Mengenai Saya

Kamis, 08 Juni 2023

APAKAH HUKUM TAHLILAN ADALAH HARAM? ; Serial Bid' ah, Khilafiyah dan Titik Temu

 

Jika tahlilan, dalam arti baca-bacaan tahlil itu, hukum diajurkan. Karena, hal itu berdizikir kepada Allah.

Barangkali yang di maksudkan itu adalah sedekah Makanan. Sedekah makanan di dalam mazhab syafi'i, selama 7 hari setiap malam ; "Jika makanan itu murni dari keluarga yang meninggal, maka hukumnya makru. Jika makanan tersebut adalah sumbangan dari tetangga maka hukum tidak makru".

Hal itu hanya 7 hari saja, sedangkan hari-hari berikutnya sudah tidak dapat di hukumi. Mengapa?. Karena orang yang baru mengalami kedukaan meninggal, biasanya tidak sempat untuk bekerja. Bahkan fatwa dari Syekh Abdul azis bin Bas, Mufti Saudi Arabiah mengajurkan sedekah makan untuk orang tua, apabila sudah melalui satu bulan.

Ada pendapat lain, menurut Mazhab maliki. Jika hal itu termasuk di dalam tradisi, maka hal itu tidak apa-apa. Ada juga pendapat sayidina Umar bin Khottab, dalam kitab-kitab Hadist, justru menganjurkan kepada anak-anaknya menjamu tamu-tamu yang sedang bertakziah. Ada juga pendapat Siti Aisyah, Istri Rosulullah SAW. Diriwayatkan di dalam Bukhari - Muslim, jika ada keluarganya meninggal, beliau membuat bubur yang di campur dengan madu, disebut Talbinah. Lalu, orang-orang dekat di sekitar beliau di suruh makan.

Artinya kita tinggal memilah pada sikap seperti apa.

Sedangkan bacaan Tahlilnya Justru dianjurkan. Sebab, yang pertama kali membacakan dzikir terhadap orang mati adalah Rosulullah. Misalnya dalam Riwayat Imam Ahmad, Imam Baihaqi, imam At Thbarani, Imam Al Hakim At-Tirmidzi. Sahabat Jabir Al Ansori berkata ; Kami pergi bersama Rosulullah SAW menuju kediaman Sa'ad bin Muadz, pada hari beliau meninggal dunia. Setelah Rosulullah Menyolatkan Jenazahnya Sa'ad. Lalu, jenazah tersebut di makamkan, kemudian tanahnya di ratakan diatas. Rosulullah Masih duduk-duduk di samping kuburan (tidak lansung berdiri dan pulang). Kemudian Rosulullah, membaca Subhanallah dalam Masa yang Lama. Karena Rosulullah Baca Subhanallah, maka Para sahabat juga ikut membaca subhanallah. Setelah lama, Rosulullah lalu membaca Allahu Akbar dan Sahabat pun mengikutinya. Di riwayat lain, Rosuslullah membaca Lailaha illallaha.

Setelah berhenti Sabahat bertanya, ya Rosulullah, ada engkau tadi membaca Subhanallah, lalu membaca Allahu Akbar. Tidak seperti biasanya. Rosulullah menjawab, " hamba Allah yang Sholeh tadi ini, benar-benar di himpit oleh kuburannya. Karena itu saya bacakan dzikir, hingga Allah melepaskannya dari himpitan Kubur".

Sa'ad bin Muadz ini orang Sholeh, yang sholatkan jenazahnya adalah Rosulullah. Masih di himpit oleh kuburan, untuk lepas dari himpitan kuburan. Rosulullah dan para sahabat membacakan dzikir.

Kita ini kira-kira di himpit atau tidak. Sebab yang sholeh saja di himpit. Apalagi yang tidak sholeh. Sa'ad bin muadz ini, saking tingginya kesholehan beliau, sampai Rosulullah bersabda karena wafatnya ; Arsy bergoyang, karena meninggalnya sa'ad". Mengapa Arsy bergerak atau bergoyang, karena senang, akan di datangi rohnya Sa'ad. Walaupun begitu  ternyata di himpit oleh alam kubur. Makanya kata para Ulama, dzikir yang kita bacakan itu sangat bermanfaat. Oleh karena itulah, maka di susun dan kemas dalam bacaan Tahlil. Selain Tahlil, sedakah juga adalah wasilah untuk Allah ampuni dosa Si Mayyit. Misalnya dalam sebuah riwayat, tentang ampuhnya sedekah.

Dulu, Rosullah mengatakan dalam Sebuah Hadist Shohih yang di riwayatkan oleh Ibnu Hibban - Pada masa Bani Israil dulu, ada seorang lelaki Ahli ibadah. Selama 60 tahun, tidak pernah keluar dari tempat ibadah. jika siang ia puasa, Malamnya ia sholat dan dzikir kepada Allah. Setelah mencapai 60 tahun ibadah yang ia lakukan. Tetiba, Daerah tempat yang ia tinggali Hujan. Setelah hujan, Tanah-tanah menghijau karena tumbuh-tumbuhan berkecambah.

Akibat tanah menjadi menghijau, sang ahli ibadah ini berpikir ; Coba saya keluar dan berada diantara daun-daun yang menghijau tersebut. lalu, saya berdzikir di lokasi tersebut kepada Allah, Untuk mensyukuri nikmatnya, barangkali pahalanya jauh lebih besar. Maka, sang ahli ibadah tersebut keluar dari kediamannya dengan membawa dua potong roti. Sambil berdzikir kepada Allah, di tengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang wanita. Ia berbincang-bincang dengan wanita tersebut, sampai akhirnya ia terjerumus kedalam Zina.

Setelah berzina, ia merasa malu dan merasa takut kepada Allah, sampai ahli ibadah tersebut pingsan. Begitu dia siuman, dia mencari air. Tidak jauh dari tempat ia pingsan, terdapat genangan air Hujan.  Dia mandi  di situ. Ketika dia mandi, seorang pengemis datang meminta makanan. Kata Ahli ibadah tersebut, saya tidak punya uang, tetapi silahkan ambil dua potong rotiku itu. Silahkan ambil dan makanlah.

Setelah itu ahli ibadah tersebut Wafat, karena dia meninggal dunia, maka dua malaikat memperdebatakannya (malaikat Surga dan Malaikat neraka). Kata malaikat surga, " Hamba ini Punya saya. Sebab, ia beribadah 60 tahun tidak pernah keluar". Sedangkan Kata Malaikat neraka, "wah, ini punya saya. Sebab, sebelum ia wafat, ia berzina".

Akhirnya, pahala 60 tahun ibadah di timbang, dengan Pahala zina sekali. Ternyata pahala ibadahnya kalah dengan dosa zina sekali. Dosa zinanya lebih besar dan menghapus pahala ibadahnya selama 60 tahun. Lalu, kata malaikat neraka," nah kan. Berarti ini punya saya". Sedangkan kata malaikat surga, "tunggu dulu, sebelum dia mati. Dia bersedekah dua potong roti. Coba di timbang lagi". Begitu di timbang, ibadah 60 tahun di tambah sedekah 2 potong roti ternyata timbangannya berat sekali sampai menghapus dosa zina. Di ampuni, akhirnya ia masuk surga. 

Hadist ini bukan berarti membenarkan berzina, asal bersedakah. Bukan begitu memaknai hadist ini. Maksudnya, sedekah dua potong roti saja, sangat luar biasa dampaknya. Bagaimana dengan sedekah 2 ekor kambing. 

Berkenaan dengan itu, saya teringat Beberapa waktu yang lalu, ada yang bertanya pada saya. Kira-kira begini bunyi pertanyaannya : kita ini terbiasa dengan dzikir dan Tahlilan bersama. Barangkali mengamalkan salah satu ayat yang berbunyi, "perbaharui dirimu dengan kalimat La ilaha illallahu ". Tetapi, ada sebahagian diantara kita yang mempertanyakan bahwa Yasinan dan Tahlilan, tidak memiliki dasar dan tidak pernah di lakukan oleh Nabi. Bagaimana tanggapannya, tentang hal itu?.

Bismillah..

Saya menjawab ini, bukan karena saya lebih tahu. Tidak. Itu dulu poin utamanya, agar segala ketakjuban dan ketundukan kita, hanya kepada Allah dan Rosulnya. Sebab, belum ada setitik pengetahuan diantara samudera pengetahuan Yang Allah hamparkan kepada kita. Kalau Yasinan, memang tidak ada di zaman Nabi. Tetapi, kalau Yasin ada di zaman Nabi. Yasin itu ayat Al Qur'an atau bukan?. " Ya, ayat Qur'an", jawabnya. Salahkah kita baca Yasin?. "tidak salah, jawabnya".

Ada perintah yang berbunyi, "utlu ma uhiya ilaik - bacalah yang di wahyukan kepada engkau". Jadi, tidak salah kita baca Yasin kan. Jika kita menjelaskan hal itu. Maka, Mereka yang kerap kali melarang, akan membantah lagi, "Masalahnya adalah, cara membaca Yasin yang seperti kalian lakukan tidak ada di zaman Nabi".

Hehehe...Seyakin itukah kita, bahwa membaca Yasin atau ayat Al qur'an yang lain secara bersama tidak ada di zaman Nabi. Lantas, apa maksud ayat yang menegaskan, bahwa "yatlu na ayatihi haqqo tilawatih - mereka membaca ayat, sebenar-benar membacanya". Kalimatnya menggunakan Diksi mereka. Mereka itu artinya lebih dari satu orang atau bukan?. Lalu, di Hadist Imam Muslim di katakan, " ma ming qoumin yaj tami' fi majlisin atau fi mak'atin - tidaklah satu kaum duduk di suatu majelis. Untuk apa mereka duduk di suatu Majelis?. " Yatluna ayatillah - membaca ayat-ayat Allah".

Saya mau tanya, Yasin itu ayat Allah atau bukan?, "ayat Allah". Jika kita berkumpul dan membaca Yasin, termasuk kedalam Hadist tersebut atau tidak?. "termasuk". Jika kita berkumpul, baca Tabarakallahu, Baca Ar-rahman, termasuk kedalam ayat dan hadist tersebut atau tidak?. "termasuk".

"Mereka akan bertanya lagi, mengapa hanya Yasin saja?". 

Memangnya salah kah, jika hanya membaca Yasin saja?. Bisa di cek sendiri atau Silahkan baca 'Kitab Al Askar, karya Imam Nawawi', beliau menulis satu Bab tentang kebolehan melebihkan satu ayat diatas ayat-ayat yang lain. Jadi, Boleh melebihkan satu ayat diatas ayat lainnya, bahkan di sunnahkan.

Di masa sahabat Rosulullah, ada yang setiap Raka'at, dia membaca "Qul hu". Di tanya, mengapa hanya membaca Qul Hu terus?. Ia menjawab, di dalamnya ada nama Allah dan aku suka membacanya. Jadi, sahabat tersebut melebihkan satu ayat dan bahkan ia mengulang-ulanginya. Nabi pun mengulang-ulang ayat yang sama, Misal di Q. S. Al Maidah, " in tu adz' zibuhum fa innahum ibadhu". Maka, boleh mengulang-ulang ayat (tiqraril aya') untuk wiridan. Inilah dalil wiridan.

Kita kembali, lafadz pertamanya adalah "Yatluna ayatillah - membaca ayat Allah", hadist riwayat Iman Muslim. "wa tadzakaruna Bainahum". Di suatu riwayat mereka saling muzakaroh. Tetapi, di versi riwayat kedua, masih di riwayat Iman Muslim dan Imam-imam lainnya, bukan " Yatluna ayatillah". Tetapi, "Yadz kurunallah - mereka mengingat Allah".

Misal, kalau kita Tahlilan, kita membaca "subhanallah wa bi hamdihi, subhanallahil adzim". Itu dzikir atau mengumpat?. "dzikir". Hal itu Bid'ah atau sunnah?. "sunnah". Sederhana sekali sebenarnya, sebab dalilnya sudah di bentangkan di hadapan kita. Tetapi, Mata Hati dan Mata akal kita buta untuk memahami itu. Coba bacalah.

Berarti ada atau tidak di zaman Nabi, dengan cara berkumpul mereka memuji Allah?. Ada. Ada tidak sahabat Melakukannya?. banyak. Sedangkan, Dalil yang kerap di gunakan untuk membid'ahkan Dzikir atau Tahlilan dengan Cara berjama'ah adalah dalil yang di riawayatkan oleh Ad-darimi, bukan hadist Nabi. Derajat Dalil tersebut, tidak sampai pada derajat Shohih. Artinya Riwayat Ad-Darimi Bertentangan dengan hadist Riwayat muslim dari Muawiyah.

Nah, Mereka yang kerap melarang Tahlilan, yasinan, dsb. Acap menggunakan dalil Ad-Darimi, bahkan dalilnya di gunakan sesuai dengan seleranya. Hadistnya tidak shohih, di shohihkan. Kacau memang. Hadistnya Ad-Darimi, derajatnya cuman Hasan. Didalam Studi Hadist yang saya pelajari, jika suatu Hadist bertentangan dengan Hadist yang shohih. maka, secara otomatis hadist tersebut menjadi tzaz (aneh), bahkan bukan tzaz lagi, tetapi Mungkar.

Kita coba sebutkan Hadist yang shohihnya, dari Muawiyah : suatu kali Nabi Muhammad SAW masuk ke masjid. Nabi tidak pernah mengajari mereka. Di masjid ada orang baca, Subhanallah wa bi hamdihi, Alhamdulillah, dst (Dzikir dan bertasbih kepada Allah secara Berjama'ah). Begitu Nabi Masuk di Masjid, setelah dari rumahnya Beliau dapat Wahyu. Nabi Tanya, untuk apa kalian berkumpul?. Lalu, mereka menjawab, kami berkumpul untuk memuji Allah, atas nikmat islam dan nikmat hidayah yang di berikan kepada kami, wahai Rosulullah.

Di suruh Nabi kah mereka?. Tidak. Mereka inisiatif sendiri. Inilah cikal bakal Yasinan, tahlilan, dzikiran, thoriqotan. Dalilnya adalah Shohih Muslim. Karena di tanya lagi oleh Nabi, mereka gemetar. Di tanya yang ketiga kalinya, mereka tambah ketakutan. Takut di salahkan Nabi dan melanggar Bid'ah.

Apa kata Nabi, Wahai sahabatku, aku bertanya seperti demikian, bukanlah "Thu'ma (menuduh) kalian. Aku bertanya begini, karena " ja ani jibril (datang kepadaku Jibril), malaikat paling mulia di langit, mengabarkan kepadaku "innallahu yu bahi bi kumul malaikatu - hai orang-orang yang berkumpul, berdzikir menyebut nama Allah. Allah berbangga menyebut nama kalian di langit".

Adapun riwayat yang di gunakan untuk membi'dahkan dzikir berjama'ah dan memimpin dzikir adalah riwayat Ad-darimi, ia adalah Sahabat imam Bukhori. Tetapi, Riwayat Hadistnya tidak sampai pada derajat Shohih.

Di dalam Riwayat ad darimi di sebutkan, ketika Abu Musa Al asy'ari bersama dengan sahabat Ibnu Mas'ud dan sahabat yang lain, masuk ke masjid. Ada orang yang memimpin dzikir. Lalu, di bantah oleh Ibnu Mas'ud dan mengatakan, apa yang kalian lakukan ini?. Jawaban orang yang berkumpul, kami bertasbih menyebut nama Allah. Di tegurlah oleh ibnu mas'ud dan abu Musa al-asy'ari, "betapa banyak amal yang baik atau betapa banyak orang ingin kebaikan. Tetapi, dia tidak mendapatkannya (lay yu sibah).

begitu di cek derajat Hadistnya, ternyata derajatnya hanya sampai pada Derajat Hasan. Tidak sampai pada derajat shohih. Sekalipun, beberapa ulama mendho'ifkan. Hadist ini bertentangan dengan hadist pertama, yang menganjurkan dan membolehkan. hadist kedua membatalkan dan melarangnya. yang pertama Nabi, yang kedua sahabi. Lebih kuat mana Nabi atau Sahabat. Yah, Nabi lah. Tetapi, pertanyaannya adalah, mungkin sahabat bertentangan dengan Nabi?. Tidak mungkin, berarti ada persoalan dengan riwayat yang kedua.

Dalam Studi-Studi Hadist yang saya pelajari. Jika ada Hadist shohih, bertentangan dengan Hadist yang lebih shohih. Maka, hadist tersebut, di sebut Tzaz (Aneh). Yang satunya di sebut Mahfudz (Terjaga). Apalagi Hadist yang derajatnya Hasan, bertentangan dengan Hadist yang Jelas-jelas Shohih. Itu belum, Matan Hadistnya dan Siapa merawi - meriwayatka, serta apa latar belakang perawinya di jadikan Variabel untuk mengukur Keotentikan Hadist tersebut.

Maksud saya, sampaikan saja pada mereka yang kerap melarang dan Mambi'dahkan sesuatu : "Pelan-pelan kii mengabarkan sesuatu". Apalagi, sampai melarang dan Membid'ahkan sesuatu. Padahal, dasar dari pelarangan itu, di comot dari ceramah Youtube yang tidak utuh dan di copas dari Informasi yang berseliweran di WAG.


* Pustaka hayat
* Pejalan sunyi
* Rst
* Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar