton TV, apalagi sinetron dan nyanyi. Saya jadi “ketinggalan kereta” untuk urusan sejenis itu.
Suatu waktu, saya duduk bersebelahan dengan seorang senior dalam sebuah Dialog, beliau berucap kepada saya. Di negeri ini harga goyang bebek, goyang Dumang dan goyang-goyang lainnya honornya ratusan kali, ketimbang harga pikiran. Dengan menyebut nama seorang artis, beliau mengatakan bahwa honornya Rp.100 juta dan kita yang Ngisi Dialog ini nanti akan terima honor Rp.500 ribu. Saya tidak berkomentar dan hanya tersenyum. Eh, pada saat acara usai, panitia Dialog menyorongkan Amplop, besarannya tertulis Rp.500 ribu.
Saya tidak kaget lantaran sudah biasa dan memang sebesar itu nilai sebelum sebelumnya, bahkan lebih kecil dari itu.
Tapi dengan membaca artikel dua hari Ialu itu, saya menjadi ingat ucapan senior saya dan coba berfikir komparatif, serta lebih substantif. Saya juga tau besaran uang kehormatan untuk para mubalig dan ulama yang menyiram Qolbu jemaah, dengan waktu 60 menit atau Khutbah Jumat, sekitar 30 menit. Sebab, itu adalah Aktivitas yang Saya Lakoni. Saya juga tau upah buruh lepas, yang bekerja 8 jam, Senilai Rp. 100 ribu rupiah. tukang yang terampil 8 jam bekerja, Senilai Rp.150 ribu dan honor dosen untuk sekali mengajar, rata rata Rp.350 ribu rupiah, dan sederet daftar upah/ honor/ uang lelah atau apapunlah namanya, untuk berbagai profesi.
Para pengajar, dosen atau semacamnya memang beda-beda untuk setiap lembaga pendidikan. Guru besar konon mendapat uang kehormatan setiap bulan Rp.18 juta diluar gaji. Tapi para direktur bank dan dirut BUMN besar, rata-rata mendapat gaji, dll, tidak kurang dari Rp.150 juta bahkan ada yang mencapai Rp.250 juta per bulan. BUMN yang sangat besar bisa mencapai Rp.300 juta, Belum lagi termasuk Tantiem tahunan yang jumlahnya miliaran bahkan ratusan miliar jumlahnya, tergantung Iaba perusahaan.
Pada jajaran birokrasi, gaji presiden tidak lebih dari Rp.60 juta per bulan, gubernur Rp.8,7 juta dan bupati / wali kota Rp.6,2 juta. Sementara biaya kampanye yang dikeluarkan dipastikan hitungan milyar.
Pernah saya menanyakan kepada salah seorang kawan, waktu itu dia Tim pemenang salah satu gubernur di salah satu Propinsi : Berapa uang keluar buat biaya kampanye?. Dia mengangkat satu jari telunjuknya. Saya kaget. “Seratus miliar?”, tanya saya menegaskan. Dia mengangguk. “Kenapa sebesar itu?”, tanya saya. “Kandidat kami kan banyak partai yang mendukung ,” katanya. “Biaya kapal berlayar itu kan besar,” jawabnya. Saya manggut-manggut tanda paham. Belum lagi biaya alat peraga kampanye yang sangat masif.
Tapi saya tidak berlarut-larut membandingkan sistem gaji Birokrat. saya ingin bandingkan adalah honor penceramah yang memberi pencerahan dengan honor penghibur. Dua-duanya menyentuh rasa dan jiwa. Penceramah adalah orang berilmu yang bermaksud membasuh Qolbu agar menjadi Qolbun Salim atau jiwa yang tenang dan menuntun jalan untuk “pulang” dengan husnul khotimah, meningkatkan ketaqwaan sebagai sesuatu yang sangat mendasar, serta menyempurnakan iman bagi orang yang beriman agar hidup yang singkat ini berbuah manis dengar surga yang abadi dalam kehidupan yang sebenarnya (akhirat).
Sementara hiburan adalah hiburan. Hiburan adalah untuk kesenangan sesaat. ketika lagu yang merdu itu didengar telinga dan dirasakan jiwa yang halus Atau juga untuk memanjakan mata dari menikmati lenggang lenggok penyanyi yang di idolakan. Kadang tampilan itu membius dan menuntun pribadi hingga melupakan kesulitan hidup bagi yang kering atau menyempurnakan kenikmatan hidup bagi yang berpunya. Kebahagian ini jangan cepat berlalu, Katanya. Tapi kenikmatan itu hanya sesaat, tidak mampu membuat batin tenang. Setelah penyanyi berlalu, persoalan hidup tidak akan teratasi. Kegalauan muncul kembali bagi yang sedang galau.
Apalagi juga tidak memberikan sumbangan apa-apa untuk kehidupan sesudah mati. Tapi itulah fakta yang kita jumpai. Rp. 100 juta bersih, buat artis populer, dan Rp. 500 ribu buat penceramah atau da’i, sudah termasuk biaya transportasi dll.
Saya tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa Dan saya juga tak bermaksud menyudutkan orang yang membayar mahal para artis, Itu hak mereka. Tapi saya sekedar bercerita bahwa itulah fenomena kehidupan kita. Kadang-kadang karena demikian kompleksitasnya persoalan hidup, membuat kita lupa bermuhasabah. Kadang karena berjalan terlalu jauh dan hidup terlalu panjang, membuat kita lupa akan hakekat. Sehingga sesuatu yang sederhana kita hargai berlebih, sementara sesuatu yang penting dan bernilai tinggi kita abaikan.
Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan tulisan sederhana antropolog Clifford Geertz. Judulnya saya lupa. Mohon dikoreksi bila salah. Tentang DERAJAT KEBUTUHAN. Asumsi dasarnya, apresiasi dalam masyarakat, bergantung pada kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. Apresiasi bisa ekstrinsik (uang), bisa intrinsik (status, posisi dalam relasi sosial). Ini menjadi representasi secara umum, "bagaimana karakter masyarakat itu sendiri".
Youtuber(s) Atta Halilintar dan Ria Ricis, pendapatannya luar biasa. Konten mereka, mungkin biasa-biasa saja. Begitu pula dengan konten Prank, konten alay dan lebay (tanpa sentuhan estetik), subscribernya, jutaan. Sule dan keluarganya, mulai dari istri, anak pertama hingga yang terkecil. Belum Raffi Ahmad, Istri dan Anaknya dan sederet artis lainnya. like dan subscriber mereka mengalahkan subsriber UAS, UAH, Tafsir al-Misbah, Indonesia Nat. GEO, neorosains, kanal ilmu sosial, kanal ilmu alam, Kanal Ilmu Ekologi, Kanal Ilmu Demomrasi dan Hak Asasi Manusia, Kanal Ilmu Filsafat dan kanal-kanal ilmu pengetahuan yang luar biasa kualitas tampilan serta isinya. subscribe ya, mungkin puluhan ribu, paling cuman 1 juta.
Demikianlah. Derajat kebutuhan kita, seperti itu. Mungkin termasuk saya.
Lalu, ada seorang Kawan Yang Mengkritik Gagasan ini, kabarnya Dia pernah menyaksikan live performance, seorang Artis. Sungguh luar biasa. Mereka mampu menguasai audiens yang bahkan banyak Terhipnotis dengan Permormance. Semua itu adalah gabungan dari jiwa seni, talenta, kerja keras berlatih bertahun-tahun, dan tentu saja tingkat intelektualitas di atas rata-rata. Poin yang kawan saya ingin kemukakan, adalah perbandingan yang tidak setara antara otak dan goyang. Seakan-akan kalau goyang itu tidak pakai otak. Menurut kawan saya itu, sangat tidak tepat, karena kawan saya sendiri mengakui bahwa dia tidak akan pernah sampai di level seperti para pesohor itu.
Saya Mebjawab dengan memberikan Ilustrasi seperti ini ; Ada seorang kawan saya. Tamatan STM. Kepintarannya dalam memperbaiki mesin Mobil dan Motor, dinamo, AC dan sejenisnya, sangat luar biasa.
Suatu ketika, datang seorang ibu. Ingin memperbaiki dinamo pompa air pabriknya yang rusak. Bahkan kerusakan dinamo tersebut dianggap sudah sampai pada taraf yang parah sekali. Karena itu, ia berharap pada kawan saya "Dek, tolong perbaiki, berapapun biayanya, saya bayar !".
Kawan saya ini lalu pergi ke Rumah si Ibu. Selanjutnya, sekitar beberapa menit memperhatikan dinamo yang rusak tersebut.
"Tidak dibongkar, dik ?", tanya si Ibu. "Tunggu dulu, saya lihat-lihat terlebih dahulu!", jawab kawan saya ini. Beberapa menit kemudian, salah satu kabel (kecil) di perbaiki. Lalu, pompa air hidup. Air keluar, sebagaimana sedia kala. Proses, tak sampai 5 menit.
Si Ibu puas. Kawan saya ini, bahagia. "Berapa ongkos yang harus saya bayar, dik ?", tanya si Ibu. "200.000,- rupiah !", jawab kawan saya ini. Si Ibu terkejut, lalu berkata, "200.000 hanya untuk sekitar 5 menit, mahal sekaliii. !".
"Memang saya memperbaikinya 5 menit, bu. Sebelumnya, saya hanya melihat-lihat saja. Tanpa keluar peluh dan keringat. Tanpa bongkar membongkar. tapi, tahukah Ibu, berapa belas tahun saya belajar hingga bisa mengetahui kerusakan pompa air Ibu ini, hanya dengan cara melihat. Tahukah ibu, bagaimana saya membutuhkan ratusan kali mengasah insting untuk mengetahui kerusakan pompa air, sehingga kini saya bisa memperbaiki pompa air ibu hanya 5 menit. Mahal biaya untuk sampai ke taraf ini, bu. Harusnya bukan sebanyak itu. Lebih dari itu, harga yang harus ibu bayar !".
Si Ibu tersenyum. Dua lembar warna merah, beralih tangan.
*Pustaka hayat
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar