Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

DIALOG HALUAN EKONOMI DI ERA PRESIDEN JOKOWI : DIALEKTIKA



Bangsa ini serba salah, Mau menolak Investasi. Tetapi, UU PMA (Penanaman modal asing) melegitimasinya, sehingga Solusi atas melemahnya Ekonomi Bangsa ialah membuka Ruang investasi sebesar-besarnya bagi pemodal. Namun, Pemodal juga Malas berinvestasi indonesia, selain karena mental birokrasinya yang korup bin culas. Hal mendasar lainnya ialah terlalu banyaknya pintu yang harus di lalui dan Daya beli ekonomi bangsa kita rendah. Makanya, salah satu asumsi negara soal UU Omnibus LAW adalah menderegulasi dan memangkas pintu-pintu birokrasi yang terlalu banyak, karena hal itu menghambat investor untuk masuk. 

Hanya saja, kelompok intelektual dan kelompok-kelompok buruh, menganggap UU omnibus adalah mata rantai dari PMA (Penanaman Modal Asing) sebagai gagasan NeoLiberalisme. 

Perlu juga kita ketahui, dalam Struktur perekonomian kita, masih sepenuhnya bergantung pada sektor konsumsi. Hal Itu belum di tambah dengan situasi yang riskan dan rentan terhadap gejolak krisis, seperti beberapa waktu lalu, saat resesi. Sementara konsumsi pada dasarnya ditentukan oleh daya beli. Jika daya beli rendah, sektor-sektor ril akan Gulung tikar, Pekerja di rumahkan dan ekonomi ambruk. Kalau kita relasikan dengan janji kampanye politik Jokowi, yang hendak menggenjot ekonomi nasional sampai 7%, akan semakin kacau kan?. 

Ihwal itulah Negara melegitimasi PMA sampai Omnibus LAW, agar negara mengoptimalkan pilar lain ekonomi bangsa, yaitu Swasta. Mengapa?. Karena, negara sebagai salah satu pilar, punya keterbatasan Belanja. Demi alasan itulah, sehingga kekuasaan silih berganti kerap mengabaikan Sikap ideologi ekonomi bangsa kita, yakni ekonomi keadilan dan kerakyatan. 

Neolib sebenarnya Bagus, sebagai sebuah gagasan. Karena ia lahir sebagai antitesa atas Liberalisme Klasik. Neolib lebih menekankan Konsep Humanistik ketimbang Pasar bebas. Cuman prakteknya Negara di jadikan babu, jongos bin budak oleh pemodal?. Di titik Inilah kesalahan negara (Pemerintah) membaca peta struktur ekonomi kita, di tambah Generasi milieal yang mengelilinginya pun terlalu banyak selfie. 

Indonesia ini sengaja di masukkan dalam skenario pinjaman. Di paksa berutang. Dalam Terma "Ichasuddin Noorsi", Kekerasan Simbolik. Maksudnya adalah, orang menggunakan bahasa yang lemah lembut tetapi sesungguhnya sedang memaksa orang lain untuk ikut padanya. Itulah yang di maksud Utang. Kesannya sebagai negara pendonor tetapi sesungguhnya negara kreditor. Pointnya adalah Utang, tapi bahasanya adalah donor. Jadi, indonesia suka di donor sama negara pendonor, padahal itulah adalah utang. Riskan benar Negeri Gemah ripa loh jenawi, untaian zamrud Khatulistiwa. Pinjam pernyataan senior saya Di HmI, Ternyata 1 kg emas tidak berhasil menghasilkan 1 kg otak manusia indonesia. 

Kadang saya pikir, ciri-ciri negara miskin itu dibikin konsisten dalam "jebakan keributan." Dari satu soal ke soal lain. Lihat negara-negara di Afrika dan beberapa negara di middle east yang menuju pemiskinan. Konflik-konflik itu akan terus menguras energi positif publik. Publik dibuat terkanalisasi dalam blok-blok ekstrem negatif secara diametral.

Resultantenya, kita akan tetap konsisten dalam garis perangkap keributan. Konsisten berada dalam jebakan konflik. Mereka-mereka yang setiap saat mensupply publik dengan informasi kemarahan, adalah orang-orang yang estbalish secara ekonomi. Lalu mereka menonton kita bergumul dalam keributan akut.

Kalau kita lihat, Setiap anak yang baru brojol di Skandinafia, sudah punya deposit US$ 100 ribu. Indonesia, tiap anak yang baru lahir, punya beban utang Rp.22 juta. Jadi, negara-negara Skandinafia atau bangsa Nordik itu. kenapa mereka lebih maju dan makmur? Dalam pendekatan hukum pun lebih makmur dan lebih adil?. Karena 80% dari natural resources (sumber daya alam) seperti minyak dll, ditabung ke foreign securities. Baik dalam bentuk saham atau SUN. 

Sekarang ini, apa yang terjadi dengan negara-negara Skandinafia?. Misalnya dari sisi GDP perkapita?. Tiap anak yang lahir, sudah punya deposit US$ 100 ribu. Lah, Indonesia? Tiap anak Baru lahir sudah punya beban utang Rp.22 juta.

Semua ini adalah rentetan dari mental inferior yang di miliki bangsa ini. Kalau konsultan hukum, dia menjadi konsultan Hukum, ekonomi, politik yang menjadi pelayan bagi investasi Asing. 


Makassar, 02 Desember 2020


*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar