Cinta itu puitik," katamu, senja itu, ketika anak itik telah pulang ke kandang.
"Kenapa puitik?" tanyaku.
Merah matahari senja membuatmu seperti siluet. Dan itu adalah siluet yang indah senja itu.
"Karena puisi adalah kebohongan yang selalu bicara kebenaran. Begitu juga dengan cinta," ujarmu, yakin.
Aku terkekeh mendengarnya.
"Pernahki baca 'Soft Caramel'?" tanyaku.
Kamu menggeleng.
"Cocteau juga menyebut cinta adalah bentuk kejahatan terburuk," terangku.
Kamu tertawa.
"Menurut kita, cinta itu apa?" tanyamu, sembari menyandarkan tubuh ke kursi.
"Cinta itu seperti demokrasi," jawabku.
Kamu mengernyitkan dahi. "Kenapa na demokrasi?" tanyamu.
"Karena pemilunya cuma lima menit, tapi kampanyenya lima tahun," jawabku.
Kali ini kamu tertawa terbahak-bahak. Dan tawa itu selalu membuatku jatuh hati. Sungguh.
Setelah puas tertawa, kamu menatapku tajam.
"Jadi, Kakanda Perayu, katakanlah, kenapa Kita mencintaiku?", kamu bertanya seolah elang yang hendak menerkam mangsanya.
Saya menghela nafas. "Seperti tadi kubilang, cinta itu seperti demokrasi. Dalam cinta, kita paling cuma sesekali bercinta, selebihnya adalah bercakap," ujarku tenang. "Aku menyukai percakapan denganmu. Dan aku ingin menghabiskan hidup untuk bercakap-cakap denganmu."
Kukatakan itu sembari menatapmu balik, dalam-dalam. Aku melihatmu tersipu sembari menggigt bibir.
Itulah petang paling keparat yang tak mudah dilupakan.
-Benteng Somba opu, 15 Maret 2018-


Tidak ada komentar:
Posting Komentar