Tentang Ibrahim Datuk Tan Malaka, ku katakan Padamu. Kawan. Buah bibir itu hanya pantas dialamatkan bagi Mereka yang "berbuat", bukan Mereka yang "di buat". Sebagai figur yang inspiratif, Tan Malaka terus hidup. Bukan untuk dimitoskan. Beruntung Tan, karena ia terus dikritisi. Dengan itu namanya terus diperbincangkan. Tanda ia orang besar. Pahlawan bagi Tan, menurut saya, sangat kecil dan terlalu reduktif. Lebih tepat ia aktor sejarah. Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka : Bapak Republik Yang di Lupakan.
Ia memiliki 23 Nama Palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan 89 ribu kilometer, dua kali dari jarak yang pernah di tempuh Ernesto Che Guevara di Amerika Latin.
Sejak orde baru, namanya - Tan Malaka dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan disekolah. Gelar pahlawan Nasional itu tidak pernah di cabut. Tetapi dalam teks sejarah ia tidak boleh disebut. Tan Malaka menjadi " Off the Record" dalam sejarah orde baru.
Seorang Rudolf Mrazek yang mengukir Tan Malaka lewat bukunya; Tan Malaka a political Personality's structure experience", kemudian Harry Poetze telah mengabadikan Tan Malaka dalam bukunya setebal 2194 Halaman Dan menjelang Tahun 1980-an terjadilah arus balik penulisan sejarah Tan Malaka terutama di eropa, mulai dari belanda dengan Karya Hary Poetze, sampai ke Australia yang Ditulis Oleh Helen Jarvis. Penulisan sejarah Tan Malaka diluar negeri adalah bukti bahwa Tan Malaka bercahaya dinegeri orang dan diredupkan dinegeri sendiri. "Apakah Tan Malaka adalah Pahlwan Nasional?".
Terlalu besar menganggapnya menjadi pahlawan bagi bangsa yang menganggapnya kecil?.
"Storia Me Absolvera", Kata si Brewok Fidel Castro- Biarlah perjalanan Waktu yang membebaskan dan menilai siapa aku. Untuk Tan, nampaknya ungkapan ini pas. Kita kerap mencurigai seseorang bahkan hidupnya dianggap penuh Ta'i. Akibatnya intan permata dari kehidupannya kita sampahkan. Betapa meruginya kita.
Saya tidak Lagi memperdebatkan tentang sejarah ideologis seorang revolusioner yang bernama Tan Malaka itu. Bagi saya, cukuplah bahwa Tan Malaka adalah tokoh yang pertama kali menulis gagasan sangat luar biasa pada masannya. Gagasan tentang berdirinya Bangsa Indonesia, mendahului Bung Karno maupun Bung Hatta.
Gagasan yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul " Naar de Rebupliek indonesia" (menuju Republik indonesia), dan ia Menulisnya pada tahun 1925. Ia bukan tokoh yang masa mudanya dilewati dengan hedonistik. Ia kerap terjerembab. Di buang. Di hina. Di tangkap. Di intimadisi. Pahit dan getir yang membentuknya. Karena itulah, ia merasa menjadi dirinya.
Letihkah ia berjuang demi bangsa ini?. Lelahkah ia?. Cukuplah mengutip 4 penggalan kalimat yang menjadi andalan di tahun 30-an hingga kini untuk menjawabnya?.
"Terbentur. Terbentur. Terbentur. TERBENTUK".
**
Tan Malaka menjadi Marxis karena kegagalannya pada cinta pertamannya. Dia menjadi teramat anti Borjuis dan anti Feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya, (Bonnie Triayana-Cuman anekdot dikalangan sejarawan Spesialis Tan Malaka).
Sejarawan Asvi Warman Adam-pernah mengutarakan keraguan dan kekhawatirannya bahwa Tan Malaka adalah seorang Heteroseksual. Keraguan Asvi ini pada dasarnya beralasan karena Tan Malaka tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Tetapi sebenarnya, banyak pejuang kemerdekaan dizamannya tidak menikah pula. Ho Chi Min, misalnya. Paman Ho, yang namanya diabadikan menjadi Ibu Kota Vietnam, Ho Chi Min ini tidak pernah menikah dan hampir tidak pernah memiliki Affair, tidak seperti teman satu Ideologinya, Mao Tse Tung (Mao Ze Dong) yang sedikit Gila dengan perempuan.
Mohammad Hatta, pun demikian. Si Putera subuh ini bahkan mengucapkan Nazarnya bahwa Ia tidak akan menikah sebelum indonesia merdeka, seperti yang pernah terjadi pada pemimpin PLO, Yasser Arafat. Tapi sayang Yasser Arafat melanggar sumpahnya dengan menikahi "Suha Tawil", walaupun Palestina Belum merdeka. Sementara Moh Hatta menikah pada Tanggal 18 November 1945. Ia menikahi Rahmi Rachim: perempuan yang dipinang Soekarno Untuk Hatta. Hatta yang "dingin" rupanya Jinak ditangan Soekarno setelah "Nazarnya" terpenuhi. Inilah kebanggaan Soekarno.
Dulu, ketika Ibrahim, Nama asli Tan Malaka bersekolah diKweekschool Bukit Tinggi, ia pernah naksir pada perempuan Yang bernama "Syarifah Nawawi". Cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahkan ketika ia melanjutkan studi ke belanda, keluarganya dipadan gandang memintanya untuk menikah terlebih dahulu dengan seorang perempuan pilihan orang Kampung. Tan Malaka menolak permintaan keluarganya, tetapi Tan tidak menolak pemberian gelar adat atas dirinya. Jadilah Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka disandangnya sebelum ia berangkat ke belanda. Kelak gelar adat itu ia jadikan namanya, Ibrahim tidak lagi menjadi namanya.
Adam Malik pernah bertabya lansung pada Tan Malaka: "Apa Bung pernah jatuh Cinta?". Mendengar pertanyaan ini, Tan Malaka Menjawab : Ia Pernah, Tiga kali Malahan. Sekali di belanda, sekali Di Fhilipina dan sekali lagi diindonesia. Tetapi semua itu, katakanlah Cinta yang Tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan. Sayang sekali, Tan Malaka tidak meniru pada Hatta. Harusnya Ia mengadu pada Soekarno. Dengan begitu, jalan ke pelaminan akan Mulus.
TAN MALAKA adalah salah seorang Putera Terbaik Bangsa ini, ia meninggal di selopanggung Kediri. Kematian yang Tragis, sebab Matinya ditangan Negerinya Sendiri. Kematian Yang yang Menurut Sejarawan Spesialis Tan Malaka-Harry Poetze: "Ibarat Sejarah Yang Hilang". Kini, Poetze Terus mencari Tan, Sang Tokoh Besar yang pernah dimiliki Bangsa Ini dengan Menghubung Puzzle-puzzle yang berserak tentang pengarang Buku yang terkenal "Madilog".
Diusia hidup Tan, yang Tak begitu Lama, justru ia mampu seperti Istilah Sastrawan-Asrul Sani : " menjadi Seenggok sejarah dalam Miniatur yang teramat Padat".
Bangsa kita terlalu banyak mewarisi dendam sejarah. Acap kali kita memilih sikap tidak mengungkap cerita sejarah yang di bungkam, demi menjaga keutuhan bangsa. Padahal cara itu tidak selamannya benar.
Jangankan kita, indonesia. Negara yang sudah dianggap maju seperti "jerman" saja masih belum mampu menerima perjalanan pahit sejarah mereka. Di jerman dan austria, masih banyak generasi yang lahir ditahun 1940-an keatas yang tidak mau percaya, adanya tragedi Kamar Gas. Bahkan masih banyak yang percaya bahwa Hitler sebenarnya adalah penyelamat.
Bagaimanapun pahitnya, fakta-fakta sejarah adalah pelajaran penting bagi generasi selanjutnya. Seperti kata Goenawan Mohammad : " hanya mereka yang mengenal Trauma, mereka yang pernah di cakar sejarah. tahu benar, bagaimana menerima keterbatasan yang bernama manusia".
* Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar