Tulisan ini di latarbelakangi oleh kebingunangan kebanyakan kita terhadap realitas hari ini, khususnya di Indonesia. Kita hidup di zaman dimana tidak ada lagi nabi yang akan selalu menjawab kebingunangan kita. Kita hidup di tanah yang sangat jauh dari tempat diturunkannya islam. Islam sampai di Indonesia butuh waktu dan perjalanan yang begitu jauh. Meski saya yakin bahwa al qur’an itu terjaga dan pasti ada yang menyampaikannya secara benar sesuai dengan yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. namun saya tahu bahwa ada juga yang ingin mengaburkan isinya dan menyampaikan sesuai dengan kebutuhannya saja.
Di Indonesia, umat islam menjadi bingung karena banyaknya tokoh - tokoh agama, mulai dari India sampai Arab saudi. Mereka yang radikal mengklaim diri sebagai tentara Tuhan dan ingin memenangkan Tuhan dalam pertarungannya. Lisannya hanya diisi dengan kata ‘kafir’, ‘neraka’, dan ‘haram’. Batin kita tentu bertanya, seperti inikah lisan yang islami sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ada juga yang mepersepsikan tentang islam cinta, mengklaim diri sebagai pemilik kebijaksaan, tapi diskusinya sangat mengutuk islam radikal. Shalatnya tidak kalah banyak dengan mereka yang tinggal di masjid, tapi perbuatannya kadang - kadang sangat berbeda dengan lisannya.
Sebelum saya mendakukan lebih jauh tentang “wajah Rasulullah dan Di utusnya Dia sebagai Rahmatal lil alamin”. terlebih dahulu saya uraiakkan sedikit gambaran tentang Nabi - Nabi yang lain.
Nabi secara umum terbagi dalam dua golongan, yaitu Nabi non semit (Aria dan Krisalis) dan Nabi semit (Nabi Muhammad SAW termasuk di dalamnya).
Nabi terbesar dari kalangan Aria yaitu Zarathustra dan Budha, keduanya sangat berlawanan, dimana Zarathustra menghadapi hidup ini. sedangkan Budha lari dari Hidup ini. Nabi terbesar dari kalangan Krisalis adalah Lao Tse dan Kong Fu Tse, yang keduanya juga berlawanan, dimana Kong Fu tse memikirkan tentang masyarakat, sedangkan Lao Tse memikirkan tentang individu.
Nabi - Nabi non semit diatas, meski memiliki perbedaan, namun ada persamaan diantara semuanya, yaitu semuanya berasal dari golongan masyarakat aristokrat : para pangeran dan bangsawan.
Zarathustra adalah anak kepala pendeta penyembah api, setelah menyiarkan agamanya dari sebelah barat Azerbaijan sampai sebelah timur Balk dan istana raja Gushtasp. Diantara dua aristokrat bersaudara di istana itu, yang satu memberikan putrinya untuk dinikahi Zarathustra dan yang satunya mengawini putri Zarathustra. Sampai akhir hayatnya, Zarathustra menetap di kerajaan ini.
Budha adalah pangeran dari Benares. Budha berasal dari kelas ksatria dari keluarga raja di Sakiya, promotornya adalah Maharaja Ashoka dari dinasti Magadh (300 SM), Pangeran Mahindra mempromosikan agama Budha di Srilanka, Kaisar Cina dari dinasti Tang - Mingti (100 SM) menyiarkan Budhisme di Cina, Kaisar Sotokotishi menyebarkannya di Jepang, dan Kubila Khan memasukkan budhisme ke dalam istananya. Budha bukan hanya lahir dari keluarga raja, namun juga disebarkan di keluarga kerajaan dan pangeran.
Dua Nabi besar Cina, Lao Tse dan Kong Fu Tse. Kong Fu Tse adalah putra seorang bangsawan, sedangkan Lao Tse adalah pemegang dokumen pemerintahan di istana.
Dari penjelasan diatas mengenai agama Non semit, sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bahasa mereka yang terbiasa hidup di kerajaan, sangatlah berbeda dengan bahasa mereka yang terbiasa hidup tertindas. Entah itu Zarathustra, Nabi dari api yang dinyalakan. Budha pencari api yang dipadamkan yang dinamakan nirwana, Kong Fu Tse yang menghadapi dunia, atau Lao Tse yang membelakangi dunia. kesemuanya tinggal di lingkungan istana yang penuh dengan kenyamanan.
Bagi Budha dan Lao Tse yang terbiasa hidup dalam lingkungan kaya yang serba ada, wajar ketika mengalami kebosanan sehingga memutuskan untuk lari darinya, bahkan dari dirinya sendiri dan terbenam dalam cinta, penderitaan dan kebutuhan yang tidak ril, dan tidak lagi mengharap sesuatu dari bumi.
Orang yang mengalami pedihnya lapar, haus, sakit, tunawisma, tunasandang, penindasan, pengangguran, penghisapan, kungkungan, keterbelakangan, dan ratusan penderitaan, kepedihan yang nyata, dan api panas yang tertumpah sampai ke sumsum tulangnya; Dia melihat ada ribuan kemewahan dalam hidup yang sama di atas planet yang sama dan di kolong langit yang sama. Tapi, dia tersingkir darinya, maka dia tidak akan pernah memikirkan dan melihat dunia sebagai kehampaan.
Orang yang duduk tanpa baju dan tanpa makanan di kedinginan dan memandang wajah tak berdosa anaknya yang menderita dengan bibir gemetar yang membiru dan air mata di sudut matanya telah membeku, tidak akan pernah pergi mencari nirwana seperti yang dilakukan Budha, sang pangeran dari Benares.
Bukanlah secara kebetulan, segera setelah penunjukan misi kenabiannya, Nabi - Nabi ini langsung mengambil rute ke istana raja - raja, sehingga mereka memulai misi mereka dalam masyarakat, di bawah naungan perlindungan raja.
Nabi - Nabi semit berbeda dengan Nabi - Nabi non semit, mereka semuanya termasuk kelas rakyat jelata, kelas paling bawah dari masyarakatnya - Orang Pinggiran. Mayoritas dari mereka adalah penggembala dan beberapa dari mereka adalah pengrajin, seniman dan tukang (Nabi Nuh adalah tukang kayu dan Nabi Daud adalah tukang besi).
Bukan kebetulan bahwa setelah mereka ditunjuk sebagai pembawa misi kenabian. maka, golongan tertindas dan para budak sahaya berbanjar di belakangnya dan segera memutuskan hubungan dengan para aristokrat, raja - raja, pedagang, budak, pendeta, saudagar, dan kaum kaya yang berkuasa.
Tugas mereka bukan berlindung pada kekuasaan yang ada. tetapi, menyatakan perang terhadapnya. Nabi Ibrahim dengan sekonyong - konyong mengambil kampak dan datang ke kuil dan menghancurkan berhala - berhala. Dalam sejarahnya, kita temukan kisah penganiayaan, api dan pembakaran di api. Nabi Musa dengan jubah buruk dari bahan kasar yang sobek - sobek dengan tongkat gembala yang tidak mulus, ditemani saudaranya dari gurun, memasuki kota dan langsung menuju istana Fir’aun dan menyatakan perang terhadapnya. Dalam sejarahnya, kita temukan kisah perjuangan melawan Fir’aun, Qarun, Bal’am Baur dan pembebasan kaum Yahudi dari perbudakan, serta hijrah total dan pembentukan masyarakat merdeka di negeri yang merdeka.
Nabi Isa, seorang pemuda kesepian tanpa kedudukan sosial, sebagai nelayan tak dikenal di pantai Laut Merah, tetiba mencanangkan diri melawan kaisar dengan pukulan rohani dari jiwa yang murni dan luhur, meruntuhkan kekaisaran Romawi yang liar dan pemakan manusia. Dalam sejarahnya adalah riwayat pengejaran dan pembantaian massal.
Rasulullah Muhammad SAW, seorang pemuda yatim yang biasa menggembala biri - biri orang Makkah, tetiba turun dari tempat berkontemplasi dirinya di Gua Hira dan menyatakan perang terhadap para kapitalis, pedagang budak Makkah dan pemilik perkebunan di Tha’if. Dalam sejarahnya, kita mendengar penganiayaan, hijrah, kehilangan tempat tinggal, dan perang suci yang berkesinambungan. (Baca : Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas).
Dari latar belakang dan gambaran diatas, saya mencoba mencari jawaban dari keresahan kita semua, meski pada akhirnya hanya keresahan juga yang akan kita dapatkan. Sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa ciri pembawa risalah Tuhan bagi agama Ibrahim (semit) adalah datang dengan segala kesederhanaanya, bukan dengan kemewahan. Ketika diangkat menjadi Nabi, mereka langsung berbaris bersama kaum - kaum Pinggiran (Mustad'fin - tertindas) dan melawan sang penindas. Saya mencari orang yang semacam itu diantara tokoh - tokoh agama yang ada dimasa sekarang. tapi sebagian besar dari mereka hanyalah sama - sama penindas yang saling mencari kesempatan untuk menindas, lalu pihak yang kalah akan berteriak bahwa mereka tertindas.
“Guru adalah mereka yang hidup setara dengan muridnya, bukan yang mengambil jarak untuk dihormati dan ditakuti”. Bisikan dari seorang yang tak kukenal itu masih terngiang - ngiang di telingaku.
Dalam kebingungan kita mencari teladan untuk bisa kita andalkan dalam pencarian ini, satu persatu dari mereka mengecewakan kita. Saya teringat pesan dari seorang kakak pada saya, “Ais, jangan sandarkan dirimu pada manusia, karena engkau akan kecewa saat dia berbuat kesalahan”.
Di masa yang masing - masing mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran, jika guru yang di andalkan pun berbuat salah, lalu apa lagi yang bisa mengobati kekecewaan kita. Di masa ini, jika tokoh - tokoh agama pun ikut berbaris dalam antrian kekuasaan, lalu siapa lagi yang akan memahami keresahan kaum tertindas. Nasi bungkus telah berubah fungsi menjadi penentu ‘kebenaran’. Kuantitas telah dijadikan sebagai bukti kebenaran.
Meski keresahan kita belum berakhir, setidaknya yang dapat kita underline adalah bahwa kedalaman agama seseorang tidak di tentukan oleh seberapa banyak pengikutnya, seberapa sering dia muncul di TV, seberapa jauh dia berasal atau seberapa banyak orang yang di islamkannya. Sebab, Islamnya Muhammad bukanlah islam kuantitas. Seandainya islamnya adalah islam kuantitas, tentu dia akan memaksa semua penduduk Makkah masuk islam saat Makkah telah di taklukkan - Fathu Makkah.
Di Indonesia, ada dua kelompok besar islam yaitu Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Mereka bukan hanya besar, tapi mereka ada saat masa - masa perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. K.H. Hasyim Asyhari (pendiri NU), jika kita melihat sejarah hidupnya, maka kita akan melihat wajah islam yang penuh cinta. Beliau bukan hanya kaya akan pengetahuan agama dan tenggelam dalam sunyinya ibadah, tapi juga ikut berjuang dengan akal dan fisiknya demi meraih kemerdekaan bangsa Indonesia.
Begitu juga dengan pendiri Muhammadiyah, jika kita melihat sejarah hidupnya K.H. Ahmad Dahlan, maka kita akan melihat bahwa pengetahuannya telah membawanya pada kebijaksaan dan menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia.
Saya Pernah di tanya, Apakah Ente Nahdathul Ulama atau Muhammadiya?. Saya Jawab dengan sekenanya saja, bahwa saya "Nahdhatul Muhammdiyin".
Landasan utama dari Konsep Nahdhlatul Muhammadiyin sendiri sebenarnya adalah benar-benar ingin mewujudkan Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Karena yang terjadi saat ini, Islam hanya dianggap Rahmatan bagi segelintir kelompok saja. Ada yang menganggap golongannya yang paling benar, ada yang menuduh bahwa golongan yang lain adalah salah dan seterusnya, sehingga yang terkesan saat ini, Islam tidak rahmatan lil ‘alamiin. Label “rahmat” justru hanya disematkan pada ruangan yang sempit, yang jelas lebih sempit dari alam semesta ini.
Misalnya, Saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, menghadapi segala persoalan yang ada saat itu, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Madinah merupakan representasi dari Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri. Di Madinah, Rasulullah SAW menyiapkan semua perangkat yang diperlukan untuk peradaban Madinah saat itu, bukan hanya di bidang spiritual saja, melainkan juga bidang Ekonomi, Bidang hukum, Bidang politik dan aturan kehidupan bermasyarakat lainnya. Puncak dari peristiwa saat itu adalah Fatkhu Mekkah.
Jika memang kita mengidam-idamkan “Fathu Makkah” kita saat ini, yang harus kita pertanyakan terlebih dahulu adalah apakah kita sudah mempersiapkan “Madinah” kita?, apakah kita sudah benar-benar siap dengan “Fathu Makkah” kita?.
Secara Sederhana terminologi 'Rahmatan Lil ‘Alaamiin, bisa juga diartikan bahwa rahmat itu tidak hanya lil muslimiin saja, lil mu’miniin saja, lil muhammadiyin saja atau lil nahdhliyin saja. Tetapi, benar-benar lil ‘alamiin, untuk alam semesta. Pemahaman Rahmatan lil ‘alamiin ini harus di sadari bahwa Islam bukan hanya rahmat bagi Islam itu sendiri, tidak juga hanya untuk penduduk bumi saja, melainkan benar-benar rahmat untuk alam semesta dan yang ada di dalamnya, termasuk makhluk-makhluk Allah, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Dalam dimensi yang lain kita mendapati bahwa gula itu manis dan api itu panas. ketika kita menemukan gula. Tetapi, tidak manis, maka bisa jadi itu bukan gula. Namun, kita harus tetap memiliki kesadaran bahwa manis itu tidak hanya berasal dari gula saja. “Jadi mungkinkah rahmatan lil ‘alamiin itu muncul dari yang bukan muslimuun?”.
Saya mendambakan Sebuah Komunitas atau Ruang Belajar yang menjadi produsen Rahmatan lil ‘alamiin, sehingga setiap orang yang berhubungan dengan komunitas tersebut memiliki tanggung jawab sosial bahwa dirinya melalui output sosialnya berupa akhlak, perilaku, dan sebagainya menjadi rahmatan lil ‘alamiin, setidaknya rahmatan bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga dalam Komunitas tersebut pun tidak di persyaratkan siapa dia, dari mana dia berasal, bahkan sampai agamanya apa, tidak dipersoalkan. Karena yang menjadi landasan berfikirnya adalah kebaikan dalam dirinya yang menjadi produk sosialnya di mata masyarakat.
Rahmatan lil ‘alamiin itu bukan hanya sholatnya atau puasanya seseorang saja. Melainkan ia adalah produk dari proses seseorang yang melatih dirinya, menempa dirinya. ketika ia sholat atau ketika ia berpuasa. Kesalahpahaman manusia saat ini adalah bahwa agama diletakkan di ruang etalase, sehingga semua berdebat untuk mengaku siapa yang paling benar. Seharusnya, agama merupakan produsen dari sebuah produk yang diletakkan di etalase, sehingga tidak ada perdebatan apakah produk itu dibuat oleh NU, Muhammadiyah, LDII atau golongan yang lain, selama produk itu sehat dan halal. maka, kita tidak akan memperdebatkan siapa yang memproduksinya.
Dalam terminologi yang lain, agama itu seperti seorang istri. Seorang suami tidak perlu memperdebatkan bahwa istrinya adalah yang paling cantik di hadapan laki-laki lainnya yang juga sudah memiliki istri masing-masing. Karena istri adalah bagian dari nyawa seorang suami, bahkan seorang istri juga merupakan aurat bagi suaminya, sehingga tidak perlu seorang suami mempertandingkan istrinya dengan istri orang lain. Mengapa?. Karena, Yang terjadi saat ini, orang mempertandingkan agama yang dianutnya dihadapan orang lain yang juga memiliki keyakinan sendiri terhadap agama yang dianutnya. Yang terjadi saat ini adalah seorang suami memaksakan laki-laki lain untuk bersepakat bahwa seorang wanita yang cantik adalah yang wajahnya bulat, hidungnya mancung dan sebagainya, padahal setiap orang memiliki selera yang berbeda.
Ada 3 jenis output dari Rahmatan lil ‘alamiin dalam diri seseorang. pertama, dia tidak merepotkan orang lain. kedua, bermanfaat untuk orang lain. ketiga, bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Coba kita berfikir secara logis. Dalam sebuah ayat di Al Qur‘an dijelaskan, "wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin". Dari ayat ini dijelaskan bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidaklah diutus sebagai rasul melainkan untuk menjadi Rahmatan lil ‘alamiin. Saya menangkap pesan dari ayat ini dengan logika sederhana, bahwa jika memang Nabi Muhammad SAW ini sebagai rahmatan lil ‘alamiin, maka ada sebuah sistem yang di tinggalkan dan di wariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada ummat manusia, bahkan untuk alam semesta.
Anggaplah bahwa Rahmatan lil ‘alamiin ini adalah sebuah sistem. Sehingga memungkinkan apabila sistem tersebut berjalan, maka orang-orang yang berada dalam sistem itu menjadi agen-agen yang tidak hanya menyebarluaskan, tetapi juga menumbuhkan dan menyuburkan Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri.
"Dengan sistem itu (Rahmatan lil ‘alamiin), selain kita selamat dan berguna, dalam rentang hidup, kita juga selamat dan berguna dalam rentang nyawa kita”. Rentang hidup yang dimaksudkan adalah rentang waktu sejak manusia lahir dari rahim ibu, sampai kelak di cabut nyawa kita, kemudian mati secara fisik. Sedangkan rentang nyawa adalah sejak pertama kali ruh ditiupkan (muncul kesadaran) hingga kelak kembali kepada Allah SWT.
Ketika sistem Rahmatan lil ‘alamiin ini kita sepakati sebagai sebuah sistem untuk menjadikan manusia aman dihadapan Allah. maka, untuk mewujudkannya dan menjalankan sistem ini, diperlukan sebuah metode dan analisis yang sangat mendalam, di tengah kesulitan yang kita hadapi saat ini dalam mencerna seperti apa sistem Rahmatan lil ‘alamiin yang di kehendaki oleh Allah sebenarnya.
Kesulitan yang di hadapi oleh manusia saat ini bukan hanya soal apakah ia sudah bertemu dengan Tuhan atau belum, melainkan dalam proses perjalanan menuju Tuhan itu sendiri manusia harus berhadapan dengan berbagai macam mazhab dan golongan yang mengaku dirinya paling benar.
Padahal “Rahmat” itu sendiri bentuknya tidak bisa di identifikasi dengan detail, bahkan tidak selamanya menyenangkan. Dalam satu momentum, hancurnya sebuah pohon bisa saja menjadi rahmat bagi pohon itu sendiri atau juga bagi makhluk yang ada di sekitarnya. Salah satu contohnya, ketika pohon di tebang, kemudian kayu dari pohon tersebut di olah menjadi barang yang baru seperti meja, misalnya. Seperti halnya anak kecil, kasih sayang yang dia harapkan atau dia dambakan mungkin hanya sebatas tamasya bersama keluarga ke kebun binatang atau terwujud dalam sebuah mainan yang di belikan oleh orang tuanya. Artinya, setiap manusia akan menemukan dimensi-dimensi yang berbeda dalam menemukan rahmatnya sendiri.
Selayaknya sebuah alat atau media, maka sistem Rahmatan lil ‘alamiin ini juga sudah di siapkan buku panduannya; Al Qur’an. sebuah metode bagaimana menerapkan sistem Rahmatan lil ‘alamiin dengan menggunakan buku panduan Al Qur‘an.
Dalam Islam, ketika seseorang akan membaca Al Qur’an salah satu syaratnya adalah dia harus suci (bersih dari hadats kecil maupun besar), dalam sebuah ayat disebutkan, "Laa yamassuhu illa-l-muthohharuun". Secara kasat mata, untuk bersuci dari hadats kita bisa menggunakan Wudhlu untuk bersuci. Ketika kita berwudhlu, Islam pun mengatur sedemikian rupa kalsifikasi air yang boleh digunakan untuk berwudhlu. Jenis air yang diperbolehkan untuk berwudhlu di antaranya adalah air mutlak (kudus) dan air musyammas (terjemur matahari). Sedangkan air yang tidak boleh di gunakan untuk Wudhu di antaranya adalah air musta’mal (yang sudah terpakai) dan air mutanajjis (yang tercampur dengan najis).
Proses Wudhu seharusnya tidak hanya membersihkan secara fisik (kasat mata) saja, melainkan juga mampu mensucikan pikiran dan hati seseorang yang telah berwudhlu. Ketika kita akan membaca Al Qur’an, setelah di awali dengan berwudhu. maka, kita sudah berada dalam situasi kesucian pikiran dan hati. Sehingga Al Qur’an benar-benar akan memberikan petunjuk kepada yang membacanya itu, bahkan bisa jadi memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada dalam pikiran kita dan informasi yang terambil dari Al Qur’an akan kita dapatkan secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhannya yang relevan.
4 jenis air diatas coba kita Ilustrasikan kedalam cara berfikir manusia. Air mutlak digambarkan dalam ruang fikiran yang jernih. Yang dimaksud dengan fikiran yang jernih atau murni adalah ketika cara berfikir manusia atau akal itu sendiri dibiarkan menemukan pengetahuan dengan kemurnian berfikirnya sendiri. ketika kita mencari tahu, kita tidak hanya investasi pendapat atau asumsi dalam fikiran, yang dilakukan adalah melihat data dan mengumpulkan konsistensi data tersebut. Dalam ranah ilmu pengetahuan, lambang kesucian ini, bisa diibaratkan seperti Matematika. Dalam matematika 2 + 2 = 4, manusia tidak memiliki peluang untuk berdebat, berdiskusi atau bernegosiasi untuk kemudian merubah hasil dari 2 + 2 menjadi selain 4.
Air Musyammas jika digambarkan dalam cara berfikir manusia adalah sebuah cara berfikir yang tidak hanya menggunakan akal secara murni, tetapi sudah dipengaruhi oleh faktor yang lain. Misalnya, bagaimana manusia mencari pengetahuan melalui manusia yang lainnya, sehingga cara pandangnya sudah terpengaruh oleh orang lain yang kita temui itu. Dalam terminologi ini seorang manusia sudah melakukan investasi pendapat dan asumsi tentang apa yang kita cari ketika berfikir. Dalam ilmu pengetahuan, cara berfikir seperti ini adalah Fisika. Dalam Fisika, setiap eksperimen yang dilakukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya sudah ada, tidak murni sebagai eksperimen yang berdiri sendiri, tanpa campur tangan pengetahuan sebelumnya. Sehingga yang terjadi adalah pengetahuan yang selalu berkembang.
Air musta’mal adalah cara berfikir, ketika kita menggunakan tafsir-tafsir orang lain yang digunakan untuk memahami sebuah pengetahuan. Misalnya dalam Ilmu Tafsir Al Qur’an itu sendiri dimana saat ini kita dihadapkan dengan berbagai jenis buku tafsir, menurut ulama-ulama yang jumlahnya sangat banyak, ada Tafsir Ibnu Katsir, ada Tafsir Jalalain, ada Tafsir Al Misbah dan sebagainya.
Metode ini, tidak bisa digunakan manusia lain selain penulisnya atau pentafsirnya sendiri untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan. Bahwa kemudian kita menggunakan metode si pentafsir dalam menafsirkan sebuah pengetahuan itu adalah sebuah cara, tetapi hasil tafsiran orang tersebut tidak bisa digunakan oleh kita, karena tafsirnya itu sudah menjadi media bagi si pentafsir untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan sebelumnya, sehingga ia adalah seperti air musta’mal. Ia adalah hasil perasan sebuah pengetahuan yang sudah digunakan oleh si pentafsir.
Jenis air yang keempat, Air mutanajjis, jika dalam istilah air, ia adalah air yang sudah terkontaminasi oleh kotoran. Dalam rangkaian cara berfikir, air mutanajjis adalah cara berfikir yang sudah terkontaminasi oleh motif dan tujuan sumber pemberi informasi. Yang paling dekat dengan istilah air mutanajjis dalam kerangka berfikir ini adalah informasi dari media massa dan Lini masa. Karena informasi di media massa dan lini massa saat ini hampir semuanya mengandung pembiasan, tujuan dan agenda-agenda dari penulis informasi atau yang berkuasa dalam corong informasi yang kita sebut media massa itu sendiri.
Bukan berarti kita menolak 100% kepada informasi yang diberikan oleh media massa, tetapi yang harus disadari adalah bahwa informasi dari media massa tidak bisa kita gunakan untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan, layaknya air mutlak atau air musyammas tadi. Yang paling mungkin dilakukan dari informasi yang didapatkan dari media massa adalah menyaringnya dan mensucikan kembali informasi tersebut. Sehingga sangat mustahil manusia akan menjadi Rahmatan lil ‘alamiin jika air yang kita gunakan untuk bersuci ketika membaca buku manual Al Qur‘an adalah air mutanajjis.
“Semakin dekat kita bersuci kepada Tuhan, maka akan semakin dekat posisi kita untuk bisa mengejawantahkan Rahmatan lil ‘alamiin di dunia”.
Apa yang saya sampaikan merupakan bentuk air musta’mal, sehingga berpulang kepada kita saja yang mengolahnya kembali dan meng-ijtihadi, bahkan kita harus memiliki daulat dalam diri kita sendiri untuk menggunakan metode apapun. ketika kita memiliki kemerdekaan dalam mengambil ilmu pengatahuan yang ada, baik dari Al Qur’an, alam atau dari diri sendiri, kita akan memiliki kemampuan yang lebih jelas lagi dalam menentukan diri kita untuk menjadi agen Rahmatan lil ‘alamiin, sekaligus untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan. Tetapi, kita harus tetap waspada terhadap informasi-informasi yang sampai kepada kita, sehingga pada sebuah momentum kita bisa mencapai tingkatan “air mutlak” dalam menggunakan Al Qur‘an untuk menuju sistem Rahmatan lil ‘alamiin.
Misalnya, kita coba elaborasi ayat Al Qur’an yang berbunyi, "wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin".
Saya Memiliki pemahaman yang mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Dalam ayat ini yang saya pahami adalah konteks Rahmatan lil ‘alamiin ini bukan sosok Muhammad-nya, melainkan peristiwa Allah mengutus Muhammad menjadi Rasul di muka bumi ini yang kemudian diejawantahkan menjadi Rahmatan lil ‘alamiin. Dalam kalimat illa rahmatan lil ‘alamiin dalam ayat ini kemudian menjadi sebuah pakem bahwa diutusnya Muhammad SAW sebagai Rasul adalah untuk menjadi Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri, dan dapat di pahami dari ayat ini bahwa Nabi Muhammad SAW juga menjadi Rahmat tidak hanya untuk umat Islam saja, melainkan untuk seluruh alam semesta ini. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas lagi bahwa Islam adalah satu-satunya yang Rahmatan lil ‘alamiin, seandainya ada elemen dalam Islam yang kemudian membuat dirinya tidak Rahmatan lil ‘alamiin, maka dia bukan Islam.
Saya pernah membaca sebuah artikel, tentang pengalaman seorang ulama yang menghadiri sebuah pertemuan dengan beberapa Ulama di Jawa Timur, saat itu mereka membahas sebuah tema, tentang dibolehkannya membunuh orang yang murtad. Beberapa Ulama yang membolehkannya menggunakan sebuah landasan peristiwa ketika Khalifah Abu Bakar Ashiddiq membunuh orang-orang yang murtad.
Setelah saya Baca artikel tersebut, saya berpikir, mestinya kita mengambil sudut pandang lain, mengapa Abu Bakar Membenarkan Membunuh Orang yang murtad?. Saya melihatnya, saat itu Abu Bakar adalah seorang Khalifah, sehingga kita harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin ummat, Abu Bakar berada dalam ruang jabatan politik. Penyebab dibunuhnya orang-orang murtad oleh Khalifah Abu Bakar saat itu, karena mereka dianggap sebagai gerakan separatis yang berpotensi mengganggu jalannya roda pemerintahan dibawah kepemimpinannya saat itu, sehingga landasan utama membunuh orang-orang murtad tersebut bukan karena kemurtadannya, melainkan potensi separatisnya yang mengganggu pemerintahannya Dan hal ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan agama.
Kalaupun kemudian menjadi landasan pemikiran politik, itu merupakan suatu hal yang masih mungkin dilakukan, karena setiap penguasa politik pasti memiliki sensitifitas yang tinggi terkait ancaman terhadap kekuasaannya.
Nabi Muhammad SAW benar-benar mengaplikasikan konsep Rahmatan lil ‘alamiin ini selama hidupnya, ketika beliau masih muda beliau sudah diberi gelar Al Amiin, sehingga banyak sekali orang yang sangat percaya kepada beliau. Begitu juga ketika sudah dilantik secara resmi menjadi Rasul, beliau tidak pernah dendam kepada orang-orang yang menyakitinya, bahkan seorang Abu Jahal sekalipun ketika sakit justru Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama kali menjenguknya.
Artinya, apabila landasan berfikir dibunuhnya seseorang karena kemurtadannya, maka hal ini jelas akan bertentangan dengan konsep Rahmatan lil ‘alamiin.
Terkait kesalah fahaman pemaknaan kata Jihad, saya menduga salah satu akibatnya adalah kesalah pahaman pembelajaran kita dalam Kitab Fatkhul Mu’in. Dalam Kitab tersebut dinyatakan bahwa Jihad hukumnya Fardlu Kifayah dan harus dilaksanakan minimal setahun sekali. Salah satu kesalahan pemahamanannya adalah bahwa Jihad hanya dimakanai dengan memerangi orang kafir dengan berperang menggunakan senjata. Ada hal yang cukup membahayakan menurutku. tentang kesalahan penafsiran Jihad dalam kitab ini, pertama; Jihad ditafsirkan sebagai kegiatan memerangi orang-orang kafir dalam bentuk peperangan. Kedua; jihad dihukumi dengan fardhlu kifayah, sehingga apabila tidak ada satupun umat Islam yang melakukannya, maka seluruh umat Islam di dunia akan berdosa.
Tidak mengherankan ketika banyak ulama-ulama yang kemudian terinfiltrasi oleh sekelompok golongan atau aliran yang menyaurakan propaganda bahwa Jihad adalah memerangi orang-orang kafir. Kitab Fatkhul Mu’in ini sendiri merupakan sebuah kitab yang dikarang oleh bukan orang Arab, melainkan oleh orang India. kata Jihad ini juga perlu ada pembahasan ulang lagi, sehingga kita dapat mendefinisikan kembali apa hukum berjihad dan peristiwa apa saja yang memang kemudian dapat disebut sebagai Jihad. kitab-kitab kuning disusun di belahan bumi Arab yang situasi dan kondisinya tidak sama dengan Indonesia, perlu pengkajian ulang untuk memahami apa yang dituliskan oleh ulama-ulama dalam kitab-kitab tersebut.
*pustaka Hayat
*Rst
*Nalar Pinggiran
*Pejalan sunyi


Tidak ada komentar:
Posting Komentar