Namanya adalah Saddam Hussein. Suka dan benci, geram dan rindu, melekat pada dirinya. Dunia Barat dan sebagian negara (Islam) menganggapnya sebagai pahlawan ketika ia memimpin langsung perang Irak - Iran yang begitu panjang. Kemudian ia (dianggap) kalah. Lantas pihak yang selama ini menggantungkan harapan besar pada dirinya, mulai memandang sinis dan menganggapnya orang yang tidak “pantas” mendapat anjung penghormatan.
Selanjutnya, Saddam marah dan mencari justifikasi historis ketika mencaplok Kuwait. Sebagian besar negara Islam terkejut dan sedih, “mengapa Saddam melukai hati kita?”. Lalu, ketika Saddam dibombardir dari kiri kanan, dari atas dan “mendatar”, negara-negara Islam hanya menonton, marah yang tidak serius, iba tapi bercampur geram dan sejenisnya. Saddam yang awalnya dianggap pahlawan bagi rakyatnya, pada gilirannya, justru seperti “direstui” rakyatnya untuk dihabisi.
Setelah melewati persidangan yang (banyak dianggap) berbagai pihak sebagai bentuk ketidakadilan, Saddam digantung. Setelah itu, hingga kini, nama Saddam seperti “dirindukan”. Terlepas dari semua kontroversinya, Saddam dianggap sebagai figur yang mau melawan dominasi Barat. Terlepas dari berbagai analisis yang melatarbelakanginya, karena pada awalnya justru ia dianggap sebagai “boneka” Barat.
“Siapakah Saddam?”.
Nama lengkapnya adalah Saddam Hussein al-Takriti. Lahir di Takrit, Irak Tengah. Saddam, menurut banyak pihak, memiliki arti “penentang”. Orang yang suka melawan. Ketika muda, Saddam mulai mengenal politik. Ditandai dengan masuknya Saddam ke Partai Baath. Partai yang didirikan oleh Michel Aflaq ini, awal berdirinya dianggap sebagai partai yang membawa “mimpi” Pan-Arab. Dalam perjalanannya, pecah. Satu berpusat di Suriah, satu lagi di Irak. Mimpi tidak kesampaian, pecah yang justru didapatkan. Biasa, pertentangan internal selalu melahirkan cabang dan ranting.
Kembali ke Saddam. Partai Baath yang sosialis (agresif) tersebut serta jiwa muda yang - “ingin memakan semuanya”, membuat Saddam terbawa serta dalam sebuah kelompok yang melakukan percobaan pembununhan (gagal) terhadap Presiden Irak, Abdel Kareem Qassem. Ia lalu melarikan diri ke Mesir. Dalam buku biografi Saddam “The Man the Cause and the Future” yang ditulis Fuad Matar, dikisahkan Saddam sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Kairo. Setelah Abdel Kareem Qassem tidak lagi menjadi Presiden, Saddam kembali ke Irak.
Dalam usia 26 tahun, Saddam menikahi sepupunya, Sajida. Selanjutnya, pernikahan Saddam dengan sepupunya yang lebih tua 1 tahun (ada yang menyebut : 2 tahun) tersebut, menjadi titik balik perjalanan karir politik Saddam. Sajida dikenal sebagai perempuan pintar yang ambisius. Beliau dianggap sebagai faktor utama cemerlangnya perjalanan karir politik Saddam selanjutnya.
Saddam aktif dalam Partai Baath. Kemudian menjadi Wakil Ketua Dewan Komando Revolusi Irak. Dasar sebagai “penentang”, sesuai dengan arti namanya, Saddam turut serta dalam penyerangan ke istana Kepresidenan Irak. Presiden pada waktu itu, Abdel Salam Aref, turun. Kemudian digantikan oleh Ahmad al-Bakr. Presiden pertama dari partai Baath, partainya Saddam Hussein.
“Lamakah Ahmad Al-Bakr menjadi Presiden?”. Tidak. Hanya lebih kurang 3 tahun. Tahun 1979, Ahmad al-Bakr disingkirkan.
“Siapa yang menyingkirkannya ?”. Saddam Hussein !.
Bulan Juli 1979, Saddam Hussein menjadi Presiden Irak. Sejak Saddam jadi Presiden, Irak kemudian menjadi “sorotan” dan perbincangan dunia. Bermula dengan Perang Irak - Iran. Perang yang hancur-hancuran dengan sama-sama meneriakkan kalimat yang sama tersebut (maksudnya : takbir yang sama), membuat Saddam (dan Khomeini) menjadi pusat perhatian dunia. Kala itu, membicarakan Timur Tengah, maka orang akan mengarahkan telunjuknya (hanya) pada dua negara, Iran dan Irak. Saddam dan Khomeini.
Pemimpin-pemimpin negara lainnya di Timur Tengah hanya sebagai sumber berita pelengkap. Selajutnya, atas Resolusi PBB, Perang panjang itu, berhenti. Gencatan senjata diberlakukan. Karena itu, dalam perjalanan Iran dan Irak kemudian, kata “damai” itu, sangat dinamis dan rentan. Hanya gencatan senjata.
Walau Saddam dianggap “kalah”, ia tetap menjalani petualangan politik “destruktif”nya. Tetap jadi sorotan dunia. Tahun 1990, misalnya, Saddam memerintahkan pasukan militernya untuk menyerbu Kuwait dan menjadikan (salah satu) negara kaya di kawasan teluk ini sebagai Provinsi ke sekian dalam negara Irak. Aneksasi Irak atas Kuwait ini, memicu krisis internasional. PBB atas usul Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, menghukum Irak dengan embargo. Irak tidak boleh menjual minyaknya ke negara lain, merupakan salah satu bentuk embargo diantara embargo lainnya. Saddam langsung terkucilkan dalam pergaulan internasional.
“Jatuhkah Saddam dengan berbagai bentuk embargo tersebut ?”.
Di dalam negeri, nama Saddam tetap harum. Ia pandai membakar semangat rakyatnya untuk mengutuk Amerika Serikat dan sekutunya. Mengkapitalisasi kehidupan pahit rakyat Irak, akibat embargo ekonomi tersebut menjadi keuntungan politik tersendiri bagi ayah lima orang anak ini (Usay, Qushai, Raghad, Rana dan Hala). Istri Saddam, Sajida, begitu lihai menyentuh emosi rakyat Irak untuk tetap mencintai Saddam. Sajida melakukan citra diri terhadap Saddam secara massif di seluruh jalanan, media massa dan di berbagai ruang publik.
Foto-foto Saddam terpampang dalam jumlah yang sangat teramat banyak. Dengan latar yang memberikan pesan, “Saddam begitu mencintai anak-anak”, “Saddam begitu mencintai perempuan Irak”, “Saddam adalah tokoh yang punya harga diri” dan sebagainya. Saddam bahkan dianggap kalangan perempuan di Irak sebagai satu-satu kepela negara Arab yang mendorong emansipasi bagi perempuan.
Foto-foto Saddam sedang mencium anak-anak, juga begitu menyentuh Dan satu kekuatan Saddam di mata rakyatnya (kala embargo tersebut dilakukan secara massif) adalah Saddam adalah suami dan ayah yang baik. Saddam dikenal sebagai Presiden di negara-negara Arab yang begitu mencintai istrinya, Sajida dan anak-anaknya (walaupun kelakuan anaknya, terutama Uday, sangat kontroversial, bahkan pernah membunuh orang dekat ayahnya).
Foto dan gambar-gambar Saddam yang jumlahnya tidak terhitung itu, menjadi latar paling diminati rakyat Irak ketika berfoto. Selfie istilah sekarang. Para pejabat bahkan “wajib” berfoto bertiga, bila ia berfoto dengan istrinya. Satu dirinya, yang kedua istrinya dan yang ketiga, gambar Saddam.
Demikianlah. Tapi semua itu hanya semu. Selanjutnya, atas alasan pembunuhan brutal (dengan embel-embel bom kimia) yang dilakukan oleh Saddam terhadap suku Kurdi, Saddam kemudian dianggap sebagai salah satu “poros setan”, selanjutnya atas resolusi PBB, Amerika Serikat dan sekutunya, menaklukkan Saddam. Tuduhan Saddam mengembangkan bom kimia, tidak terbukti, setelah Saddam ditangkap. Dalam sidang terhadap suami Sajida ini, tuduhan tersebut juga tidak terbukti. Dunia hanya bisa menonton sebagai penonton pasif. Saddam kemudian menutup catatan hidupnya di tiang gantungan.
“Bagaimana relasi Amerika Sertikat dan Sekutunya dengan Irak, setelah kejatuhan Saddam ?” Mengertilah kita. Tak mungkin biaya besar “menjatuhkan” Saddam itu “lillahi ta’ala”.
Rakyat Irak?. Kata beberapa orang kawan, rakyat Irak, banyak yang mulai merindukan Saddam.
**
-KURDI-
Ada beberapa entitas suku bangsa di dunia ini. Jumlahnya cukup besar secara demografis. Tersebar di berbagai negara. Tapi, mereka tidak memiliki “negara induk”. Negara yang dalam istilah Hannah Arendt sebagai nation state yang dilandasi atau diikat oleh etnisitas. Salah satunya, bangsa Kurdi. Etnis yang tersebar di beberapa negara seperti di Irak, Iran, Turki dan Suriah ini, diperkirakan populasinya mendekati 20 juta jiwa. Bangsa Kurdi, secara etnik, dianggap menjadi bagian dari ras Indo-Eropa atau dikenal dengan ras Arya. Secara historis, mereka menempati daerah yang bernama Kurdistan sejak 2000 SM. Mayoritas Islam (mazhab Sunni).
Pada waktu Perang Dunia I, nasib orang Kurdi tidak memiliki kejelasan politik. Terombang-ambing. Di Turki, melalui perjanjian Sevres (1920), mereka dijanjikan wilayah otonom yang diperuntukkan bagi orang Kurdistan. Tapi, janji tersebut hanyalah janji manis. Janji kosong. Ketika Turki dipimpin oleh Kemal Ataturk, tokoh sekularis ini melakukan gerakan “Turkinisasi”. Membuang dan menepikan simbol-simbol keIslaman dan etnisitas lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai historis Turki. Imbasnya, orang Kurdi juga tidak luput dari “diturkikan” tersebut. Penggunaan Bahasa Kurdi di larang. Orang Kurdi di Turki harus memanggil diri mereka orang “Turki Timur” atau orang “Turki Pengunungan”.
Beda dengan orang Kurdi di Turki, orang Kurdi yang berada di Irak diperbolehkan menggunakan Bahasa mereka sendiri. Menyelenggarakan pendidikan dengan mengedepankan simbol-simbol kultural Kurdi. Beberapa tahun setelah Perang Dunia I, melalui Liga Bangsa-Bangsa, Inggris meminta kepada Irak agar meyerahkan daerah Mossul. Daerah yang banyak didiami etnik Kurdi ini menjadi incaran Inggris, karena mengandung sumber minyak di Kirkuk. Tokoh-tokoh nasionalis Kurdi melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk kelak mendirikan sebuah negara. Mereka menjadi “teman baik” Inggris dalam mempertahankan sumber minyak di daerah ini.
Tapi, mimpi untuk mendapatkan wilayah untuk mendirikan “nation state” tersebut, “mengumpulkan” etnis Kurdi di berbagai wilayah di sebuah wilayah yang - istilah Ben Anderson sebagai “imagine society”, masyarakat yang diimpikan - hilang pupus bersamaan dengan angkat kakinya Inggris dari wilayah Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Daerah ini, kemudian berada di wilayah Irak. Orang-orang Kurdi kemudian tak bisa mewujudkan mimpi mereka untuk bersatu dan bersama-sama di sebuah wilayah tertentu. Mereka tetap berpencar di berbagai negara. Bahkan mulai merambah wilayah Eropa dan Rusia (waktu itu : Uni Sovyet).
Ketika Saddam Hussein berkuasa di Irak, nasib orang-orang Kurdi begitu membahagiakan. Mereka seperti “di anak tirikan”, dan menjadi warga negara “kelas dua” setelah keturunan Arab. Oleh Saddam Hussein, beberapa anak-anak muda Kurdi dijadikan tentara bayaran (mercenaries). Etnik Kurdi dianggap sebagai petarung yang tangguh. Saddam Hussein memanfaatkan nama besar Salahuddin Al-Ayyubi, pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berasal dari etnik Kurdi, sebagai nama pasukan khusus dari Kurdi. Biasa disebut sebagai peshmerga, atau “berani mati”. Pasukan peshmerga ini menjadi terkenal ketika dimanfaatkan oleh Saddam Hussein dalam Perang Iran-Irak tahun 1980-an. Namun dalam perkembangannya, tentara peshmerga ini banyak yang “berkhianat”.
Setelah Perang Iran-Irak berakhir, dengan kekalahan Irak, Saddam Hussein kemudian menghantam orang-orang Kurdi, bukan hanya pasukan peshmerga saja, dengan bom kimia. Menjadi isu internasional pada waktu itu. PBB bahkan mengutuk kekejaman Saddam Hussein terhadap etnik Kurdi ini. PBB kemudian melakukan intervensi dengan Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamaan PBB untuk melindungi orang-orang Kurdi di Irak Utara.
Saddam Hussein, memainkan politik “dua kakinya”. Ia berusaha mendekati beberapa faksi dan tokoh-tokoh etnik Kurdi. Etnik Kurdi menjadi pecah. Ada yang pro pada Saddam Hussein, ada pula yang kontra. Pihak yang kontra Saddam Hussein, waktu itu pasti menjadi pihak yang pro-Amerika Serikat atau Inggris. PBB, hanya sebagai “batu landasan” saja bagi AS dan Inggris. Resolusi DK PBB serta pihak yang anti Saddam inilah menjadi dasar bagi Amerika Serikat dan Inggris “ngotot” melindungi orang-orang Kurdi di Irak Utara. Padahal ini hanya menjadi “titik masuk” untuk menghantam Saddam Hussein dan melirik sumur-sumur minyak Irak yang kaya.
Etnik Kurdi di Irak Utara, makin lama makin asyik dengan konflik internal. Karena mereka di beri wilayah otonomi oleh Saddam Hussein dan memiliki hak untuk mempunyai Partai Politik, maka terdapat dua partai politik berpengaruh di wilayah ini yang secara garis politik berbeda “kawan politik”. Partai Demokratik Kurdistan (Kurdistan Democratic Party, KDP) dipimpin tokoh Kurdi bernama Massoud Barzani. Satu lagi, Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic United Kurdi, PUK) yang dipimpin tokoh kharismatik Kurdi, Jalal Talabani. KDP dianggap Pro-Amerika Serikat. Sedangkan PUK dipandang memiliki kedekatan dengan Iran. Dua partai ini, dianggap menjadi representasi riil bangsa Kurdi di Irak. Saling sikut menyikut. Saling mencari tempat sandaran politik eksternal.
Suatu ketika, Jalal Talabani ingin menunjukan keberanian untuk menyampaikan hasrat lama mereka yang terpendam, yaitu ingin memiliki negara sendiri di Irak Utara. Minimal otonomi yang diperluas dengan konsesi minyak 1/3 di wilayah Irak Utara diberikan kepada mereka, atau kalau tidak bisa, meminta posisi Wakil Presiden Irak berasal dari etnik Kurdi. Ia datang kepada Saddam Hussein dan menawarkan serta meminta hal ini. Tentu saja Saddam Hussein menolak. Bukan hanya menolak, tapi memendam amarah.
KDP yang pro-Amerika Serikat, walau secara politik bertentangan dengan Saddam Hussein, dimanfaatkan oleh Saddam Hussein untuk menyudutkan Jalal Talabani dengan PUK nya tersebut. Konflik internal dikalangan bangsa Kurdi tak terelakkan. Antara KDP dan PUK. Ribuan orang-orang Kurdi tewas akibat konflik ini. KDP yang pro-Amerika Serikat kemudian meminta tolong Saddam Hussein untuk menghantam PUK. Kedekatan PUK dengan Iran serta amarah yang terpendam Saddam Hussein terhadap Jalal Talabani (PUK), menjadi momentum emas bagi KDP menghantam PUK. Saddam Hussein tentu menerimanya dengan senang hati. Maka, pasukan PUK pun diperangi oleh Saddam Hussein. Perang Saudara makin bergelora. KDP yang “didampingi” Saddam Hussein melawan PUK yang senjatanya dipasok oleh Iran. Orang-orang Kurdi, kembali menjadi korban. Ribuan tewas.
Keinginan untuk merdeka "pupus". Peshmerga, pasukan berani mati yang berada di kedua belah pihak (PUK dan KDP), banyak yang mati sia-sia. Tujuan entah apa. Tidak lagi untuk mendirikan negara. Tapi, rivalitas dua tokoh internal, Jalal Talabani yang orang Kurdi dengan Massoud Barzani yang juga orang Kurdi.
Saddam Hussein seperti terpuaskan, amarahnya pada Jalal Talabani.
“Lalu siapa yang tertawa ?”. Amerika Serikat !.
Sampai hari ini, Amerika Serikat tetap tertawa di Irak. Suku Kurdi tetap tidak memiliki “impian” mereka.
* Pustaka hayat
* Pejalan Sunyi
* Rst
* Nalar pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar