Mengenai Saya

Senin, 01 Mei 2023

CORET ESAI ; JALAN SURGA

 

Kisah lama ini agaknya masih menarik saja dikisahkan. Sahdan pada sebuah forum seminar nasional tentang gender, suatu ketika, mendiang Gus Dur membuka pembahasannya mengenai gender dengan andaian.

Seandainya Einstein menikah dengan Marilyn Monroe. Maka, Akan lahirlah seorang anak perempuan yang ideal, cantik-seksinya kayak Marilyn Monroe, namun otaknya jenius kayak Einstein. Hadirin diam.

"Celakanya kalau terbalik!", ujar Gus Dur.

Para hadirin terpingkal-pingkal. Mereka membayangkan sesosok perempuan yang wajahnya tidak karu-karuan kayak Einstein, tapi otaknya tolol kayak Marilyn Monroe.

Bagi Hamlet dalam drama-drama Shakespeare, wanita cantik memang selalu tolol. Tetapi tak punya pendirian. Kendati Gus Dur dan Shakespeare tak selalu sahih perihal ini. Soalnya banyak wanita cerdas bahkan jenius yang wajahnya tidak susah-susah amat! Meski sangat kebanyakan, wajah dan tubuhnya memang tidak karu-karuan!

Kecenderungan pada pemujaan tubuh jadi ukuran-ukuran yang tak selalu logis dalam sejarah. Tubuh menjadi sangat politis. Namun acapkali dibiarkan tanpa kritik terhadapnya.

Seksualitas pun dikontrol, diintimidasi, didominasi, disoal oleh kekuasaan dan pengetahuan. Benar dan salah dilabelkan tanpa ampun!. Tubuh-tubuh molek terbuka dihujat: pendosa, pezina, dihakimi beramai-ramai, karena merayakan amoralitas. Padahal di lain tempat, berapa ratus, ribu, bahkan mungkin juta tubuh yang melawan nasib, berperang melawan kenyataan memedih di tepian-tepian kota, di gang becek, tempat-tempat mesum, di dalam kesempitan hidup Atau di tempat-tempat megah-mewah yang tak memiliki jalan keluar. Gundik orang kaya atau pejabat tinggi yang tak berdaya, umpama.

Oh alangkah agungnya hidup!

Betapa buta para penghujat atasnama moral dan agama. Toh kita tak juga mengerti; siapa sesungguhnya yang keji, siapa yang berdosa dan terkutuk, di saat jarak antara hati dan kenyataan tak lagi berarti?. Pada rumput yang bergoyang, bergoyanglah. Seperti dangdutan.

Tapi surga?

Seseorang mengandaikan perjalanan ke surga itu sangatlah panjang. Berliku. Berbahaya Dan amat melelahkan. Dante menulis “The Divine Comedy”. Bagian pertama berjuluk “inferno” (neraka), kedua “purgatorio” (tempat penyucian diri), dan “paradiso” (surga). Tentu saja Dante bukan seorang rasul. Ia hanyalah seorang penyair. Dalam “Komedi Tuhan”nya yang masyhur, ia mengisahkan perjalanan gaib itu dengan puisinya. 

Puisi naratif karya Dante Alighieri ditulis sekitar tahun 1308 hingga 1320. Lalu setahun kemudian ia wafat (1321). Seolah Dante hendak mewariskan sebuah karya agung dalam sastra Italia, sebuah tema yang tak selesai dipersoalkan sepanjang masa. Perjalanan imajinatif sang penyair perihal hidup setelah mati ini, mencerminkan pandangan dunia abad pertengahan, sejalan dengan apa yang diajarkan gereja Barat di abad ke-14. 

Sastra Dante rupanya dilanjutkan Sir Mohammad Iqbal. Penyair dan seorang pemikir Islam dari India ini mengisahkan perjalanan melelahkan itu dalam puisi panjangnya “Javid Nammah” (Kitab Kekekalan) Dan perjalanan ke surga atau ke neraka itu selalu menarik. Entah ia dipercaya dengan keimanan yang gawat, atau hanya diolog sebagai dongeng dan omong kosong belaka. Yang menarik, dalam khasanah Islam, tak terdapat sebuah ketetapan tegas bahwa manusia harus menuju surga atau neraka. 

Khasanah Islam seolah menegaskan, surga dan neraka bukanlah tujuan. Tuhan menyarankan manusia supaya memelihara diri dan keluarganya dari neraka. Dalam logika berbahasa Arab, pemeliharaan dari api neraka itu akan berakibat pada surga. Memelihara atau menjaga dari celaka, akan berakibat pada keselamatan. Maka dalam hal ini, surga sesungguhnya dipahami sebagai akibat dari sikap hidup yang memelihara, menjaga, atau melestarikan segala sesuatu yang berakibat pada surga.

Dalam tafsir Quraish Shihab, surga adalah karunia. Lantaran sehebat apa pun kebaikan manusia, tak akan sanggup “membeli” atau “menebus” surga. Bukankah ini bermakna surga bukanlah tujuan? Melainkan akibat dari sebuah tujuan. 

Dalam teks Islam, tujuan manusia adalah Tuhan. Bukan agama, bukan surga, bukan pula neraka. Neraka dan surga sejatinya tercipta akibat tujuan. Seindah apa pun suatu keadaan, jika di situ tujuan tak ditemui, ia seolah neraka. Tetapi seburuk apa pun suatu keadaan menurut ukuran lazim manusia, jika tujuan ditemui, ia bagikan surga.

Dalam sastra Arab yang masyhur “Layla-Majnun”, dikisahkan Majnun, si gila itu, yang mendesah penuh derita tatkala ia mengenangkan kekasihnya, Layla yang beralis tebal bagaikan malam, yang pergi selamanya ; "Betapa hampa hidupku, sebuah taman atau istana terindah di dunia ini, bahkan surga tak mungkin membahagiakan hatiku, jika tak ada engkau kekasihku. Dan alangkah indah dan lezatnya sebuah tempat paling buruk di dunia ini, bahkan neraka sekalipun, jika sang kekasih bersamaku, menjawab rindu, dan melindungiku dengan cintanya", Kata Majnun. 

Bukankah sejatinya jiwa adalah kehampaan Si Majnun, tanpa kekasihnya tercinta itu? Dan segalanya tak berarti apa-apa, tanpa si dia. Pengandaian metaforis ini hendak menjelaskan, cinta dan ampunan Tuhan bagi orang beriman, tak lain sebab utama baginya tercipta atau mengalami surga pada segala keadaan. Ini mirip lagu dangdut, gubuk bagaikan istana karena cinta sang kekasih, hidup berdua sepanjang masa.

Tetapi apakah istana dan segala kenikmatan yang diandaikan dalam imajinasi juga kehendak-kehendak nafsu manusia yang lantas disebut surga itu akan diwujudkan nyata? Dalam al-Misbah, semua itu tak lain adalah karunia-Nya. Janji dan ikrar-Nya bagi manusia-manusia yang baik hati Dan sebagaimana ditegaskan, Dia tak mungkin mengingkari janji. Bukankah ini cukup menantang keimanan yang sesungguhnya integral dengan segala sikap luhur kemanusiaan?. Keimanan yang menjaga diri dari nista dan penderitaan (neraka), sehingga berakibat pada kebahagiaan (surga). Ia yang feminin. Ia yang maskulin. Orgasme yang kekal. 

Bagaimana surga mungkin dialami, jika orang beriman tak menjaga hidup, tak memelihara kasih sayang, dan hanya menciptakan kerusakan bagi dirinya, bagi sesamanya, dan semesta? Bukankah ini gampang dimengerti, tapi cukup ampuh mengolok-olok perilaku merasa paling suci, dan mempertanyakan kembali komitmen iman yang adalah nilai luhur kemanusiaan di dada orang yang mengaku beriman?

Suatu hari, seorang ustadz tersesat di jalan, ia mencari sebuah masjid. Ia bertanya pada para pemuda yang kebetulan lagi mabuk-mabukan, minum minuman keras di perapatan jalan.

"Maaf jalan ke masjid "Baitul Jannah" ke arah mana yah?" tanya Pak Ustad sambil geleng-geleng kepala melihat pemuda-pemuda yang menenggak arak itu. "Minuman amoral," batin si ustad. "Terkutuklah yang meminumnya!"

"Oh ke arah sana, Pak Ustadz. Emang Pak Ustadz hendak berceramah? Ceramah soal apa, Pak Ustadz?" ujar salah seorang pemuda yang teler.

"Oh iya! Saya jadi penceramah. Ceramah agama dengan judul "Jalan Menuju Surga". Yuk kalian ikut juga deh, biar tahu jalan ke surga, tinggalkanlah minuman dosa ini," bujuk si ustadz.

"Ah! Jalan ke masjid saja ente nanya saya, apalagi jalan ke surga! Apa tidak sama-sama tersesat nanti, Mister Ustadz?"

Para pemuda yang teler itu tertawa terpingkal-pingkal. Terpingkal-pingkal tak kunjung henti. Nampaknya mereka tengah menikmati "kelucuan surga" di dunia yang fana!.


Makassar, 15/02/2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar