Selamat bertambah umur dalam berkah Allah SWT. Semoga makin tangguh.
KH. Mustofa Bisri, demikian nama lengkap Gus Mus. Keturunan “darah biru” Nahdhatul Ulama. Anak dari ulama besar NU KH. Bisri Mustofa. Mustofa Bisri bin Bisri Mustofa. Tinggal di jalan KH. Bisri Mustofa Rembang. Gus Mus memiliki 7 orang anak, 6 perempuan, dan yang paling kecil adalah laki-laki, namanya Bisri Mustofa bin Mustofa Bisri.
Kiyai, budayawan dan penyair, demikian banyak orang mendeskripsikan profil Gus Mus, mertua dari tokoh muda NU pintar tapi kontroversial, Ulil Abshar Abdallah ini.
Saya telat mengenal Gus Mus. Padahal saat SMA, namanya sudanh sering dipe4dengarkan kakak saya. Ketika mahasiswa, saya lebih menyukai Cak Nur (Nurcholish Madjid), Syafii Ma’arif, Amien Rais dan Buya Hamka serta Kasman Singodimedjo. Maklum, sejak kecil saya terbiasa di pernalkan dengan tokoh yang bercorak Nasionalis, ditambah aura Muhammadiyah yang kental. Intelektual (ulama) dari kalangan NU, secara sepintas yang saya kenal hanyalah Gus Dur. Itupun karena mantan Presiden RI ini sering menulis di majalah Tempo yang sering di bawa pulang ayah saya sewaktu masih nekerja di Harian pedoman Rakyat. Waktu itu saya menganggap Gus Dur bukanlah ulama karena tulisannya banyak berkutat tentang film dan sepakbola.
Ketika saya mulai kuliah, barulah saya mafhum dan mengakui perkataan kakak saya dulu saat SMA bahwa Gus Dur adalah manusia pintar yang memiliki kemampuan analisis tidak hanya pada satu ranah tertentu saja, namun mampu merambah ranah yang lain. Hingga hari ini, tulisan-tulisannya yang tersebar di Majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra maupun Prisma. Tulisannya tentang filsafat Islam, hukum Islam dan sejarah Islam bagi saya begitu menarik, sebagaimana halnya kemampuannya menganalisis total football-nya Johan Cruyf – Rinush Michels dan Canettacchionya Nerazzuri Italia maupun ketika ia menulis tentang kebudayaan. Sama-sama “renyah” dan mencerdaskan.
Kala saya kuliah, saya juga mulai mengenal sosok Cak Nun. Inilah sosok dari kalangan Nahdliyin yang digandrungi mahasiswa era 1990 bahkan hingga kini, bersama-sama dengan Amien Rais (dari Muhammadiyah). Cak Nun, suami Novia Kolopaking dan ayah dari Noe Letto tersebut, memiliki kemampuan lebih untuk dicintai anak-anak muda (khususnya mahasiswa). Tulisan-tulisannya begitu inspiratif dan menarik untuk dibaca oleh banyak anak-anak muda, termasuk saya.
Lalu Gus Mus, hampir tak terdengar sosoknya, setidaknya bagi saya, kala itu.
Barulah, ketika Gus Dur menjadi Presiden, kehadiran Gus Mus mulai “tampak”. Sebagaimana halnya Amien Rais pada masa “jayanya”, maupun Cak Nun, sosok Gus Mus begitu bercahaya. Islam kultural menjadi magnitude Gus Mus. Pemahamannya yang begitu mendalam terhadap khazanah klasik ilmu pengetahuan Islam digabungkannya dengan apresiasinya yang tinggi terhadap intelektual-intelektual modernis (dari kalangan Islam maupun non – Islam) seperti Taha Hussein, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman hingga Popper maupun Foucault.
Ia begitu menyukai penyanyi Mesir legendaris Ummi Kalsum sebagaimana halnya ia begitu menggandrungi John Lennon dan The Beatles. Gus Mus juga fashionable. Sering menggunakan jubah putih sebagaimana halnya beliau sering pula memakai sarung, blankon, topi “gaul” maupun jas dan petalon. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki banyak kawan. Lintas usia, ideologis maupun lintas agama. Sama seperti sahabatnya, Gus Dur.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, setiap malam sabtu atau malam minggu, saya selalu menonton ceramah/tausyiah/ pembacaan puisi Gus Mus melalui youtube (terima kasih, duhai penemu/pencipta youtube. Semoga Tuhan memberikan kalian pahala berlipat ganda, terlepas apapun agama kalian).
Ada kesyahduan dan kenikmatan tersendiri melihat kedalaman ilmu (agama) dan gaya Gus Mus. Bagi Gus Mus, Islam itu sangat “manusiawi”, teduh lagi meneduhkan, sejuk lagi menyejukkan. Islam dalam kacamata Gus Mus adalah Islam rahmatan lil’ alamin. Ia tidak bicara secara bergelora-bergemuruh, tapi mengalir-tenang-“menggairahkan”. Ceramahnya begitu “segar” dan menyegarkan dengan tetap berbasiskan aura kebangsaan. Sesuatu yang mulai jarang kita dapatkan belakangan ini.
Tapi ada satu hal yang paling menarik bagi saya ketika berbicara tentang Gus Mus. Sebagaimana halnya Gus Dur, Gus Mus teramat mencintai keluarga dan istrinya. “Sumber inspirasi seluruh puisi saya adalah Allah SWT. dan istri saya”, kata Gus Mus pada Najwa Shihab. duhai !. Saya hanya teringat dengan perkataan seorang paman saya, “kalau kamu ingin berbuat baik terhadap agama, berkeluargalah dan cintai keluargamu sepenuh hati. Cukupkanlah satu betina, jangan kamu duakan ia-nya sampai kau tua bangka !”. Dan Gus Mus begitu mencintai keluarga, terutama istrinya, ditengah-tengah daya tariknya yang “maha dahsyat” untuk bisa menduakan-menigakan istrinya.
Ia tidak menolak poligami, karena dalam agama (Islam) itu dibolehkan. “Tapi izinkan saya untuk tetap mencintai istri saya satu satunya sampai saya dan dia menua atau salah satu dari kami kembali kembali ke haribaan-Nya”, kata Gus Mus dalam sebuah tausyiyahnya. Gus Mus menunaikan janjinya.
Beberapa waktu lalu, publik membincangkan Gus Mus. Gus Mus dicaci dan di hina dengan kata-kata pelecehan yang luar biasa. Sebagaimana halnya Buya Ahmad Syafii Ma’arief, Gus Mus memaafkannya sambil mengatakan, “dirimu tidak langsung jadi rendah bila dihina orang”. Indonesia butuh ulama-ulama penyejuk seperti Gus Mus. Ibarat main bola, tersenggol sedikit langsung jatuh berguling-guling, berteriak kesakitan maha dahsyat. Memprovokasi kawan-kawannya agar wasit mengeluarkan kartu merah. Padahal, jatuhnya itu lebih dekat kepada diving.
SEHAT SELALU …. GUS.
* Pustaka Hayat
* Pejalan Sunyi
* Rst
* Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar