GAYUS. Ya, tepatnya, Gayus Partahanan Halomoan Tambunan beberapa tahun yang lalu telah divonis berlipat tahun. Namanya hingga hari ini tetap jadi buah bibir publik. Menjadi Ta'i dan sampah sejarah. Timbunan uangnya yang bertimbun-timbun puluhan milyar tersebut, bahkan hampir 100 milyar, lebih kurang, disita untuk negara. Entah adil entah tidak, saya tidak punya parameter. Bila Menkopulhukam, waktu kasus Gayus jadi "trending topik", Djoko Suyanto, mempersilahkan publik untuk menilai adil tidak adilnya hukuman tersebut, maka saya juga “senada”, biarlah ahli hukum yang menilai.
Kita masih ingat, setelah Hakim Albertina Ho membacakan keputusannya, Gayus mulai menembakkan beberapa amunisinya, dari klaimnya telah ditunggangi sebagai pion politik Satgas Anti Mafia Hukum hingga aparat hukum yang “dikentutinya” - meminjam istilah advokat senior, alm. Adnan Buyung Nasution. Tapi, bau pengemplang pajak tetap menyebar.
“Saya hanya teri, big fish tidak tersentuh”, demikian yang (selalu) diucapkan Gayus ini dalam berbagai kesempatan. Yah, ia mengaku hanya "teri".
Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat itu, bisa disunat si “teri” Gayus yang Golongan III/a itu hampir 100 Milyar, bagaimana dengan yang Paus-nya?.
Baliho “Orang Bijak Sadar Pajak” terus terpampang di berbagai sudut-sudut Kota dan Desa. Pada titik ini, saya teringat dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Gua Selarong yang menjulang tinggi itu, membuat Jawa “berdarah-darah” karena marah bergejolak melihat masyarakat di “pajak-i”.
Sejarawan Peter Carey pada tahun 1821 melaporkan bahwa para petani terpaksa menjual seluruh hasil kebun tembakaunya hanya untuk membayar pajak tanah, sementara mereka harus tetap hidup hanya dengan memakan sedikit jagung belaka. Sistem pajak yang amat sangat menekan tersebut, ditambah lagi dengan pajak lain - pajak “tol”. Orang-orang Cina yang mendapat “lisensi” pengelolaan jenis pajak itu, meninggikan sewa jalan-jalan “tol” yang harus dilalui pedagang dari berbagai desa. Ironisnya, para pedagang tersebut seringkali “terpisah” dengan dagangannya hanya untuk bisa membayar pajak “tol” ini.
Para Bupati dan kaum bangsawan, berselingkuh dengan kolonial Belanda, untuk memperkaya pundi-pundi mereka. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, membuat rakyat kecil merindukan kedatangan Ratu Adil. Ketika Pangeran Diponegoro, yang juga memiliki keprihatinan mendalam, langsung menyambutnya. Jawa berkobar dengan biaya mahal.
Perang Jawa, menurut Carey telah melibatkan 2 juta rakyat Jawa dan menewaskan hampir 200.000 orang, 8.000 pasuka Eropa dan 7.000 “Belanda Hitam”. Pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana hingga 20 juta gulden untuk memadamkan Pangeran Diponegoro. Hampir 5 tahun, Jawa bergenangan darah.
Kalau bolehlah saya berandai-andai (itupun kalau boleh), Jika persoalan mafia pajak tidak tertangani menurut prinsip keadilan, tidak kecil kemungkinan peristiwa Pangeran Diponegoro dalam “bentuk lain” akan terjadi di Indonesia. Semoga saja Tidak. Sebab, saya pun menyadari, bahwa Agak sulit membayangkan "bentuk lain" perang Jawa pada hari ini, karena bukan negara secara institusi yang mencekik rakyat dengan pajak. tetapi para pencoleng berseragam abdi negara.
Masih Lebih mudah membayangkan kemarahan rakyat yang ditujukan kepada pencoleng dengan mengejar-ngejar dan menyeret mereka ke depan GEUOLOTIN seperti pada revolusi Perancis dulu, dimana Rakyat memburu raja Louis XIV dan kroninya.
Ihwal itulah, sehingga Rakyat dalam terma indonesia berbeda dengan Kata Rakyat dalam terminologi Inggris. Dalam terma Inggris, Rakyat adalah People. Kalau kita katakan People, maka ingatan orang terhadap peristiwa di alun alun kota paris pada tahun 1789, di jam 10 pagi ketika Raja Louis XIV di tenteng oleh seorang rakyat. Setelah di penggal oleh pisau GEUOLOTIN. Karena raja tersebut adalah seorang Koruptor.
*PustakaHayat
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar