Selain Alm Baharuddin Lopa, Poetra Mandar-Sulawesi. Dunia Hukum Indonesia Punya Manusia Langka, Asal Madura- Artidjo Alkotsar.
Ada begitu banyak Kisah Heroisme orang Besar di Bangsa ini. Tetapi, kebanyakan kita alfa menangkap dan menyelami keteladanan dalam setiap lekuk hidup mereka. Ku sebut "Orang besar", karena mereka pernah berada di Puncak kesuksesan Karir, punya kewenangan besar. Namun, Duhaiii..mereka tidak hanya berhasil menekan Keinginan dan hasratnya. tetapi, mereka memenangkan peperangan atas dirinya sendiri.
Mereka berhasil menekan Potensi "Nasut" dalam dirinya, ke titik Imbang. Sehingga Potensi "Lahut", teraktifasi. Akibatnya, mereka menjadi orang besar yang sederhana dalam hidup. godaan godam dunia, materi dan glamoritas tidak menggiurkannya. Bahkan orang lain takut, malu dan serba salah, jika menawarkan sesuatu yang memang pantas mereka dapatkan.
Sebut saja Lafran Pane, Bung Karno, Bung Hatta, Sjharir, Kiyai Agus Salim, Natsir, Tan Malaka, Lopa, dsb. Saya punya Catatan-Catatan tentang mereka dan Insya Allah saya akan Daur menjadi buku inspiratif.
Silahkan Baca Lekuk Hidup mereka. kisah hidup yang mengharu biru, yang tumbuh dengan Pikiran-pikiran besar, Yang Terlahir di rahim Pertiwi.
Kemarin langit-langit dunia hukum mendung. Setelah pendekar keadilan Rebah, tanpa siapapun di sampingnya. berpulang Keharibaan Sang Maha cinta dengan manja, Artidjo Alkotsar. dalam istilah Bang Andi Buana, Artidjo adalah "Monster Koruptor".
Beliau Mantan Hakim agung, Terakhir sebagai Dewan pengawasa kPK. Jasa hukum baginya bukanlah hal yang pantas dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan layanan jasanya, mereka boleh membayar seikhlasnya. Bila mereka tak membayar, tidak mengapa.
Selain kantor hukumnya sulit dibedakan dari yayasan amal, tak banyak klien yang meminta jasanya untuk mewakili mereka. Mereka tahu: "jika menyerahkan perkara kepadanya, mereka harus lebih siap untuk kalah daripada menang". Kondisi meja kerja dan ruang rapatnya jauh sekali dari kenormalan kantor sejenis.
Setelah diangkat menjadi hakim agung Tahun 2000, rumah Kontrakannya berada di gang sempit, dan menurut penuturan " Hamid Bayashib" ; terkejut karena harus duduk di lantai beralaskan tikar. Artidjo minta maaf karena belum sempat membeli kursi. Ia pergi-pulang ke kantor Mahkamah Agung dengan menumpang bajaj.
Ketika "Hamid bayashib" merasa saatnya yang tepat, untuk "memprotes". Tidak pantas seorang hakim agung tinggal di gang sempit dan naik bajaj, Saya dengar ada jatah rumah dan mobil dari kantor," Tanya hamid dengan datar. "Tapi saya tidak mau menghadap pejabat yang mengurusnya untuk meminta-minta. Kalau memang jatah itu ada, berikan saja. Tanpa perlu saya minta", begitu Jawab Artidjo.
Itulah kebanyakan mental dan karakter pejabat kita, ia rupanya sengaja menciptakan situasi yang mengharuskannya menghadap dan memohon; membuat Artidjo, sebagai "anak baru" yang wajib tahu diri dan harus tahu siapa yang berkuasa di instansi itu, berada dalam posisi "di bawah". Pejabat itu lupa, sedang berhadapan dengan manusia langka.
Rumah kecilnya di kompleks di Jogja, yang mulai dicicilnya 40 tahun lalu, dengan perabot yang tak berganti, pun tetap sama.
Ia memiliki berpuluh-puluh mantan mahasiswa dan junior yang menjadi pengacara sukses, yang mengenal dan dikenalnya dengan baik. Dan tak ada seorang pun yang berani menyinggung kasus yang sedang mereka tangani, jika kasus itu ia sidangkan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung
Ia tak pernah eksplisit menyatakan sikapnya, tapi mereka semua bisa menangkap sinyal yang kadang dikirimnya: jika klien dari pengacara alumni UII memang bersalah, atau kasusnya terkait dengan figur HMI (organisasi yang ia banggakan dan selalu ia jaga integritasnya dengan caranya sendiri), ia akan menjatuhkan hukuman lebih berat.
Baginya, predikat keislaman yang juga sangat dekat dengan emosinya itu wajib dijaga ekstraketat, dan karena itu pelanggarannya pun harus dihukum ekstraberat. Semua maklum belaka atas ketentuan tak tertulis dan tak pernah dibicarakan terbuka ini, dan tak ada yang cukup punya nyali untuk menawar atau memohon sejenis kompromi kepada Artidjo.
Dalam penuturan, Hamid Bayashib, Dunia boleh berubah setiap minggu, setiap tahun, setiap satu dekade, tapi Artidjo tidak. Dalam posisi apapun, menetap di mana pun, ia tetaplah sebuah monumen kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dan ia tak pernah mengeluhkan situasi. Ia tahu betul betapa parah dunia hukum kita, sampai kadang menggoda banyak orang untuk putus asa.
Tapi baginya berputus asa adalah puncak kesia-siaan sikap. Selalu mengupayakan perbaikan tanpa henti, dengan segenap daya terkecil yang ada - inilah sikap yang tak pernah surut dipegangnya. "Yang perlu kamu lakukan hanya berusaha sebaik-baiknya, "katanya selalu kepada mahasiswanya. "Jangan pikirkan hasilnya. Itu bukan urusan kita. Fokus saja pada ikhtiarnya."
Ia yang seumur hidup tak pernah kelebihan berat badan, mengidap problem jantung dan paru-paru menahun, dan tetap menolak keras dirawat di rumah sakit. Tiga mantan mahasiswanya yang telah dianggapnya sebagai anak -- Ari Yusuf Amir, Sugito Atma Pawiro dan Kun Wahyu Wardhana -- tak pernah lelah membujuknya untuk berobat secara layak. Setiap dua-tiga minggu sekali, mereka membawanya ke rumah sakit.
Pada Selasa, 23 Februari, untuk ke sekian kalinya mereka membawanya, dan kali ini dokter bersikeras memintanya dirawat di sana karena kapasitas jantungnya dinyatakan tinggal 31 persen. Ia tetap menolak. Ia masih bisa makan enak, dan tiap hari masih bisa bekerja, katanya, menyanggah desakan untuk dirawat.
Ia lebih dari memenuhi syarat untuk mendapat tempat di makam pahlawan. Selama belasan tahun membereskan hampir duapuluh ribu perkara di Mahkamah Agung, bahkan tanpa menghitung masa puluhan tahun sebelumnya sebagai orang yang tak henti memperjuangkan keadilan, kehadirannya memercikkan sedikit harapan bahwa keadilan memang sesuatu yang mungkin terwujud di tanah air.
Tapi ia tak mungkin dimakamkan di Kalibata. Ia tak pernah mengurus segala macam syarat administratif dan birokrasi yang memungkinkannya dikuburkan di sana. Ia tetap dia yang dulu: tak pernah menganggap penting segala macam predikat, apalagi status pahlawan bangsa.
Apakah kita kekurangan contoh Manusia-manusia langka, yang lahir dari rahim seorang Ibu bernama pertiwi?. Jika tidak, lalu mengapa justru kita melakukan hal berbanding terbalik dengan yang mereka telah bentangkan di depan mata kita. Mereka menjagkarkan tonggak integritas, kejujuran, keluhuran, yang sudah sepatutnya membuat kita Siri' (malu) karena terlalu sedikit contoh yang mereka bentangka dalam setiap lekuk hidupnya. tanpa mereka maksudkan untuk kita tiru.
Bukankah Mereka mengikuti Jejak Kekasih Allah SWT?. Yang Oleh Allah sendiri menawarkan Jabal Uhud menjadi Bukit emas. Tetapi, ia menolak. Bahkan Allah menantagnya : Waa laa saufa yu'tika fatardho. Ia Menundukkan Dua Imperium besar ; Persia dan romawai. Tetapi, sarapan paginya kadang 3 butir kurma atau sepotong roti dan seteguk air zam-zam. Serta tetap memilih tidur beralaskan pelapah kurma.
Lalu, kita-kita sudah paling merasa mengikutinya. Padahal satu inci dari sikapnya saja jauh panggang dari api.
Semoga Jannah Menganga Menyambut mereka-mereka, Lauh Al-Fatiha.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar