Mengenai Saya

Senin, 01 Mei 2023

CORET ESAI ; AMSAL DINI HARI



Ada keributan hidup diproses dalam pabrik dan politik. Tubuh-tubuh bergula lembek, bibir manusia berjatuhan di lantai. Ketakberdayaan. Kemiskinan jadi hiburan. Oh di mana halus sunyi dan halusnya mengerti? Senyum menjadi gombal. Anak-anak menderita, usia yang matang sebelum waktunya, berlarian di jalanan kota yang petang dan hujan yang akan diturunkan. 

Dunia cuma gambar, didera badai keluhan dan komplain. Jalan liku, silang, tanda. Lampu-lampu Dan profil-profil palsu. 

Jendela tua. Jeruji-jeruji besi. Dingin pasi. Cemas menempel di sana. Gerimis. Angin membentur pintu-pintu. Menggoyahkan langit-bumi. Pada sekira dini hari, anak manusia berseru-seru sendiri : "Elly! Elly! Elly! Lama sabachtani?" 

Sunyi kembali Dan terus kemari. 

Waktu matahari memerah langit kota. Asap  gelap, pohon-pohon runduk cemas. Burung-burung takzim dalam muram dan pulang. Masih bisakah kau panggil mimpi di pedalaman kepedihan, di antara suara-suara ganjil yang menggema dari hutan-hutan derita, tempat merahasiakan air mata? 

Ketika petang jelang. Lampu-lampu dihidupkan. Kekalutan memburam pada kaca keluh layar sentuh. Masih ada waktukah kau simak kembali, kisah seorang tua yang menjajakan rindu malam-malam dengan sepeda kaki dan lampu api? 

Sunyi masuk dalam kelam. Ada keremajaan. Ada kerut-merut didera usia. Ketiadaan. Kepergian. Kenangan. 

Ruang gelap dan dingin. Bayangan lokomotif yang beranjak, meliuk jauh, lampu-lampu menyala ke dalam dirinya sendiri. 

Matamu dimasuki sepi. Kesepian yang dicemaskan siang dan malam hari. Relung-relung keterasingan. Garis kelabu. Udara. Tali-tali yang dikencangkan. 

Ada kabut pertanyaan. Dinding-dinding kegelisahan Dan zaman yang saling-silang. 

Politik membuat rumah dari listrik Dan orang-orang terpanggang kepercumaan. 

Dalam diam, tawa dari kekalahan manusia menggoda dalam lena yang purba. Ada pesan yang tak berkata-kata. 

Aku rindu seruling Daudmu. Mengirimkan nada semesta raya. Angin landai. Telah disimpannya badai dalam tenang dan sabar. Gunung-gemunung kukuh dalam renung. Suara seruling sang nabi bercerita jiwa. Harap Dan nada-nada yang mujarab. Air gemulai. Telah menghentikan banjir bandang dalam gamang yang diam. Batu-batu dan besi, lunak dibelai nada. 

Tapi hati manusia selalu tak selunak besi dan batu. 

Di mana mukjizat serulingmu, Daud Paduka? Agar semesta mengerti fana dalam iramanya yang baka. Barangkali menginsafi kepalsuan. Atau menyadari mesum kekuasaan yang gemar membakar, seperti Namrud. 

Tiba di belantara kota. Menemui politik, dan zaman yang beriman pada iklan. Aku temui kamu, kekasihku. Bersama mata air airmata yang mengalir jauh hingga di lubuk rahasia sunyi di pedalaman hatiku. Yang tak seorang pun tahu. Tak seorang pun merengkuh. Tak seorang pun lalu. 


Makassar, 27/06/2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar