Mengenai Saya

Kamis, 01 Juni 2023

- ISLAM ESOTERIS DAN EKSOTERIS -

 

Dalam ajaran Islam, kita mengenal dua bentuk ajaran. pertama berbentuk "Esoteris" dan yang kedua berbentuk "eksoteris".

Pertama, Ibadah yang berbentuk Esoteris adalah Ibadah yang umumnya bersifat sebuah hubungan Manusia dengan Allah SWT (Vertikal), Orientasi Ibadah ini sejatinya membentuk kesadaran pada manusia untuk lebih tunduk, pasrah dan taat atas perintah Allah SWT.  Siapapun yang menyimpang dari komitmen Ibadah Esoteris ini, maka dia akan mengalami kegelisahan dan kekacauan batin. Puncak dari kekacauan batin ini sangat tidak bagus bagi kehidupan kita sehari-hari.

Kedua, Ibadah Eksoteris. Orientasi Ibadah ini meniscayakan lahirnya kecenderungan sifat empati terhadap sesama manusia. Jika ditinjau dalam Al-Qur'an, arahnya yang 100% tersebut berisi tentang : 30% berbicara tentang ibadah esoteris dan 60% berbicara tentang Ibadah eksoteris. 

Berdasarkan komposisi yang tertuang di dalam ajaran Al-Qur'an. maka, kekuatan Ibadah esoteris lebih banyak ketimbang ibadah eksoteris. Jika kekhusyuan dan ketundukan serta kepatuhan kita pada Allah. tetapi, tidak melahirkan kesadaran akan kepedulian terhadap lingkungam dan sesama manusia. Menurut Cak Nur, "jika Ibadah yang kita lakukan tidak berdimensi Eksoteris. maka, Ibadah Tersebut tidak akan sampai kepada Allah atau tertolak, sebab seluruh rangkaian ibadah kita bertentangan dengan ajaran Islam". 


**

Tujuan hidup seorang muslim itu ada dua. Pertama, tujuan jangka pendek, namanya “Fiddunia Hasanah. Kedua, tujuan jangka panjangnya, “wal fil akhirati Hasanah”. Kalau tujuan kita untuk mencapai "Fiddunia Hasanah wal fil akhirati hasanah". Maka, tentu kita harus punya alat untuk mencapainya. Apa alat untuk mencapai itu?. dalam Q.S. At-taubah ; 111, dijelaskan. Pertama, Am wal dan kedua, Anfus.

Anfus adalah diri kita. bentuknya seperti kepribadian - jabatan, wewenang, konsep, pemikiran, skil, keahlian, kemampuan, dsb. Amwal adalah bentuk-bentuk material yang kita kuasai. Seperti tanah, pabrik, rumah, mobil dan kekayaan materi lainnya. Artinya, Baik harta maupun diri adalah alat untuk mencapai tujuan, karena dia alat. Maka dia harus dikenali. Sebab, dia bukan tujuan. Jika alat dijadikan tujuan, maka kita akan kehilangan tujuan yang sebenarnya. Artinya, harta dan diri, kita upayakan dengan cara yang halal, untuk mencapai tujuan "Fiddunia wal fil akhirati Hasanah"

Di dalam Islam, hak milik pribadi tetap di akui. Tetapi, harus berfungsi sosial. Dia peras keringat, banting tulang, pagi dan sore. Setelah dia dapat upah, dia sadar, bahwa di dalam hartanya ada hak anak yatim, ada hak masjid, di sana ada Hak Mustad'fin, ada hak janda-janda Tua yang memiliki anak banyak sehingga membutuhkan santunan. Makanya ia hidup tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Sumber daya Alam yang diberikan Tuhan sebagai penopang hidup dan kehidupan ini adalah amanah yang diberikan kepada Pemakmur Bumi (khalifah), sangatlah cukup untuk memenuhi seluruh "kebutuhan" ummat manusia sampai beberapa Masa yang akan datang. namun, tidak akan pernah cukup untuk memenuhi "keinginan" satu orang manusia, begitu Gumam "Mahatma Gandhi".

Orang-orang beragama semakin tidak menujukkan sikap keagamaan yang otentik. Agama hanya dipandang sebagai aturan yang mengikat pada urusan-urusan privat manusia saja. Akibatnya, tidak sedikit kita temukan mereka sibuk berAsyik mansyuk dengan Tuhan hingga lupa pada nestapa dan derita manusia, yang Hak hidupnya direnggut dan dilucuti atas nama pembangunan, atas nama Moderinitas. Padahal Konsepsi Moderenitas itu tidak terletak pada Infranstruktur yang megah dan gedung-gedung menjulang ke angkasa, melainkan terletak pada Paradigma berpikir.

Mengapa Begitu banyak orang yang mendakukan soal kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi - Sosial dalam spektrum yang besar dan kecil, Karena seluruh pandangan keadilan yang tidak bertumpu pada Tuhan (Tauhid) pasti mengeksploitasi.

Jika kita lihat didalam al-qur’an ; kata zakat saja sebanyak 32 ayat. Apalagi jika dikaitkan dengan kata Infaq, shodaqoh, memberi makan Fakir dan miskin, dijelaskan tidak kurang dari 115 ayat didalam Al-Qur’an. Bandingkan dengan sholat, sekitar 65 ayat. Puasa sekitar 13 ayat. Haji, sekitar 10 ayat dalam Al Qur’an. Hal Ini menunjukkan bahwa kesholehan sosial tidak kalah pentingnya dengan kesholehan pribadi.

Silahkan kita baca saja ayat tersebut di dalam Al qur'an, antara Lain : Q.S. Al-Baqorah (3, 195, 215, 245, 254, 261, 262, 263, 264, 265, 267, 271, 272, 273, 274), Q.S. Al-Imran (93, 133-134), Q.S. al-Anfal (60), Q.S. At-Taubah (34, 60, 79, 121), Q.S. Ar-Ra'ad (22), Q.S. Ibrahim (31), Q.S. an-Nahl (75), Q.S. Al-Hajj (35), Q.S. Al-Furqon (67), Q.S. Qosas (54), Q.S. Ash-Sajadah (16), Q.S. Saba' (39), Q.S. Fathir (29), Q.S. asy-syuro (38), Q.S. Muhammad (38), Q.S. At-Thoghobun (16), Q.S. At-Thalaq (7), Q.S. Al-Insan (8), Q.S. Al-Hadid (7 dan 10), Q.S. Al-Munafiqun (10), Adz -Zariat (19)

Kadang-kadang dimasyarakat kita, ia Sholeh secara pribadi tetapi tidak Sholeh secara sosial, seperti sholat rajin tapi kepada Fakir malas tau. Sujud Rajin, tapi tetangga kelaparan pura-pura tidak mendengar. Boleh jadi kita yang 4-5 kali naik Haji dan umroh, terganjal Masuk surga akibat di sebelah rumah kita ada Yatim piatu yang meringis kelaparan, kita tahu dan kita mampu. Tapi kita diam saja.

Apa perlunya zakat, infaq dan shodaqoh dalam hidup kita ini. Sekalipun secara teknis berbeda?.

Pertama, ia membersihkan harta kita. Mengapa harus dibersihkan?. karena, boleh jadi didalam cara kita mencapai harta kita, tercampur cara-cara yang subhat atau ada hal-hal yang sedikit haram masuk. Itulah sebabnya harta kita, niscaya dibersihkan dengan cara berzakat ; "Zakku am walahum bis zakat - bersihkan hartamu dengan zakat". Tentang zakat, "Amien Rais" dalam Bukunya Tauhid Sosial - menggempur Formula kesenjangan, mengatakan bahwa harus ada zakat Profesi. Karena zakat 2,5 % itu tidak maksimal dalam memupuk kesenjangan.

Kedua, didalam harta yang kita miliki itu ada hak yatim, ada hak orang Miskin, ada Hak Fuqaro, dsb. Sepanjang belum kita keluarkan, maka didalam harta kita ada hak orang lain. Kalau itu kita gunakan, maka hukumnya haram. Pada konteks kedua inilah, kita bisa menyelamatkan orang kaya dari sifat kikir alias sekke. Memang Al-Qur'an menjelaskan, ada tipikal manusia, "Jama’ a ma Ala’an wa addadah - mengumpulkan dan menghitung". Dia tidak bisa memanfaatkan hartanya untuk memerangi Kesenjangan dan kemiskinan. itulah kategori manusia yang kaya harta. tapi miskin hati. 

Berkenaan dengan sifat kikir bin sekke lantang kacikoro paku jambatang, saya beri contoh, agar lebih mudah kita memahaminya - andaikkan seseorang rezekinya sehari adalah 100 Ribu. Dia dermakan 10% dari 100 ribu, berarti 10 ribu. Rezekinya orang tersebut naik menjadi 1 juta, maka, Ia dermakana menjadi 100 ribu. Jika rezeki orang tersebut naik menjadi 100 juta, maka yang dia keluarkan adalah 10 juta, begitu seterusnya.

Pada konteks seperti ini, Kikirnya mulai meronta-ronta. Sebab, semakin seseorang kaya, maka semakin terbebani jiwanya untuk memberi. Padahal, Orang yang hebat itu ketika dia memberi, diatas kemampuannya atau dia mengambil haknya, lebih sedikit dari apa yang ada. Artinya sedekah itu adalah sesuatu yang dia masih senangi atau di butuhi, tetapi dia tetap memberikan kepada orang lain. Kata Allah, “ Lantanul birro Hatta tun Fiku mimma tuhibbun - kamu tidak akan mendapatkan kebaikan, kecuali jika engaku menafkakan sesuatu yang kamu cintai".

Makanya, jika sampai sekarang kita masih miskin, maka berbahagialah. Mengapa?. Karena orang miskin itu mudah menjadi orang yang dermawan. Kalau orang sudah kaya, pasti ribet. Misalkan, Fulan miskin dan punya Dua ekor ayam. Saya mimintanya satu ekor. Fulan rela memberikan satu ekor pada saya. padahal itu 50 % dari apa yang Fulan miliki, atau contoh lainnya Fulan punya uang 100 Ribu. Saya minta 50 ribu, fulan rela memberikannya, sekalipum hal itu 50% dari uang yang dia miliki. Tetapi, kalau Fulan adalah seorang yang kaya, punya uang 1 Milyar. Saya minta 500 Juta. Apakah Fulan rela memberikannya?. Padahal 500 Juta adalah 50% dari Uang yang Fulan miliki. Dari situ kita menarik Kongklusi, Bahwa lebih gampang orang Miskin menjadi dermawan, ketimbang orang kaya menjadi dermawan. 

Selain menyelamatkan kita dari sifat kikir. Zakat, sedekah atau Infaq juga menyelamatkan kita dari penyakit tamak bin serakah. tipologi mahkluk serakah. Bisa kita lihat pada Mahkluk bernama monyet - monyet, jika di beri pisang, dia akan makan, mulutnya penuh. Di beri lagi, dia tangkap pakai tangannya. Di beri lagi, kakinya mengambil. Mulut penuh, tangan memegang, kaki memegang. Teman disebelahnya di kasih, masih dirampas juga. Mental seperti inilah yang membuat jurang kemiskinan dan kekayaan terus menganga - Yang kaya makin kaya, yang miskin makin blangsak. Gunung ditimbun, sumur digali. Gunung sudah tinggi di timbun terus, sumur sudah dalam di gali terus.

Perihal penyakit tamak bin serakah ini, Rosulullah SAW mengingatkan kita, "Jika manusia memiliki dua ladang emas, puaskah manusia itu?. Tidak akan puas. Meraka pasti akan mencari ladang ketiga. Sebab, tidak akan pernah penuh mulut manusia, jika belum ditutup dengan tanah diliang lahat". Demikianlah orang Tamak bin serakah, Di isi apa saja tidak akan pernah cukup, selalu saja merasa kurang dan itu adalah miskin yang sesungguhnya, yaitu Orang yang hidupnya selalu merasa kurang. Besar kalau memberi orang, tetapi kecil kalau dapat sendiri, betapapun besarnya.

Padahal, Islam merupakan agama yang sangat mengedepankan aspek protetik kemanusiaan dan tidak juga melupakan aspek monoteistiknya. Kekuatan dua varian ini : aspek Monoteistik dan Protetik menjadi gerakan sukses, bagaimana Agama Islam itu diklaim sebagai Agama yang Rahmatal lil alamin. Artinya Pesan kewahyuan tidak hanya berada pada konteks langit semata. Tetapi pesan kewahyuan harus mampu kita bumikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Untuk meminimalisir Sifat Pelit alias kikir dan Karakter Tamak, kita kenal konsep zakat, sebagai latihan. Jika dalam konsep niaga, minimal di keluarkan 2,5 %. Dalam pertanian, dengan kondisi tertentu, minimal 5% sampai 10%. Sedangkan infaq adalah 10% dari zakat kita. Maksudnya, Zakat adalah kewajiban kita, untuk hak orang miskin. Sementara infaq adalah kebaikan kita. 

**

Suatu ketika Ali Bin Husain ditanya, "uang saya 10 Dirham, saya sumbangkan 3 Dirham. Berapakah sisa uang saya?". Jawaban dari pertanyaan ini memiliki dua Perspektif. pertama adalah secara Ekonomis - matematis, maka tentu sisa uangnya adalah 7 Dirham. Sedangkan, kedua, jika di tinjau secara Logika dan Nalar Tasawuf, maka sisa Uangnya adalah 3 Dirham. Mengapa sisa uangnya hanya 3 Dirham?. Karena, harta yang di sumbangkan, di Infaqkan, di sedekahkan dijalan Allah untuk membantu Fakir Miskin, Mustad'fin, orang-orang yang menuntut Ilmu dan Rakyat jelata akan memberikan sumber keberkahan yang luar biasa, menjadi sumber ketenangan dan kedamaian batin. 

Selain itu sedekah, Infaq dan zakat adalah pengabadian Uang. Pernah ada seseorang yang hartanya habis, karena mengobati ibunya. Sehingga ia menjadi miskin. akhirnya ia stres, galau, dan gamang. Kegundahannya, dia sampaikkan pada Seorang Kiai. Lalu, kiai menjawab, "kamu mau pintar atau Mau Bodoh?". Jawab orang tersebut, mau pintarlah Kiai. "Karena kamu mau pintar, pernyataanmu jangan menganggap bahwa hartamu habis, karena mengobati ibumu. Karena, sesungguhnya, harta kamu itu terdeposito di akhirat, karena untuk mengobati ibumu. Bayangkan jika hartamu habis untuk maksiat, itu habis betul". Mendengar hal itu, Akhirnya ia bersyukur, karena ternyata, hartanya habis secara matematis, demi ibunya. Sekalipun dia miskin secara Ekonomi, dia tetap pede, karena masih punya tabungan di akhirat. 

Berkenaan dengan itu saya teringat dengan riwayat tentang sayidah Aisyah yang menyimpan sepotong daging kambing, sebagai bekal Rosulullah untuk Berbuka (Ifthar). Tetiba, ada yang datang meminta makanan. Akhirnya, aisyah memberi sepotong daging tersebut. Begitu Tiba jam berbuka puasa. Nabi bertanya, "Daging kambing Yang Engkau simpan tadi di mana?", jawab Aisyah, Habis, Ya Rosulullah". 

Lihat, bagaimana Cara menjelaskan Nabi, sangat indah sekali, "Wa hal laka min maalika illa ma akalta faafnaita - Harta kamu itu adalah baju yang kamu pakai, nanti akan Rusak". "Wa labista faablaita - Yang kamu makan, berakhir di WC, " Wa tashaddaqta faabqoita - Yang Kamu sedekahkan itulah yang masih ada". Kamu jangan bilang yang kamu sedekahkan itu yang habis. 

Riwayat diatas, bisa kita gunakan dengan contoh lain. Misalnya, kita punya uang 1 M, lalu kita pernah sedekahkan ke Faqir Miskin, sebesar 10 Juta. Harta yang kita sedekahkan itulah yang masih ada. Karena hal itu sudah di luar otoritas kita (lillahi ta'ala). Harta kita yang masih tersimpan, justru berpotensi untuk kita gunakan ke hal-hal yang kurang positif. 

Semenjak percakapan Nabi dengan Aisyah itu Viral. orang-orang begitu mudah bersedakah. Tetapi, sasaran dari sedekah kita harus tepat. Sebab, perkara ini, kurang banyak di jabarkan secara terperinci oleh Ulama Ushul Fiqih. Misalnya, ada orang yang kaya raya dan ia memiliki uang banyak sekali, dia mengingkan punya masjid yang di Gunakan untuk Ibadah Jum'at. Hal ini tidak salah, justru bagus. Tetapi, kelak yang bingung adalah ahli fiqih. Sebab ada dua jum'at yang terlaksana. Lantas, yang sah, yang mana?. Sebab, agak sulit bagi para Fuqaha untuk menentukan hukum dua jum'at dalam kondisi yang tidak mendesak, dalam satu wilayah - kampung atau Lorong. 

Dulu, kalau masjid banyak itu karena beda ormas, beda pemahaman atau karena jarak. Masih hukum sosial atau karena kondisinya. Sekarang ada masjid baru, karena ada orang kaya raya Yang hendak bikin masjid. Belum lagi nanti semua orang akan bermigrasi ke masjid baru itu, karena Imamnya adalah Qori, fasilitasnya nyaman. Secara tidak lansung kita membunuh masjid yang lebih tua. Artinya, sedekah itu juga harus di bina, ada Ilmunya. Sama dengan kita punya uang 10 Juta, di berikan kepada Faqir Miskin jauh lebih bermanfaat, ketimbang mengganti bola lampu, kipas angin dan Karpet masjid yang sifatnya hanya aksesoris saja. 

Berkenaan dengan itu, "Komaruddin Hidayat" menganalogikan, "orang yang memiliki Harta atau orang yang memiliki uang. tetapi menyimpannya Di Bank - Deposito, tidak memiliki efek psikologis apa-apa, ia ibarat air yang tergenang sedangkan Orang Yang memiliki harta atau uang yang banyak tetapi disedekahkan, di dermanakan untuk kemaslahatan Ummat dijalan Allah, ibarat air yang mengalir". Air Yang tergenang, akan menjadi sumber larva, sumber penyakit. tetapi sebaliknya, air yang mengalir deras hingga ke muara, akan memberikan efek kedamaiaan, kebersihan, ketenangan dan keteduhan bagi lingkungan dan sesamannya. 

Ibnu Taimiyah menuturkan bahwa "Al-Qur'an diturunkan bertujuan atau Berpretensi untuk menegakkan keadilan". Sebagaimana Allah SWT berfirman,

وَفِيْۤ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ

"Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta." (QS. Az-Zariyat: Ayat 19).

Memahami ayat ini, Ibnu Hazim, seorang Ulama Mekkah menegaskan bahwa "Jika ada orang Kaya yang memiliki Uang, memiliki Kelebihan yang banyak, namun tidak pandai berbagi kepada yang lain. maka, ia bisa menjadi korban dari sebuah keganasan - kekerasan akibat tekanan ekonomi dari orang-orang susah. 

Di titik itulah, pentingnya kita menumbuhkan spirit Ibadah esoteris. tetapi, tidak menafikan atau menyampingkan ibadah eksoteris kita. Karena kekuatan ibadah Esoteris sangat tergantung pada seberepa jauh internalisasi dari Ibadah Eksoteris dan hal itu yang sangat menentukkan tingkat kedekatan kita kepada Allah SWT. Sementara Hakikat dari proses ibadah esoteris dan eksoteris, di mulai dari sikap keikhlasan, "Waa maa umiru illa liya' budullaha muhlisana Lahuddin huu na fa". 

Ikhlas inilah standar paling berat dari semua dimensi ibadah. Ia berjalan tanpa Pretensi dan tanpa tendensi. hanya mengharapkan Ridho dan Perkenaan Allah SWT semata.

Namun belakangan, ada Patologi yang menggejala, "berbagi" telah di jadikan sebagai komoditas. Seolah-olah konsep "Berbagi" haus sudut pandang kamera - di Framing. Saya heran, Bagaimana mungkin kita sedekah, yang tidak seberapa. Lalu, Kurva Trendnya di publis Habis-habisan, seumpama Elektabilitas para Politisi. lucunya lagi, Dalam waktu bersamaan, kita telah menganggap diri sebagai pahlawan. Padahal, ALLAH memiliki Bumi, langit dan seisinya tidak pernah kita anggap sebagai Pahlawan?. Makanya, kebaikan-kebaikan yang di rilis setiap saat, di kabar beritakan setiap waktu, di blow up setiap menit. Boleh jadi, hanyalah cita Rasa, karena merasa beriman. Jika demikian adanya, maka kita susah membedakan, antara Keimanan dan kesombongan Spiritual.

Kebaikan (sedekah, Infaq dan zakat) dalam agama itu berbeda dengan Kebaikan dalam politik. Kebaikan dalam agama, rumus mendasarnya adalah Ikhlas, Sebagaimana yang saya kemukakan diatas. Sedangkan kebaikan dalam Politik, rumusnya adalah pengakuan. Kebaikan dalam agama, yang di lakukan tidak dengan Kerangka Ikhlas adalah suatu keanehan. Kalau kita Yakin bahwa segala sesuatu adalah Milik Allah. Maka kita juga harus Ikhlas dalam memberi. Karena, sesuatu yang kita anggap adalah milik kita. pada dasarnya, hanyalah kepemilikan yang Nisbi. Sementara, kepemilikan - Hak Milik dalam Ilmu Tasawuf di sebut sebagai kesalahan. Mengapa?. Karena, Pemilik yang sebenarnya adalah Allah Dan Allah menyatakan, "Walladzi ja ' ala ardhi dhalulan - saya ini yang menciptakan semuanya (bumi)". "Fam syhufi manaki bi ha - silahkan jalan-jalan". "Wa qulu mir rizki - silahkan makan-makan".

Berbagi merupakan bukti paling menawan untuk menyadari bahwa keberkahan itu bersumber dari Allah, bukan untuk di nikmati sendirian. Jangan-jangan, banyak anugerah yang masih mengalir dengan kecukupan itu ; lantaran doa ikhlas diam-diam dari orang yang berbahagia atas tidak seberapa bahagian kebaikan yang pernah kita berikan. Perihal itu juga diajarkan oleh Rosulullah SAW, yang di sebut dengan, "al yadhuul ya khoiraqum sufla - posisi memberi itu jauh lebih baik ketimbang menerima". Makanya, Allah mensifati orang baik dengan, " wa mimma rozaknahum yun fi kun - orang yang keinganannya itu memberi".

Makanya, Saat perang di zaman Rosulullah SAW, orang yang paling miskin sekalipun turut serta dalam memberi. Sampai-sampai orang munafik mencibir, "innallahu ta'ala la ghoniyun, an shodaqotil - Allah itu tidak membutuhkan sedekahmu". Apa Implikasi posistif dari orang yang paling miskin bisa bersedekah adalah mereka memakan sedekahnya sendiri dan tidak menjadi beban negara. Sehingga, mentalnya terbentuk menjadi mental patriotik. 

Di samping itu, Berbahagialah kita, jika kita di jadikan wasilah oleh Allah untuk menyampaikkan rezeky kepada orang lain. Sebab, Tidak ada orang kaya lantaran ia bakhil, dan tidak ada orang jatuh melarat lantaran ia pemurah. Rezeky yang ia dapatkan, dia belanjakan di jalan Allah. Tidak perlu semua, sebab Allah tidak menuntut semua. Pernah Rosulullah SAW mengutus seorang sahabat mengambil zakat kambing kepada seorang sahabat yang lain. Sahabat yang di suruh ambil bertanya, "apakah kambing Yang saya harus ambil adalah kambing terbaik, ya Rosulullah?". Kata Rosulullah SAW, "jangan". "Lalu, apakah kambing yang saya ambil adalah yang terjelek, ya Rosul". Jawab, Rosul, "Juga jangan. Tetapi, ambillah kambing yang pertengahan - tidak terlalu bagus dan tidak terlalu jelek. Sebab, jika engkau ambil kambing yang terbaik, maka yang punya kambing susah hatinya dan jangan mengambil kambing yang terjelek, karena yang menerima kambing nanti nyinyir hatinya.

Di titik itulah, Keseimbangan dalam Islam sangat di jaga - Hak milik pribadi ada dan di akui, namun harus berdampak sosial. Bakhil sangat di Cela dalam islam, namun Mubazzir juga tidak di benarkan dalam Islam. Jalan tengah antara Boros dan Bakhil ialah pemurah. Bedanya pemboros dan pemurah apa?. Kalau pemboros, dia membelanjakan Hartanya untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sedangkan pemurah ialah dia membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang ada manfaatnya.

Nabi Bersabda, "Arrahimuna Yarrhamu Humurrahman , irrhamu ahlal ardi yarhamkum man fisssama - orang-Orang yang punya sifat balah kasih, akan di kasihi oleh Allah. Barang siapa yang menyanyangi di bumi maka yang di langit akan menyanyangimu pula".  

Disebutkan dalam sebuah Riwayat, Rosulullah SAW bersabda, " Sesungguhnya wajib bagi setiap muslim untuk setiap harinya Bersedekah". Rosulullah Saw pun ditanya : Siapakah yang sanggup melakukan itu, Wahai Rosulullah Saw?. Rosulullah Saw, menjawab, "Setiap kebaikan itu adalah sedekah dan "Meninggalkan perbuatan baik, itu adalah sedekah".

Selain itu pula, diUraikkan dalam (Al-Wasail 6:255, hadist ke 2). Sedekah dapat Menolak Kematian yang buruk, diNukilkan oleh Imam Ja'far As-Shadiq R.A, berkata : "Pada Suatu Hari, orang Yahudi lewat didepan Rosulullah Saw, lalu Ia mengucapkan ; "Assam alayka (Kematian Atasmu)". Rosulullah Saw menjawab, "Alayka (atasmu)". Lalu para sahabat berkata, "Ia mengucapkan salam atasmu dengan Ucapan kematian, Ya Rosulullah". Kemudian Rosulullah Saw bersabda, "Orang Yahudi ini tengkuknya akan digigit oleh binatang Hitam (Ular dan Kalajengking) yang mematikannya". 

Si Yahudi, lalu pergi mencari kayu bakar dan membawa kayu bakar yang sangat banyak. Rosulullah Saw belum meninggalkan tempat itu, si Yahudi (lewat lagi). Maka Rosulullah bertutur, "Letakkan kayu Bakarmu". Sebab, Ternyata didalam kayu bakar tersebut, terdapat binatang hitam seperti yang beliau sampaikkan. Lalu, Rosulullah bertanya : "Wahai Yahudi, amal apa yang kamu lakukan?". Si Yahudi Menjawab, "Aku tidak punya kerjaan lain, selain membawa kayu bakar ini dan aku membawa dua potong roti - yang satu aku makan dan yang satunya aku sedekahkan pada orang Miskin". Maka Rosulullah Saw berkata, "Dengan Sedekah itu Allah Swt menyelamatkan dia". Selanjutnya Beliau bersabda, "Sedekah dapat menyelamatkan Manusia dari kematian yang buruk".


* Rst

* Pustaka Hayat

* Pejalan sunyi

*Muslim - Intelektual - Profesional

* Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar