Selama canda-tawa atau komedi tidak dilarang, atau yang main-main tak didakwah sebagai sumber kelalaian, sekurang-kurangnya masih mungkin penderitaan—segala ketegangan yang seringkali digawatkan pelbagai keterbatasan, dapat dilepaskan.
Dalam tawa atau lelucon, setidaknya kebahagiaan, yang diburu dengan segala pengorbanan tak terkira, terasa amatlah gampang. Manusia menemukan kelucuan pada kesempurnaan dirinya yang ternyata tak sempurna, membuatnya begitu karib dengan diri, dengan sesamanya. Keinsyafan pada ketaksempurnaan sebagai keniscayaan dari kesempurnaan, membuat kita tak perlu menjelma Superman dalam hidup ini. Tak perlu menjadi pahlawan atau jagoan yang dipertuan-agungkan. Lantaran hidup dijalani atas kewajaran; kesemestian tak butuh keajaiban yang melampaui batas-batas realitas.
Tertawa dan bercanda tak selamanya tanpa resiko. Ada orang tak gemar tertawa, gampang tersinggung, menganggap canda cuma sia-sia, tak sopan. Tapi, lupakanlah. Dalam tawa, orang menemukan cara sederhana memeriahkan atau mensyukuri kegagalan, kehancuran, kesedihan. Atau menyongsong ketakpastian waktu dan peristiwa dengan sebentuk makna yang tak ribut dimakna-maknai.
Bagi "Sidharta Gautama", penderitaan bermula dari kehendak. Ia menengarai, penderitaan tercipta dari kehendak, dan kehendak itu pertama-tama kehendak memberi makna. Orang sibuk memaknai hidup, sehingga gagap menjalaninya dengan rela dan gembira. Kebutuhan akan makna hidup itu, bagai belaka mengharap keuntungan dari tiap perbuatan. Ia menghitung; apa guna bagiku. Bukan apa guna baginya. Tapi, bahagia ada pada kehendak yang terlaksana tanpa kehendak, paradoks yang dipandang akal sehat. Sesuatu yang terus-menerus dinamis dalam keseimbangannya.
Dalam "The Art of Novel", Milan Kundera meyakini hidup ini perangkap. Orang terperangkap dalam tubuh yang tak dipilihnya. Terkunci! Kemudian harus mati. Kenyataan yang tak terbantahkan. Kehidupan tak melulu perihal narasi-narasi besar yang heboh, diiringi sambutan dan decak kagum banyak orang. Di belahan lain, ia pun kesunyian dan keterasingan yang menghilang. Ada perubahan dalam hidup terjadi dengan sendirinya. Pun ada perubahan yang mustahil terjadi tanpa digerakkan.
Kegembiraan berlalu. Sebagaimana duka. Tetapi, kekal. Apa yang tertinggal? Barangkali jejak dari sepotong tawa masih tertinggal di sana, namun yang tertawa telah tiada entah di mana. Jejak duka pun masih membekas saja. Di dalam ingatan. Ingatan yang merangkai penanda, tetapi seringkali tak kuasa mendetilkan segala jejak, bekas, dan segala yang tertinggal. Kemudian pada titik itu kiranya, ia harus berjuang melawan lupa supaya menjadi tetap ada, kata Milan Kundera. Agar hidup tetap dalam ingatan yang senantiasa terjaga. Terjaga dari lupa dan tipu daya.
Tawa dan duka menjelma mitos. Penderitaan dipahat pada batu, prasasti, teks, simbol. Orang tak ingin derita dilupakan. Buat apa? Tentu agar yang telah hancur dalam penderitaan tak diabaikan generasi mendatang, agar duka tak terulang kembali. Pun segala pencapaian dan kejayaan, dikekalkan pada simbol kemegahan yang ganjil dan sepi. Buat apa semua itu? Kebanggaan. Atau sebentuk kenang-kenangan sejarah yang tak boleh musnah.
Manusia merindukan kekekalan dengan ketidakekalannya. Mendambakan kesempurnaan dengan ketaksempurnaannya yang sempurna. Orang menyimpan album foto bahagia, foto-foto keluarga. Orang memajang piagam penghargaan, foto wisuda, atau foto diri bersama orang terkenal umpama, dalam bingkai di dinding ruang tamu. Orang juga senang memajang gelas, piring, panci pada almari kaca agar terlihat orang lain. Barangkali ada kebanggaan di sana. Atau sebentuk kehendak mendapat pujian, setidaknya bahagia dengan pengandaiannya sendiri merangkai sebentuk dunia yang ideal. Betapa pengakuan pada keterbatasan itu, sesungguhnya tak benar-benar dapat disembunyikan.
Kemudian segala keterbatasan itu membawa pada kehilangan dan kegagalan, orang pun berduka cita. Ia berupa tragedi. Atau patah hati. Ia ingin terpuji, dan terluka jika dihina. Alangkah rapuhnya. Tapi bagi Budha, segala kehendak sejatinya bergerak pada kekosongan. Apa yang sesungguhnya dapat dicapai dan diolah dalam kerja, hanyalah harapan. Impian wajar yang dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari dengan cinta.
Tapi muram dan duka cita-Nya abadi. Sebagaimana tawa-Nya. Atas dukalah, bahagia menjelma. Atas bahagia, duka lara mendatangi jiwa. Kesadaran ilahiyah itu—bagi Iwan Fals dalam "Mata Hati" (1995), tak lain narasi kecil dalam narasi agung sejarah yang tak pernah terpecahkan. Ia mengalunkannya dengan musik yang menyusup jauh hingga di pedalaman waktu.
matahari yang berangkat pulang
tinggal jingga tersisa di jiwa
bintang-bintang menyimpan kenangan
kita diam tak bisa bicara
Kenapa diam dan tanpa bicara? Barangkali tak ada lagi kata yang dengan sempurna sanggup mewakili segala duka, segala yang telah dilalui jiwa entah sampai di mana. Yang dengannya, manusia masih berhak untuk berbahagia.
Makassar, 16/08/2020


Tidak ada komentar:
Posting Komentar