Mengenai Saya

Rabu, 21 Juni 2023

SEKELUMIT UANG HANTARAN YANG SALAH DI PAHAMI


Kebudayaan itu tersimpan dalam suku bangsa (etnik), yang terkandung di dalamnya unsur-unsur sosial yang jadi pembeda dengan suku bangsa lainnya. Unsur-unsur tersebut seperti sistem ekonomi, sistem pengetahuan dan teknologi, sistem kepercayaan, sistem politik, organisasi sosial, bahasa, kesenian, dan lain sebagaiannya. Ciri perilaku pada setiap unsur tersebut berbeda. karena, perbedaan kontak dengan lingkungan alam sosialnya.

Di dalam masyarakat Bugis-Makassar, salah satu nilai tradisi yang masih tetap menjadi prinsip mendasar, hingga kini, dan tentunya mencerminkan identititas, serta watak orang Bugis-Makassar, yaitu siri' na pacce. Siri yang berarti  Rasa Malu (harga diri). Terma ini kerap digunakan untuk membela kehormatan, terhadap orang-orang yang mau menginjak-injak harga dirinya.

Sedangkan Terma Pacce yang berarti pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Jadi, Pacce itu semacam kecerdasan emosional, untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain dalam komunitas (solidaritas dan empati). Makanya, Sering kita dengar ungkapan suku Makassar, yang berbunyi ; Punna tena Siri' nu, pacce nu senk pana'i (kalau tidak ada harga dirimu, maka kepedihanmu, yang engkau pegang teguh).

Salah satu budaya pernikahan pada suku Bugis Makassar yang punya relevansi dengan budaya Siri' na pacce, yaitu uang Pana'i. Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, "Ima Kesuma" mengatakan, tingginya uang hantaran (uang pana'i) di masyarakat Bugis-makassar sudah berlangsung sejak lama. Uang pana'i itu untuk menunjukkan gengsi dan kekuatan ekonomi pihak lelaki. Karena mengingat, perempuan Bugis-makasar adalah aset. Karena, Ia melambangkan kesuburan dan kehidupan.

Pada masa lalu, anak perempuan di tempatkan di lantai dua rumah. Tempat di mana beras dan sumber makanan di simpan. Sementara anak lelaki di tempatkan di bagian tengah rumah. Hal Ini menunjukkan bagaimana falsafah perempuan Bugis Makasar itu dijaga dengan baik.

Di beberapa literatur yang coba saya ketengahkan, memang ada beberapa nilai dari tradisi yang bergeser cukup jauh dari spirit awalnya uang Hantaran - Uang Pana'i.  awalnya Motif uang Pana'i merupakan bentuk penghargaan kepada Calon mempelai perempuan yang hendak di persunting. Hari ini motifnya berubah menjadi uang belanja pernikahan?. Karena pergeseran nilai semacam inilah, Sehingga anggapan bahwa prosesi pernikahan yang menghabiskan biaya yang tinggi, merupakan bagian yang tak terelakan. Padahal uang belanja pernikahan itu motif kesekian, setelah penghargaan dan penghormatan kepada calon mempelai perempuan.

Sependek pengetahuan penulis, sejarah uang pana'i, bermula dari seorang putri bangsawan Bugis yang begitu cantik dan jelita, yang membuat pria asal Belanda jatuh hati padanya dan ingin menikahinya. Tetapi, sang raja tidak menginginkan putrinya disentuh oleh lelaki manapun, sampai akhirnya, Raja memberikan syarat uang pana'i - Uang Hantaran, Sebagai bentuk penghargaan dari pihak lelaki kepada pihak perempuan yang begitu ia cintai.

Kesalahan kita dalam membaca peta sejarah, bisa berakibat Fatal pada Generasi selanjutnya dan kerap menjadi beban, serta tak jarang menjadi problem sosial baru.

Jika kita mengikuti Rentetan prosesi pernikahan masyarakat Bugis - Makassar, dilakukan dalam beberapa tahap. Ada yang disebut dengan pihak lelaki melakukan kunjungan ke pihak perempuan untuk menyatakan maksud perjodohan. Lalu, melaksanakan pertunangan. Kemudian lamaran, dan menikah.

Penentuan besaran Uang pana'i atau doe nganre atau Uang belanja yang diserahkan pihak lelaki pada keluarga mempelai perempuan, ditentukan saat prosesi lamaran berlansung. Pihak keluarga mempelai lelaki akan menyampaikan kesanggupan dan mendiskusikannya bersama pihak mempelai perempuan. Tak jarang, di saat seperti itu terjadi silang perdebatan yang cukup alot.

selain Uang pana'i adalah bentuk penghargaan. uang pana'i juga kerap disebut sebagai uang naik. Mengapa?. Karena, dulu uang naik diserahkan dengan menaiki anak tangga sebuah rumah. Sebab, kondisi rumah-rumah di etnik Bugis-Makassar kebanyakan rumah panggung.

Memang, pada prinsipnya masyarakat bugis Makassar, menurut Antropolog Universitas Negeri Makassar, memegang prinsip Appa sulappa (empat sisi) dalam menentukan calon mempelai pengantin, yaitu pendidikan, akhlak, pekerjaan dan status darah atau keturunan (Genetik). Sekalipun, belakangan, hanya tiga yang utama, yakni pendidikan, akhlak, dan pekerjaan, sedangkan Faktor genetik, soal yang tidak terlalu substansial. Sekalipun sebahagian masih menganggap hal itu sangat prinsipil.

Senada dengan itu, "Christian Pelras" dalam "Manusia Bugis" juga menjelaskan, bahwa pernikahan di masyarakat Bugis dikenal dengan terma siala (saling mengambil satu sama lain). Pasangan mempelai ini, walaupun dalam status sosial yang berbeda akan menjadi mitra, sebagai sebuah penyatuan dua keluarga. Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi "bukan orang lain".

Statifikasi sosial, seperti keturunan darah biru punya gelar adat, seperti Karaeng, Andi, Opu, Puang, dan Petta ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, PNS, Haji, dan lain-lain. Dengan dasar itulah, sehingga Uang hantaran puluhan juta, atau bahkan sampai ratusan juta dan Milyaran menjadi nominal yang lumrah. Sebab, semakin tinggi nominal Uang pana'i. maka, semakin tinggi juga citra diri keluarga mempelai di mata masyarakat. fakta ini adalah hal yang tak terelakan hari ini.

Jika sejumlah Uang pana'i mampu di penuhi oleh calon mempelai Lelaki. maka, hal itu menjadi suatu kehormatan bagi pihak keluarga perempuan. Kehormatan yang di maksudkan adalah bentuk penghargaan yang di berikan oleh pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai perempuan yang ingin di nikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui Uang pana'i. 

Namun, satu hal yang perlu di garis bawahi bahwa Uang pana'i - Uang Hantaran, Bukanlah Mahar?. 

***

--UANG HANTARAN - UANG PANA'I, BUKANLAH MAHAR--

Pernikahan merupakan Sunnah Rasulullah SAW yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang sama sekali tidak di inginkan oleh syariat, yaitu zina. Untuk itu, pernikahan baru dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Sekalipun mayoritas Ulama - Syafi'i, Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa pernikahan tanpa mahar, tetap sah. Sebab, mahar bukanlah Rukun dan Syarat Nikah. Tetapi, Mahar merupakan hak istri, yang wajib di bayar. 

Mahar merupakan tanda kesungguhan lelaki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar juga merupakan pemberian seorang lelaki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Dimana mahar tersebut akan menjadi hak milik istri secara penuh. Seseorang bebas dalam menentukan bentuk dan jumlah mahar yang diinginkan, karena memang tidak ada batasan dalam syariat islam mengenai mahar, akan tetapi mahar itu disunnahkan yang sesuai dengan kemampuan pihak calon suami dan Islam menganjurkan agar meringankan mahar. 

Meski sebenarnya cinta hampir tidak bisa dipadankan dengan materi sebanyak apapun. Namun, hargailah perempuan dengan Mahar (bukan uang pana'i) yang Pantas : sebab Puncak cita-cita lelaki pada perempuan adalah mempersuntingnya, dan melamarnya dengan mahar tertinggi yang bisa di berikan kepada perempuannya dengan penuh kerelaan. Sekali lagi, penuh kerelaan.

Boleh saja mahar nikah dengan membaca surat-surat Al Qur'an, cincin besi atau sandal yang dulu viral. Tetapi, jika ada yang lebih baik, berikanlah yang lebih baik. Sebagai penghargaan untuk calon istri dan keluarganya. Sekalipun tidak ada nilai minimal dan maksimal dalam mahar yang diatur dalam islam. Sebab, Ketentuan dalam mahar ini ialah segala apa pun yang sah, dijadikan sebagai alat tukar. Entah, berupa barang ataupun jasa. sah, dijadikan maskawin.

jika kita tinjau dari syariat islam, salah satu rukun pernikahan dalam mazhab Malikiyah adalah mahar (Mayoritas mazhab lain hanya syarat). Mahar biasa kita sebut sebagai maskawin, yaitu pemberian wajib bagi calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai perwujudan ketulusan hati. Dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman, "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya".

Mahar dalam islam sudah diatur dengan sangat baik, bahkan pernikahan yang baik adalah pernikahan yang mudah maharnya. Keberkahan ada pada kemudahan dan kelapangan dada, sebagaimana Hadist yang Di Riwayatkan Dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya di antara tanda-tanda berkah perempuan adalah mudah dilamar, murah maharnya, dan murah rahimnya". (HR. Ahmad).

Misalnya, Dalam kisah, Sayidina Ali bin Abi Thalib ketika meminang Sayyidah Fatimah (putri Nabi), beliau hanya memberikan sepasang baju besi sebagai maharnya. Lain lagi dengan kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim R.A dengan mahar keIslaman Abu Thalhah. Anas bin Malik R.A bekata, "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan, 'Saya telah masuk Islam, jika kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu'. Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya". (HR. An-Nasa’I : 3288).

Para Fuqaha berbeda pendapat tentang batas terendahnya Mahar. Imam Syafi'I, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi'in berpendapat bahwa bagi mahar, tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding dengan berat mas dan perak tersebut.

Dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan, mahar di sunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham.

Rasulullah Saw Misalnya, Memberikan Mahar Senilai 500 Dirham Kepada Aisyah. Aisyah berkata, "Mahar Rasulullah Kepada Para Istri Beliau Adalah 12 Uqiyah Dan Satu Nash". Aisyah Berkata : " Tahukah engkau apakah Nash Itu?". Abdur Rahman Menjawab : Tidak. Aisyah melanjutkan dan bertutur : "Setengah Uqiyah". Jadi Semuanya 500 Dirham. Inilah Mahar Rasulullah Kepada Para Istri Beliau. (HR. Muslim).

Saat Rosulullah Menikah Dengan Khadijah RA. Diriwayatkan, Bahwa Rasulullah SAW Memberikan, Mahar 20 Ekor Unta (silahkan di kurs sendiri nilainya). Sedangkan, Saat Menikahi Hindun (Ummu Habibah RA) Rasulullah SAW, Memberikan Mahar 400 Dirham. Sedangkan, Saat Rosulullah menikahi Shafiyah RA, Maharnya Berupa Pembebasan Dirinya Dari Perbudakan. Meski Tidak Berwujud Harta. Namun, Nilainya Bisa Ratusan Juta Sampai Milyaran Rupiah (Yaitu Biaya Normal Penebusan Budak Agar Merdeka).

Menurut hemat saya, sangat Keterlaluan juga, Jika mas kawinnya - Mahar, hanya sekedar 50 ribu rupiah, yang viral beberapa waktu lalu ataukah yang kadang kita temukan adalah Maharnya seperangkat alat Sholat dan Cincin. Sementara Uang pana'i - Uang Hantaran, kadang ratusan juta sampai Milyaran. Padahal syarat sah pernikahan bukan terletak pada seberapa bombastis uang pana'i - Uang Hantaran. 

Dalam tata cara pembayaran mahar - Maskawin, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kaidah pembayaran boleh dibuat mengikut amalan masyarakat setempat. jika tidak ada penentuan cara pembayaranny. Maka, kembali kepada kaidah fiqh, Maksudnya "sesuatu yang umum diketahui pada masyarakat, samalah seperti yang di syariatakan". Oleh karena itu, apabila amalan yang dibuat dalam kalangan masyarakat setempat selalu membayar mahar sepenuhnya, hendaklah di bayar sepenuhnya. Namun apabila masyarakat setempat selalu membayar setengahnya, maka hendaklah di bayar setengahnya pula, sebelum bercampur - berhubungan badan.

Beberapa fuqaha juga berpendapat, jika di dalam nash tidak terdapat tatacara pembayaran mahar sama dengan berhutang atau tunai, maka tatacara pembayaran di pulangkan ke hukum asal yaitu dibayar tunai.

Mahar wajib dibayar semuanya kepada istri sebelum mereka bercampur. karena, mahar merupakan bagian dari akad pernikahan yang ketentuan hukumnya tertuang di dalam Al-Qur'an. Artinya, Suami wajib memberikan mahar kepada Istrinya. Dengan demikian, tidak ada sebab-sebab tertentu yang boleh menangguhkan pemberian mahar dalam akad yang sah.

Para ulama mazhab juga sepakat bahwa mahar boleh dibayar kontan dan boleh di hutangkan, baik itu sebahagian maupun seluruhnya, dengan syarat harus diketahui secara detail. Misalnya si lelaki mengatakan; “saya mengawinimu dengan mahar seratus dirham uang emas, yang lima saya bayar kontan, sedangkan sisanya saya bayar setahun”. Atau bisa diketahui secara global, misalnya pengantin lelaki mengatakan; "maharnya saya hutang, dan akan saya bayar ketika saya mendapatkan pekerjaan". Akan tetapi, Cara hutang seperti ini Imam Syafi'i melarangnya.


(2)


*Pustaka Hayat

*Pejalan Sunyi

*Rst

*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar