Jika ada orang yang puasanya hanya menahan lapar dan haus, namun tidak menahannya dari amarah, sifat serakah, Dzolim, Takabbur, Congkak, angkuh, pongah, kikir, fitnah dan ghibah, dsb?. Itulah puasanya orang yang hanya menahan tapi tidak menuhan. Secara fikih puasanya tetap sah, namun secara hakiki puasanya tak berbekas pada jiwanya. Inilah puasa dari golongan orang yang disebut Rasulullah saw, “banyak yang berpuasa tapi yang mereka dapati hanya lapar dan dahaga”
Di titik itulah, jika puasa hanya merubah Jadwal Makan dan minum. Sekalipun Allah Maha pengasih dan penyanyang. Maka, derajat Taqwa sangat sulit di raih.
Bisa kita saksikan, bahwa Ramadhan silih berganti dari tahun ke tahun, Hanya Merubah Jadwal Makan dan Minum kita. Puasa Tidak pernah sama sekali mempengaruhi Keserakahan kita. Tidak pernah menjadi Perisai atas arogansi dan Egoisme kita. Tidak pernah menjadi pengendali Hawa nafsu kita. Tidak pernah menjadi Control atas Keinginan-keinginan Pribadi kita, yang segudang banyaknya itu. Lalu, apa Gunanya kita dididik di ramadhan dengan aktivitas puasa?. Bukankah Rosulullah jauh hari telah memberikan warning pada kita, "banyak yang berpuasa tetapi hanya lapar dan haus yang mereka dapatkan".
Sebulan penuh Kita menjalankan puasa Ramadhan, bulan mewah dalam kehidupan manusia. Bahkan, juga ‘mewah’ bagi Allah SWT itu sendiri. Artinya Ramadhan adalah bulan untuk mempuasai dunia. Bulan Untuk melatih kita mengambil jarak dari dunia. Bulan Untuk menjauhi dunia. Bulan Untuk mengatasi dunia, jangan sampai kita kalah oleh dunia dan isinya. Bulan Untuk memperoleh kemenangan atas nafsu-nafsu dalam diri kita yang senantiasa memperbudak kita, agar menyembah dunia.
Selain Hakikat Puasa yang saya uraikan pada bahagian pertama. Hakikat lain dari Puasa adalah perang menahan diri, ditengah kebiasaan kita menumpahkan atau kebiasaan mengendalikan ditengah tradisi melampiaskan atau pada sekala yang lebih besar : perang menahan kecepatan Ekonomi, perang melawan industriliasasi, melawan konsumerisme, melawan globalisasi, yang senantiasa mengajak kita untuk melampiaskan. sedangkan tuntunan agama mengajak kita untuk menahan (Puasa), mengendalikan dan mengenal Batas, itulah puasa.
Pada konteks demikian, Kita tidak kekurangan Contoh, kita hanya kurang Tamasya pada Perbendaharaan sejarah. Sebab, Rosulullah SAW sendiri memberikan Uswah pada Kita?. Tidak main-main dua imperium Besar didunia, tunduk padaNya. tetapi, Fakta sejarah membuktikan, tidurnya Tetap diatas pelepah kurma. Panjang dan lebarnya rumahnya, jauh dari kelayakan. Makannya kadangkala sepotong Roti atau 3 buah kurma dan seteguk air zam-zam. Tidak hanya itu, bahkan Allah SWT pernah menantangnya, " waa laa syaufa Yu'tika robbuka Fatardho". Bahkan di dalam kitab Al-Barzanji, dijelaskan, "sekiranya Engkau (Mahammad) Mau, Aku (Allah) akan menjadikam Jabal Uhud menjadi bukit Emas kepadaMu". tetapi Ia menolak. Karena Rosulullah SAW Adalah Pribadi yang Mahfum bahwa Pada batas kapasitas (MENAHAN). kesederhanaan itu Mulia. Lalu, siapa pengikut Rosulullah Muhammad Shallahu alaihi wa saalam?.
Ada dialog antara 'Maulana Rumi' dan muridnya. Pada suatu ketika, Bermula dengan pertanyaan-pertanyaan dan di jawab dengan jawaban yang indah. "Apa itu Racun? " apapun yang lebih dari kebutuhan kita, itu adalah racun. Bisa jadi Racun itu adalah kekayaan, kekuasaan, kebencian, kemiskinan, cinta, keserakahan, ego, kemalasan, ambisi dan bisa jadi apapun". Seturut dengan itu, saya ingat dengan apa yang disampaikkan 'Nikolai Berdyaef', bahwa "Nasi untuk diriku adalah persoalan materi. Sedang Nasi untuk tetanggaku adalah soal spiritual".
Begitulah Puasa dalam menempa, dan Mentransformasi Kesadaran buruk, busuk Manusia menuju kesadaran Ilihai, dalam Istilah ' Dr. Abd Munir Mulkam'. Kesadaran Iliahi inilah yang disebut Taqwa. Sedang Taqwa itu menurut Prof Qasim Mattar, salah satunya terletak pada Kepekaan Nurani pada sesama.
Jika saja, tabir Puasa ini di singkap oleh Allah. Sebenarnya Allah sangat posesif, sangat memendam rasa memiliki, terhadap ibadah puasa hamba-hamba-Nya di bulan Ramadhan. Shalat, zakat, haji pahalanya kembali kepada manusia. tetapi, ‘puasaMu untuk-Ku!’, Kata Allah.
Allah sendiri berpuasa (Menahan). Jika Allah tidak berpuasa, sudah lama Allah menggulung alam semesta beserta isinya, akibat pengingkaran Hambanya yang berlaku tidak seimbang. Para malaikat juga berpuasa. Jika Malaikat tidak berpuasa, maka malaikat sangat bisa melakukan banyak hal, yang bagi manusia sangat ajaib dan luar biasa. Tetapi, malaikat hanya boleh melakukan apa yang di perintahkan oleh Allah ,"Ya' ma lu ma Yu' marun". Para Nabi dan Rosul pun sangat berpuasa dalam hidupnya.
Bulan Ramadhan adalah bulan pendidikan yang melatih pengembangan kepribadian kita menanggalkan rohani yang infantil menuju pendewasaan dengan mikraj ke tingkatan rohaniah yang lebih tinggi. Melalui bulan Ramadhan kita diajar menjadi lebih dewasa, kita dipacu dan dipicu untuk memenuhi kebutuhan rohani. Perintah menahan, melatih kita untuk meninggalkan dan menanggalkan keterikatan kita pada dorongan jasmaniah dan mulai memperhatikan kebutuhan rohani kita. Melalui Ramadhan, kita berproses untuk berpaling dari “membinatang” menjadi “memanusia”, dari “memanusia” untuk kemudian “menuhan”
Misalnya, baju yang kita akan pakai harus dengan metode Puasa. jika tidak, maka semua baju akan kita kenakan Dan itu sudah cukup untuk di sebut sebagai orang Gila. kalau dalam sepak bola, kita melanggar puasa. Maka itu yang di sebut dengan offside, out ball, kartu kuning dan kartu merah. Jika di uraikan lebih dalam lagi Prinsip puasa ini, seperti Bersuami Istri, harus dengan prinsip berpuasa. Jika tidak ada aktivitas puasa, maka setiap suami akan menyetubuhi semua wanita atau sebaliknya. Tetapi, karena Suami atau istri berpuasa menggunakam metode Puasa (Menahan). maka dia hanya bersenggama dengan Istrinya.
Di titik itulah, prinsip puasa ini niscaya di konversi kesemua segmen hidup dan aktivitas kehidupan kita. Artinya, puasa itu bukanlah pekerjaan Khusus. Ia adalah pekerjaan hari-hari dan merupakan hakikat hidup ummat manusia. Maka, barangsiapa yang paham puasa. Dia akan jaya, selamat dan Tenang.
Sekali lagi, ramadhan harus kita pahami sebagai jam-jam pelatihan atau trainning, jam-jam pendidikan. Sedangkan, praktek puasa yang sesungguhnya adalah di segala bidang kehidupan, termasuk di dalam ramadhan itu sendiri. Oleh sebab itu, akan indah sekali, jika sejak kecil anak-anak kita, tidak hanya di didik, bahwa puasa itu bukan hanya soal tidak makan dan tidak minum di siang hari. Tetapi, di pahamkan bahwa puasa itu adalah prinsip Hidup sehari-hari, di masa lalu atau di masa kini.
Ada Seorang Mufti dari Mesir, seketika menangis di tengah-tengah acara live salah satu saluran Tv. Ia Menangis tersedu sedan, karena mendengar pertanyaan dari Somalia, yang begitu menggahar palung terdalam Jiwanya ;
"Apakah Puasa saya Sah, jika saya tidak memiliki makanan untuk sahur dan berbuka". Siapa yang berani menjawab pertanyaan ini?.
Padahal, Hakikat Puasa itu sejatinya tidak hanya sekedar merubah jadwal makan dan Minum kita. puasa tidak pernah di jadikan sebagai sarana (Madrasah) dalam menempa hawa Nafsu untuk mengerti Batas ; kapan Makan?. Kapan berhenti makan?. Makan ukurannya berapa ?. Makan apa dan seterusnya?.
Di titik itulah ramadhan, dengan aktivitas Puasa, tidak pernah pernah mempengaruhi keserakahan, ketamakan, kesombongan, Egoisme, Arogansi, tidak pernah menjadi pengendali Atas Hawa Nafsu, tidak pernah menjadi perisai atas keinginan-keinganan pribadi kita yang segudang banyaknya itu.
Hanya sekedar Puasa menahan lapar dan Haus. Lalu, kita berani menagih surga Allah. Begitu Murahnya Jannah Allah, Yaa perumpamaannya adalah "Kholidina Fiha Abada", teduh, hijau dan tentram. Yang di janjikan tiada kematian didalamnya. Yang penghuninya mendapatkan segala yang diiginkannya.
Kita membeli Jannah Allah, dengan kerja Yang begitu Mudah. Sedangkan, Urusan hamba Dipersempit menjadi sekedar Hubungan vertikal saja. Sementara kehidupan didunia sudah rusak serusak-rusaknya dan hamba abai, bahwa Tidaklah engkau Tugaskan kami sebagai Khalifah.
Konon, puasa bisa berdampak untuk kesehatan. Tentu hal itu tidak bisa di bantah, jika puasa yang di maksud sebagaimana Tuntunan Rosulullah SAW, "Tsumu Tasyifu (berpuasalah agar sehat)".
Tetapi, Masihkah puasa berdampak baik untuk kesehatan kita, jika berbuka Puasa seperti Hari Raya Puasa, menjadi ajang balas dendam ; Menyumpali sebanyak-banyak segala jenis makanan kedalam mulut, setelah seharian perut kosong.
Jika demikian, kita hendak menjadikan puasa sebagai pelatihan dan pembersihan bagi Jiwa (Tazkiyatun Nafs). Maka, rasanya sangat jauh panggang dari api.
Setelah perang badar, sahabat bertanya pada Rosulullah SAW ; apakah perang ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Ummat manusia?. Lalu, Rosulullah SAW menjawab, "perang badar ini, hanya perang kecil. Sebab kita akan memasuki perang yang lebih besar dan lebih dahsyat (Jihad Al Akbar), yaitu perang melawan Hawa Nafsu".
Perang besar itu adalah perang melawan ketidakterbatasan kehendak kita.
Imam Ja’far Shadiq suatu ketika memberikan penjelasan mengenai salah satu hikmah disyariatkannya puasa. “Allah swt mewajibkan puasa adalah untuk menyejajarkan kedudukan antara orang kaya dan miskin. Orang kaya belum pernah merasakan lapar, karena ketika menginginkan sesuatu ia sanggup memenuhinya. Melalui puasa, Allah menyejajarkan yang kaya dan miskin melalui rasa lapar yang dirasakan bersama, sehingga orang kaya dapat berempati kepada yang miskin dan mengasihi orang yang lapar”.
Ibadah puasa di satu sisi merupakan ritual yang bersifat sangat personal, namun juga mengandung hikmah kepada manusia yang mesti ditransformasikan dalam kehidupan sosial. Hal tersebut sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab selaku orang yang beriman. Puasa merupakan proses riyadhah (latihan) rohaniah manusia, yang oleh Nabi Muhammad saw disebut sebagai jihad Al akbar, jihad yang lebih besar dari beradu senjata di medan peperangan.
Pertarungan sesungguhnya ada dalam diri, itulah pergolakan terbesar manusia, jika pertarungan itu berhasil dimenangkan, maka jadilah seseorang sebagai manusia yang merdeka. "Sayyed Hossein Nasr' menulis, bahwa aspek paling sulit dari puasa adalah ujung pedang pengendalian diri yang diarahkan pada jiwa hewani. Dalam puasa kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak, perlahan-lahan dijinakkan melalui penaklukkan kecenderungan tersebut secara sistematis dengan mentaati perintah Ilahi melalui menahan lapar, dahaga, nafsu seksual, dan gejolak amarah. Inilah yang ditahan, karena kesemuanya itu jika diperturutkan akan menjadi faktor-faktor yang menghambat manusia untuk “menuhan”, karenanya hadirlah perintah menahan melalui syariat puasa.
Aktivitas menahan dalam syariat puasa merupakan ritualitas personal yang mendidik jiwa seorang hamba untuk tidak tunduk dan tidak dikendalikan oleh insting hewaniahnya. Dengan proses riyadhah ruhani, jiwa dilatih untuk memanusia sebagaimana kesejatian fitrawi. Ibadah puasa adalah proses internalisasi nilai dasar keislaman yang berorientasi pada ketundukan dan kebahagiaan.
Selanjutnya, melalui, puasa, jiwa melakukan eksternalisasi dalam bentuk pengkhidmatan pada kemanusiaan, menebarkan keselamatan bagi sesama makhluk Tuhan, dan menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Di sinilah dua sisi puasa akan menjadi tampak dengan sangat jelas, ibadah puasa merupakan ritual dan motivasi simbolik yang mengantarkan seseorang untuk menjadi seimbang antara kesalehan individual yang sifatnya simbolik-ritualistik dan kesalehan sosial yang bernuansa sosiologis.
Ibadah puasa dalam simbol ritual menahan lapar, dahaga dan nafsu seksual, merupakan madrasah rohani yang mengajarkan manusia pada pelajaran ruhani tanpa melalui sebuah konsep yang sangat teoritik, tapi sebuah proses pembelajaran, sehingga pelajaran rohani tersebut menginternalisasi dalam lubuk jiwa kita. Dengan tetap menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual dari fajar hingga malam datang, merupakan simulasi ritual dalam upaya proses “menuhan”, yaitu menginternalisasi nilai-nilai Rabbani ke dalam diri dan nilai-nilai tersebut kemudian dieksternalisasi melalui pengkhidmatan kepada sesama.
Lebih dari sekadar latihan jiwa yang bersifat personal, dengan simbol ritualistik berupa lapar dan dahaga, puasa mengajarkan kita secara langsung untuk merasakan keperihan mereka yang tak berpunya. Saat Ramadan, kita lapar dan haus karena sebuah pilihan, padahal kita memiliki banyak stok makanan dan minuman. Dengan itu, kita sejatinya diajak merenung untuk merasakan dan memikirkan derita saudara-sudara kita yang kelaparan dan tak berpunya. Dengan demikian, puasa melatih jiwa sosial kita untuk merasakan empati kemanusiaan yang mendalam dengan berbagi pada sesama.
Coret _ By. Rst (Da'i Pinggiran)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar