Pagi-pagi. Di meja sarapan. Ahmad menatap ibunya. "Bu, kemarin saya tidak mengantarkan beras titipan ibu ke rumah sebelah".
"Kenapa?", kata ibunya.
Ahmad tidak menjawab, nafasnya di hela panjang. Bayangan tetangganya penuh, di kepalannya. Banyak hal yang melintas dan melukainya. Tiga ekor ayam bangkok yang di pelihara dengan penuh susah payah hilang di satu magrib Dan beberapa anak-anak menyampaikkan lengkap dengan sumpah bahwa anak sulung tetangganya itu yang memasukkannya ke dalam karung lalu, membawanya entah kemana.
Belum lagi ayahnya yang peminum. Jika, pulang larut dan mabok. Dari jauh terdengar serapahnya yang panjang, lengkap dengan suara gaduh diatas seng. akibat timpukan batu yang serampangan.
Banyak. Terlalu banyak alasan untuk menolak permintaan ibunya. Sudah cukup dua musim panen dia mengantarkan beras. Panen ketiga ini tidak perlu.
Ibunya menatap ahmad. Bibirnya tersenyum. " kamu tidak mengantarkannya. karena, menurutmu mereka kurang baik?".
Ahmad menunduk. Tidak menjawab, tapi hatinya bersepakat.
"Ahmad, anakku. Kamu tidak bisa menggunakan amarah dan dendam untuk menggugurkan kewajibanmu terhadap tetanggamu dan menghilangkan sesuatu yang menjadi Haknya".
Sambil Ibunya menyodorkan pisang goreng, ia kembali melanjutkan nasehatnya, "Di setiap diri manusia, ada sifat hewani yang mendekam, anakku. Kadang ia muncul dan lama. Tetapi, itu juga bukan alasan yang tepat untuk membuat kita turut menjadi binatang yang tidak berpikir".
Suara ibunya terdengar pelan. "Biarlah mereka dengan sikapnya dan tugas kita mendoakannya. Hidayah Tuhan tidak di sangka datangnya". Ibunya mengelus kepala ahmad, pelan.
"Ahmad, anakku. Tugas kita hidup di dunia ini hanya satu, menjadi manusia. Itu saja. Manusia yang menyadari diri sebagai hamba. Kita tidak perlu menjadi Tuhan yang mengadili orang lain".
**
Setali tiga Uang dengan Kisah Ahmad dan Ibunya. Beberapa waktu yang lalu, ada seorang anak di Pakistan, yang menjajakan Masker di jalan. Harganya, 20 rupe (mata uang pakistan). Lalu, tetiba seorang Calon pembeli mencandainya, "Aku tak punya uang sebanyak itu, nak?".
"Ambillah", jawab si Anak, dengan mimik muka yang serius. "Tapi, itu akan membuat ibumu sedih, jawab Calon pembeli".
Ibuku bertutur padaku, kalau penyakit berbahaya sedang menyebar, maka ambillah. kata Si Anak.
Duhaii, Ibu dan anak tersebut Menyatakan kebaikan hati, melebihi segalanya, walau dengan kesederhanaan.
Di titik itulah, sebagaimana yang saya sampaikkan di postingan yang Lainnya bahwa berbagi adalah bukti yang menawan. Sebab, segala sesuatu bersumber dari Allah. Memang Sedekah itu tidak mudah. Tetapi, lebih tidak mudah lagi menahan amarah. Itulah sebabnya, senyuman bisa bernilai ibadah di sisi Allah. Kata Sayidina Ali dalam Najhu Al-balagah, "Menahan diri adalah perhiasan kemiskinan. Sedangkan, bersyukur adalah perhiasan Kekayaan".
Dari uraian singkat tentang seorang anak penjual masker di pakistan. Saya teringat dengan salah satu cerita Inspiratif, yang di tulis oleh "Ralp Manheim", dan Menjadi salah satu bagian dalam penggalan Cerita "Jacob Grimm" (edisi Bahasa indonesia, terjemahan Arya setaka. Jakarta).
Ada sebuah cerita anak-anak, kisah yang mungkin saja sering kita dengar dulu dan masih populer hingga sekarang. Kisah tentang kakek Tua, hampir buta, hampir tuli dan tidak bisa berdiri lama karena kakinya gemetar. Istrinya sudah meninggal, di Hari Tuanya ia tinggal dengan anak lelakinya.
Anak lelakinya punya keluarga, punya istri dan seorang anak - Anak perempuan berusia 5 tahun.
Kakek tua ini, sering membuat anak lelaki dan istrinya (anak menantunya) marah. Makanan sering jatuh berserakan ketika kakek ini makan. Tangannya gemetar, ketika mengangkat sendok, ketika minum air dalam gelas pun acap tumpah hingga taplak meja basah dan kotor. Tentu anak lelaki dan menantunya tersebut merasa jijik dan merusak suasana makan mereka. Akhirnya si kakek tak lagi diajak makan bersama dimeja makan.
diruang tengah, Si kakek diasingkan, disudut rumah. Diberi sebuah mangkok dari tanah liat dan sebuah cawan dari plastik. Si kakek ini sedih, matanya berair, hatinya iba. Tapi apa mau di kata, kondisi fisik sudah lemah, usia yang sudah sangat Tua dan renta. Membuat ia menerima denga pasrah.
Suatu hari, tangan sang kakek gemetar luar biasa. Mangkok dari tanah lihat yang di pegangnya jatuh terpelanting ke Tanah, pecah berkeping-keping. Anak lelaki dan menantunya marah sejadi-jadinya, si Kakek dihardik. Akhirnya si kakek diberi Mangkok anti pecah, dari kayu.
Suatu saat, cucu kakek yang berusia 5 Tahun. Bermain-main di teras rumah, Menggunakan potonga-potongan kayu. Ayah dan ibunya merasa penasaran, apa yang di lakukan anaknya itu, "Apa yang kamu lakukan, Nak? ", tanya sang Ibu.
Anak ini berkata, "Aku membuat tempat makanan dari kayu, untuk ayah dan ibu kelak jika sudah Tua". Jawab si bocah dengan polos. Ayah dan ibu si anak tersebut, merasa terpukul. Air matanya berlinang membasahi pipi mereka.
Demikian " Melalui anak ini, Tuhan memberikan pesan. Silahkan kamu durhaka pada orang Tuamu. Anakmu akan belajar dari perilakumu. Jangan heran, jika kelak, Anakmu akan memperlakukanmu persis seperti itu juga. Silahkan menjegal orang lain, silahkan mencaci maki, menyumpah serapahi orang lain. Silahkan berlaku zalim dan sewenang-wenang pada orang lain. Kelak, engkau akan menuai hal yang sama. Sebab, orang-orang belajar dari apa yang kamu lakukan padanya, dulu.
Makassar, 21 Februari 2020
*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar