Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

CORET ESAI : SIASAT MENJADI SEHELAI DAUN


Ternyata tidak mudah meneliti Tuhan. Lantaran sedalam dan sejauh apa pun manusia meneliti Tuhan, yang ia temui tak lain adalah dirinya sendiri, yakni manusia beserta segala kehidupannya. Tidak mudah jadi Tuhan. Hal itu telah dibuktikan oleh Morgan Freeman dengan “The Story of God”-nya dalam televisi National Geographic. 

Penelusurannya perihal Tuhan, membuatnya mempelajari seluruh agama Dan Tuhan tetaplah tidak ditemukan, selain kuil-kuil tua, masjid atau pura kuno, goa atau kitab-kitab berdebu. Orang berkulit hitam itu, agaknya lebih tepat menjadi Tuhan dalam film “Bruce Almighty” (2003). Sebagai Tuhan yang diprotes manusia sial dalam film komedi tersebut, ia bersiasat. Sang Tuhan yang diperankan Morgan Freeman itu, menyerahkan “tugas ketuhanan” kepada manusia barang sejenak. Sementara Tuhan libur. Terjadilah kekacauan, sebab sang manusia yang memerankan diri sebagai Tuhan menggunakan kemahakuasaan-Nya secara sewenang-wenang.

Agaknya komedi Tuhan dalam film “Bruce Almighty” itu menjadi sebentuk olok-olok. Seolah manusia menertawakan dirinya sendiri. Bahwa dengan segala rasionalitas dan kehebatannya, ia tetap tak mungkin jadi Tuhan. Segala aturan dan ketetapan dalam kehidupan, jika diserahkan secara mutlak pada kekuasaan seorang manusia - betapa pun sucinya, ia tak mungkin menata kehidupan serumit ini. Yang akan terjadi justru kelucuan. Kelucuan yang sesungguhnya suatu kerusakan yang konyol. Tragedi. Manusia tak bisa jadi Tuhan sebagaimana Tuhan yang dijelaskan Morgan Freeman dalam siaran “The Story of God”nya. Hal itu telah ia buktikan dalam film “Bruce Almighty” yang konyol. 

Namun sesungguhnya, kemaha-arifan Tuhan bagi kalangan beriman, justru melampaui dugaan dan klaim terhadapnya. Sehingga keyakinan terhadap Tuhan, seyogianya tak menjadikan manusia mengambil-alih-Nya. Agar kehidupan terhindar dari benturan, kekecewaan, keangkuhan. Yang justru menjauhkan keyakinan ketuhanan pada masalah-masalah nyata kehidupan, pada masalah-masalah perut dan kebutuhan hidup, pada keterhimpitan, pada penderitaan, dan ketakberdayaan.

Dikisahkan dalam sebuah buku kuno perihal Nabi Musa dan Qorun. Sahdan tatkala Qorun terbenam bersama harta dan kesombongannya ke dasar bumi, ia sempat berteriak-teriak memanggil-manggil nama Nabi Musa ribuan kali, agar dirinya diselamatkan dengan menyatakan diri menyesal atas kebakhilannya selama ini. Namun Nabi Musa tak menjawab panggilan Qorun.

“Itulah hukuman Tuhan bagi orang bakhil lagi ingkar,” ujar Nabi Musa.

Tenggelamlah Qorun ke dasar bumi. Lenyap. Nabi Musa pun mendaki bukit Sinai, melaporkan peristiwa tersebut.

Tuhan bertanya kepada Nabi Musa.

“Musa, kenapa tak kau jawab panggilan Qorun saat ia sekarat, padahal dia telah memanggil-manggilmu ribuan kali?”

“Ampun, Tuhan. Biar dia mendapatkan pelajaran, begitulah hukuman-Mu bagi orang bakhil dan kufur,” ujar Nabi Musa.

“Musa! Andai Aku menjadi kamu, jangankan ribuan kali, sekali saja ia memanggil nama-Ku, akan Aku jawab panggilannya dengan cinta, dan bersegera mengentaskannya dari celaka.”

Nabi Musa tertunduk dalam-dalam. Selama ini ia selalu berusaha melaksanakan sifat-sifat Tuhan ke dalam hidupnya. Tetapi justru Tuhan mengandaikan diri-Nya sebagai manusia. 

Apakah Tuhan bersiasat?. Barangkali Morgan Freeman benar dalam “The Story of God”-nya, bahwa sejauh-jauh manusia mencari apa dan bagaimana saja siasat-Nya, justru yang ia temukan adalah siasat-siasat manusia itu sendiri.


***

Dalam sebuah kitab kuno dikisahkan. Seorang pejalan tasawuf (salik) atau Pejalan Sunyi menyampaikan maksud kepada guru tasawufnya, ingin sempurna menyatu dengan Allah. Perjalanan spiritual ditempuhnya sudah 25 tahun. Sang guru tasawuf memberi solusi, yakni supaya ia menemui sufi agung yang tersembunyi di negeri jauh. Sufi agung itu bernama Tuan Fulan.

Perjalanan ke negeri Tuan Fulan harus ditempuh perjalanan kaki selama 1 bulan. Tekad Sang Salik sudah bulat menimba ilmu rahasia menyatu dengan Allah sebagai puncak kerja spiritualnya. Ia pun berangkat.

Kedalaman ilmu dan pengalaman spiritual Sang Salik tak diragukan. Ia penghafal Qur'an, menguasai Hadits dan ribuan nama Allah yang rahasia. Dalam perjalanan menuju negeri Tuan Fulan, ia singgah, bermalam di kota kecil yang dilewatinya. Di kota kecil itu, ia bertemu sejumlah orang Yahudi. Ia mengajak sejumlah Yahudi berdebat tentang kebenaran agama Yahudi dan Islam. Karena Sang Salik sangat mendalami agama Islam dan Yahudi, ia memenangkan debat, lalu mengajak sejumlah orang Yahudi bertobat dengan masuk agama Islam. Sejumlah orang Yahudi pun memeluk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat.

Begitulah. Sang Salik kembali melanjutkan perjalanan. Ia singgah lagi dan bermalam di perkampungan Nasrani. Ia menyampaikan kebenaran Islam dan menguliti kekeliruan agama Nasrani. Sejumlah orang Nasrani tak bisa membantah, mengakui kebenaran agama Islam dan meninggalkan Nasrani. Hampir sekampung berikrar masuk agama Islam dengan dua kalimat syahadat.

Sang Salik kita yang shaleh ini tiba di kota tujuan. Ia mencari sang sufi agung di keramaian kota. Setelah bertanya ke sana kemari perihal orang bernama Tuan Fulan. sang salik menemukan rumah Tuan Fulan yang berada di antara deretan toko dalam pasar tradisional yang ramai. Tampak seorang lelaki tua sederhana yang giat.

"Assalamu'ailaikum, Tuan. Benarkah ini kediaman Tuan Fulan yang agung itu?", tanya Sang Salik pada tuan rumah.

"Benar," jawab Tuan Fulan singkat, bahkan ia tak menjawab salam Sang Salik, ia sibuk menata barang dagangannya berupa bumbu-bumbu dapur.

"Ampun, Tuan Fulan, guru agung. Hamba ditugaskan guru hamba menemui Tuan."

"Untuk apa?"

"Ampun, Tuan. Hamba ingin menjadi murid Tuan, hamba hendak berguru ilmu rahasia bersatu dengan Allah."

Tuan Fulan memandangi Sang Salik yang berpakaian bersih, dan harum.

"Buat apa?", tanya Tuan Fulan.

"Hamba ingin mencapai puncak perjalanan spiritual hamba, Tuan," jawab Si Salik penuh kerendahan hati.

"Baiklah jika itu keinginan Anda. Jadilah daun. Sekarang pergilah, dan kembalilah ke sini setelah Anda berhasil menjadi sehelai daun." Berkata begitu, Tuan Fulan tak memerdulikan Si Salik, ia sibuk melayani para pembeli. Ketika Sang Salik berpamit akan mencium tangannya, Tuan Fulan menolak.

Berbulan-bulan Sang Salik berpikir dan merenung disertai dzikir dan riyadha, agar dirinya bisa menjadi sehelai daun. Ia bertanya pada ahli-ahli ilmu Fiqih dan kalam, tak ada yang memuaskan. Ia menggali Qur'an-Hadits dan berpuluh-puluh kitab, tak ada satu pun keterangan tentang bagaimana agar manusia bisa menjadi sehelai daun. Bukankah manusia makhluk yang paling sempurna, kenapa harus menjadi daun? Pikirnya.

Setelah berbulan-bulan ia tak menemukan cara menjadi sehelai daun, ia memberanikan diri kembali menemui Tuan Fulan.

"Saya yakin Anda tidak bisa menjadi sehelai daun," ujar Tuan Fulan, kedua matanya teduh-dalam, memancar 'kasyaf' (sasmita) yang menakjubkan.

"Mohon ampun, Tuan. Hamba benar-benar tidak tahu caranya, ilmu hamba tak sanggup menjangkau," jawab Sang Salik berhati-hati.

"Tuan Salik, tak mungkin Anda menjadi sehelai daun, walau cuma sehelai daun. Itu mustahil dan musykil. Bagaimana mungkin Anda menyatu dengan Allah, jika Anda sibuk dengan baju-Nya?. Anda masih sibuk menegakkan kebenaran agama Anda dan menjatuhkan agama orang lain, lalu mengajak orang lain memeluk agama Anda.

Agama apa pun adalah baju-Nya. Mustahil Anda dapat meraih-Nya jika Anda cuma sibuk memperkarakan busana-Nya. Sama mustahil dan musykilnya dengan bagaimana cara agar manusia menjadi sehelai daun," tutur Tuan Fulan. Suaranya menggedor jiwa Sang Salik yang tertunduk dalam.

"Sehelai daun saja berfotosintesis dengan matahari, berdialog dengan udara, menampung embun dan hujan. Memancarkan keteduhan bagi siapa saja makhluk Allah, tanpa membedakan agama dan statusnya, mengayomi tanpa mengusik eksistensi siapa pun. Ia mengisyaratkan bahwa eksistensi dan kebenaran mutlak hanya Allah. Menjadi sehelai daun saja Anda tak bisa, apalagi menjelma rimbunan daun," kata Tuan Fulan.

"Ampun, Tuan Fulan. Lalu harus bagaimana lagi hamba, Tuan?" tanya Sang Salik menyesal.

"Pulanglah. Mulailah dari awal. Semua ilmu dan perjalanan spiritual Anda berpuluh tahun, hari ini telah luntur seperti debu di atas batu licin yang disapu hujan."

Tuan Fulan meninggalkan Sang Salik. Sang Salik pun tak berdaya dalam hampa. Udara senja mengelus rambutnya.


Malino, 21/03/2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar