Dalam bernegara, sebelum kita sampai pada soal halal dan haramnya sesuatu dalam Islam. yang lebih diperlukan adalah pemahaman kita tentang wewenang dan batas-batas wewenang tersebut.
Misalnya, kita (Islam) berpandangan bahwa daging babi adalah Haram. apakah kita berwenang menyerbu peternakan babi dan restoran yang menyajiakan babi?. Jawabannya, tentu tidak. Jika pun ada, pasti orang itu sedang Sakit Jiwa.
Mengapa tidak bisa?. Karena UU, tidak melarang warga negara berternak babi dan memakannya. Kalau pun ada larangan dari UU, apakah seseorang yang bukan Aparat atau Pihak yang berwenang untuk menegakkan UU, punya kapasitas melabrak Properti orang lain.
Letak Masalah kita yang paling mendasar di negara ini adalah logika Agama dan Logika konstitusi kita, tidak benar-benar membumi. Soal Logika Konsitusi misalnya, memang Ada penataran-penatarannya. tetapi, entah sejauh mana hasilnya, tidak berbekas kepada rakyat, Apalagi kepada penyelenggara negara. Apakah cuma seremonial simbolis saja?.
Itulah sebabnya, penyelenggara negara Kerap kali ragu-ragu dalam memposisikan diri sebagai pelaksana UU di hadapan opini dan tekanan massa.
Kelompok minoritas acap kali menjadi korban dalam hal ini. Mereka tidak melanggar UU, namun tersingkirkan demi memuaskan opini publik, yang sesungguhnya tidak berwenang untuk mengganggu mereka.
Sesajen tidak terlarang di dalam UU. Kita boleh saja tidak meyakini sesajen dan bahkan percaya bahwa sesajen adalah kemusyrikan dalam Islam (sekalipun Ruang perdebatannya masih menganga). Bukan berarti, Ente berhak dan boleh menggangu sesajen itu.
Sebenarnya Dulu, saya jengkel Ketika membaca Pernyataan Gus Dur, tentang, "Ahmadiyah itu tidak salah, karena mereka tidak melanggar konstitusi". Jengkelnya saya, mengapa Gus Dur mendahulukan konstitusi buatan manusia, dibandingkan agama. Tetapi, belakangan setelah Membaca apa saja. saya percaya pandangan Gus Dur itu benar. Sebab, Dalam bernegara, konstitusilah Rujukan kita. Di sanalah, Kerangka dasar tentang apa saja wewenang dari setiap kita dan dimana batas-batas wewenang yang disepakati.
Dititik itulah, pentingnya Menginternalisasi pemahaman tentang batas-batas wewenang dalam bernegara. Sebab, hal itu, jauh lebih penting daripada pawai aneka busana daerah, yang sejatinya hanya dipakai ketika karnaval saja. Tidak benar-benar dipakai dalam kehidupan nyata.
Jadi, pada dasarnya Kita ini selain Tidak pernah mempergunakan Logika dalam Beragama, juga tidak paham Logika Konstitusi.
Diatas saya telah menyebutkan, bagaimana kacaunya Logika kita dalam beragama. Ku suguhkan sedikit, untuk menyembuhkan rasa penasaran kita.
Suatua ketika, Ada seorang Ustadz, dalam ceramahnya mengaitkan tumbuhnya uban di usia muda dengan banyaknya ia berbuat dosa dan maksiat. Ia menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadits Nabi yang berbunyi: "Ketahuilah, dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, seluruh tubuh akan baik. Jika daging itu rusak, seluruh tubuh juga akan rusak. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati". (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut Ustadz tersebut, hati yang diisi dengan dosa itu akan merusak seluruh anggota badannya. Jadi, kalau ada satu saja penyakit hati seperti riya', maka pasti akan merusak anggota tubuh. Masih menurut ustadz tersebut, hati yang diisi dengan kemaksiatan, akan berpengaruh kepada fisik. Dari rambut sampai ke kaki. Sebelum menutup ceramahnya, pak ustadz berkata lagi. "meski begitu, tak menutup kemungkinan uban muncul karena kesalahan dalam penggunaan zat kimia di rambut, seperti sering gonta-ganti sampo".
Disinilah titik kecelakaan berpikirnya Si Ustadz tersebut dan kadang kali kita juga melakukannya. Jika kita tenang mendengarkan ceramahnya Pak Ustadz tersebut, Kita menemukan pernyataannya sangat ambigu. Dia Terkesan tidak yakin dengan premis pertama yang ia bangun, "uban di waktu muda, karena banyak dosa dan maksiat". Premis keduanya, "uban di waktu muda, karena gonta ganti sampo".
Sebenarnya premis pertama atau premis kedua yang bisa dipercaya oleh jamaahnya, Pak Ustadz?. Pana',nassai (Kasih jelas) yang mana yang jama'ah harus ikuti. Selain itu, Teks hadits yang di Nukil oleh Ustadz tersebut, Tidak bisa ditafsiri secara literlek atau Parsial. Apalagi Mengotak-atik sesuai tafsiran subyektifnya.
Diksi “segumpal daging” yang digunakan Nabi pada hadits shahih yang di Nukil Pak Ustadz tersebut, lebih bersifat "metafora". Hati yang di maksud, bukan Hati Biologis manusia. Sebagaimana dalam anatomi Fisiologis manusia, hati biologis itu adalah Penetral Racun (Tanya saja Anak Kesehatan). Nah, Hati yang dimaksud Nabi adalah Hati ruhani. Hati ruhani itu, tidak kasat mata, tidak bisa diraba. Tidak dapat di indrai. Ia Abstrak.
Makassar, 18 januari 2022
*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar