Mengenai Saya

Kamis, 08 Juni 2023

ROKOK TIDAK HARAM ; Serial Bid'ah, Khilafiyah Dan Titik Temu

 

Ketika Asap kretek mengalun di Inggris: H. Agus salim "Si pri Tua hebat", demikian Pram menjuluki Tokoh bangsa yang nama aslinya adalah Mashudul Haq. Sebuah julukan yang berkembang pada waktu itu, terhadap figur yang menguasai 7 bahasa asing yaitu: Belanda, Inggris, prancis, Jerman, Arab, Turki dan Jepang.

Saya ingin mengutip tulisan Pramoedya Ananta Toer, tentang Diplomat mungil yang cerdas, Pram menulisnya dalam bentuk Artikel yang berjudul "kisah terbaik : yang membunuh kolonialisme. Artikel ini pertama kali di muat oleh New York Times, 18 April 1999, dengan judul "Best Story :  the book that killed colonialsme". berpuluh tahun lalu, di sebuah resepesi diplomatik di london, ada seorang yang terlihat menonjol: tubuh cukup pendek, tidak sesuai dengan standar Orang Eropa dan kurus. Dia mengenakan topi model fez berwarna Hitam (kopiah) diatas rambutnya yang memutih. Pria itu adalah H. Agus salim, duta besar indonesia pertama di inggris.

Di negaranya, dia mendapat julukan si pria Tua hebat. HAS merupakan salah seorang warga indonesia yang mendapat pendidikan barat. Sungguh ia mendapat kesempatan yang langka, karena dipenghujung Hegemoni belanda di indonesia pada Tahun 1943, tidak lebih 3,5 persen populasi yang bisa membaca dan menulis. 

Tidak mengherankan apabila penampilan dan sikap HAS, tanpa membicarakan aroma aneh dengan kretek yang di isapnya, dengan cepat ia menjadi pusat perhatian. Seorang pria memberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan yang berada di benak semua orang : "Rokok apa yang anda isap Tuan?" "Yang mulia", sahut HAS, "inilah alasan mengapa dunia barat menguasai dunia". Rokok kretek adalah rokok yang diisapnya yaitu rokok indonesia yang di bumbui denga cengkeh, yang selama berabad-abad menjadi komoditas (rempah) yang paling diincar-incar banyak pihak di dunia. 

Harusnya sebelum, ancang-ancang keluarkan kebijakan. Bertamaayalah dulu pada sejarah mungkin. Seperti, Nona Sri Mulyani yang saya yakin ia tidak hanya Cantik, ia Juga salah satu Nona yang Cerdas di negeri ini. Yang banyak di kagumi, termasuk saya. Belakangan santer Cukai Rokok, mau di naikkan. Janganlah Nona, Kasihan Perokok. 

Berkenaan dengan itu, saya ingat Tutur Arswendo, bahwa "Kekasih yang baik adalah mereka yang melarangmu tentang bahaya merokok, memunguti puntungnya yang berserakan dan memberikan hadiah korek api"

Setali tiga uang dengan hal itu, Rokok dari sisi kesehatan masih terus jadi polemik. Kandungan bahan berbahaya didalamnya dinilai merugikan kesehatan sehingga jaminan kesehatan yang harus ditanggung membengkak. Namun disisi lain, uang yang diterima dari cukainya sangat besar. Fatwa keagamaan turut mewarnai polemik rokok, di mana ada fatwa yang mengharamkannya.

Saat polemik halal-haram rokok berdasarkan fatwa ormas keagamaan maupun ulama masih hangat, pemerintah belum mengatur secara tegas larangan rokok.

Tahukah kita Seberapa Banyak Rokok menyumbang Pemasukan untuk Negara?. Jikat tidak, jangan asal bicara, sesumbar mensinis para perokok. rokok berkontribusi Triliunan rupiah kepada negara, setiap tahun dari cukai tembakau yang disumbang dari perputaran roda bisnis rokok. Itu dulu harus di ketengahkan Oleh Para Da'i dan pendakwah yang belakangan mendengungkan Rokok sebagai aktivitas kesia-siaan bahkan memasukkan kedalam neraka pelakunya.

Hingga kini, ada dua fatwa kelembagaan Islam lainnya yang bergema di masyarakat Indonesia. Pertama, Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah NO. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok yang menyatakan bahwa merokok haram, non-perokok dilarang mencoba merokok, dan perokok yang sudah telanjur diwajibkan berupaya berhenti secara perlahan. Karena itu para ulama tersebut mengkategorikan merokok sebagai perbuatan yang bertentangan unsur-unsur tujuan syariah (maqaasid asy-syariiah) yaitu perlindungan agama, jiwa dan raga, akal, keluarga serta harta.

Kedua, fatwa Mufti Mesir, Fariz Wasil, pada 1999, yang menyatakan bahwa merokok hukumnya haram dalam Islam, karena memiliki efek yang merusak kesehatan manusia.

Menurut Dr. Muhammad Taufiqi, Dosen Program Studi Perbandingan Mahzab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, fatwa hukumnya mengikat bagi yang memintanya. Sementara, fatwa baru boleh dikeluarkan jika ada yang meminta.

Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, maupun mufti Mesir percaya bahwa rokok haram hukumnya, karena termasuk kategori perbuatan melakukan khaba'is (hal kotor atau atau kejahatan) yang dilarang. Perbuatan merokok disebut mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan bunuh diri secara perlahan. Hal itu dikatakan bertentangan dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 195, "Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan".

Tentu hal ini banyak yang setuju, namun pasti tidak sedikit pula yang menolak. Masing - masing pada argumennya sendiri. Terlepas dari itu semua, fatwa sebagai sebuah ijtihad buatan manusia, memang patut kita hormati bersama, setidaknya sebagai sebuah niat baik ulama dalam melindungi umatnya. Namun pada Tulisan ini, saya tidak sedang memposisikan diri sebagai pendukung ataupun penolak rokok. Saya sebagai umat yang memiliki wawasan fiqih yang dangkal, bagaimanapun tetap menghargai niat beliau -beliau yang memang bermaksud melindungi umatnya.

Sependek pengetahuan saya, fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, ia semacam suatu saran atau nasehat dari seorang yang lebih berilmu kepada orang lain akan suatu hal. Jika suatu barang atau komoditas difatwakan haram, maka itu berarti haram menurut pendapat si fulan, namun bisa jadi kita temui fatwa - fatwa lain, yang berbeda dan beragam yang membahas hukum tentang suatu hal atau komoditas yang sama. Fatwa hanyalah suatu bentuk ijtihad seseorang manusia, ia hanyalah tafsir terhadap sebuah hukum Islam. Karena itu, semua fatwa baiknya dikembalikan kepada Allah yang memiliki hak prerogratif untuk menghalalkan dan mengharamkan segala sesuatu.

Namun yang saya cermati bukan pada kaidah keilmuan dan keilmiahan akan fatwa rokok haram dari MUI itu, saya tidak ingin berdebat tentang itu. Karena bukan masuk bidang keilmuan saya. Silahkan tanyakan kepada ahli kesehatan atau para peneliti. Saya hanya ingin menyampaikan hal yang masih menganjal di benak saya, karena pendapat yang dikeluarkan oleh para fuqaha yang saya takdzimi itu. Terkesan - maaf, bersifat parsial dan setengah-setengah. Alangkah akan sangat bahagianya kita, Seandainya beliau - beliau tidak hanya mengeluarkan statement tentang haramnya rokok itu sendiri, namun juga menfatwai yang mejadi efek dan sebab dari adanya fatwa haram rokok.

Suka atau tidak suka, sektor industri rokok menopang bisnis konglomerasi di Indonesia dan menempatkan pemiliknya sebagai daftar orang terkaya. Rokok juga menjadi salah satu sumber utama pemasukan kas negara melalui cukai yang setiap tahun mencapai triliunan rupiah.

Maksud saya, rokok sebagai suatu komoditas yang "difatwakan haram" itu tidak serta merta ada dengan sendirinya, ia bermula dari satu proses yang bermula dari hulu hingga kemudian sampai ke tangan - tangan para perokok. Rokok ada sebagai sebuah produk dari suatu sistem. Ia bermula dari tembakau yang ditanam para petani - petani kecil, masuk kedalam pabrik, dikenai cukai rokok oleh pemerintah, didistribusikan ke para pedagang dan pengecer hingga kemudian sampai kepada konsumen.

jika sebuah rokok sebagai komoditas mendapatkan stempel haram, saya sebagai umat bingun dan bertanya - tanya sendiri, tentang bagaimana fatwa menanam tembakau yang akan digunakan sebagai komoditas rokok?, apa fatwa dari pabrik rokok?, bagaimana hukumnya bekerja sebagai buruh pabrik rokok?. Bagaimana hukumnya menjual rokok?, dst. 

Ketika rokok diharamkan, maka saya sebagai umat bertanya, apakah trilyunan-triliyuna rupiah Cukai rokok yang ditarik oleh pemerintah terhadap pabrik rokok itu ikut serta merta menjadi haram, mengingat ia diambil sebagai pajak dari "penjualan barang haram"?. lalu, bagaimana pula hukum menikmati pembangunan, fasilitas yang didapatkan dari penjualan komoditas yang "dilabeli haram" tersebut?. Menjadi sangat munafik pemerintah kita, yang di satu sisi menyudutkan tembakau namun disisi lain menikmati pembangunan dari industri tembakau?. Menjadi sangat munafikah kita, yang mencap negatif para perokok, bahkan belakangan santer pendakwah mensinisi perokok sementara kita menikmati siaran olahraga, event musik, fasilitas umum yang justru disponsori oleh industri yang kita kecam - kecam itu?.

Di zaman modern ini, semua berkembang menjadi impersonal, tidak ada segala sesuatu yang berdiri sendiri, semua menjadi bagian dari roda - roda sistem. Sama halnya dengan rokok yang hadir di depan hidung kita sebagai sebuah produk yang bermula dari sistem yang panjang.

Maka, sebagai bangsa dan ummat yang berpendirian saya merindukan kita tegas dalam mengambil posisi, jika rokok menjadi haram, lantas mengapa kita masih menikmati sistem yang diperoleh dari "barang haram" tersebut?. Jika kita menikmati manfaat pembangunan dari sistem itu, lantas kenapa kita mengecam - ngecamnya, bahkan mengkategorikan pelakunya sebagai pelakun kejahatan dan tempatnya di neraka?.

Selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016.

Cukai rokok memang menjadi primadona dalam pendapatan negara. Proporsi penerimaan cukai terhadap total penerimaan negara sebesar 6,31 persen pada 2007. Porsi ini meningkat menjadi 7,10 persen pada 2012 dengan total penerimaan cukai sebesar Rp95,03 triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp144,64 triliun.

Berdasarkan Undang-undang, cukai rokok dikenakan tarif paling tinggi sebesar 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Cukai rokok dalam lima tahun terakhir selalu mengalami kenaikan. Pada 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016 sebesar 11,19%, 2017 sebesar 10,54%, 2018 sebesar 10,04%. Meskipun pada 2019 tidak mengalami kenaikan, pemerintah memutuskan untuk merapel kenaikan cukai di 2020 menjadi sebesar 23%.

Alasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya, dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat.

Cukai rokok turut menyumbang sekitar 9 hingga 11 persen terhadap total keseluruhan penerimaan negara dalam APBN. Jika sektor migas seringkali digadang-gadang sebagai sektor yang memberikan keuntungan bagi Indonesia, justru hanya mampu menyumbang 6 hingga 7 persen bagi Penerimaan Negara secara keseluruhan.

Selain menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar bagi pendapatan negara, cukai rokok juga dimanfaatkan sebagai penambal defisit BPJS Kesehatan. Pada tahun 2017, BPJS Kesehatan memiliki kewajiban membayar klaim senilai Rp 84 triliun. Padahal pendapatan dari iuran hanya Rp 74,25 triliun. Dengan kata lain ada missmatch antara pembayaran klaim dengan iuran senilai Rp 9,75 triliun. Salah satu solusi yang dikeluarkan untuk mengatasi persoalan defisit BPJS adalah pemanfaatan cukai rokok. Dana cukai rokok pada akhirnya berkontribusi menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan hingga Rp 5 triliun.



* Pustaka hayat
* Pejalan Sunyi
* Rst
* Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar