Sahdan tatkala Raja Sulaiman memimpin pasukan berkuda, dari kejauhan ia mendengar raja semut berbicara pada seluruh rakyatnya. Raja semut itu memerintahkan seluruh rakyat semut lekas-lekas memasuki lubang persembunyian. Sebab sebentar lagi pasukan berkuda Raja Sulaiman akan lewat. Semua demi keselamatan rakyat semut, agar tidak terinjak-injak pasukan berkuda Raja Sulaiman yang besar, gagah, dan perkasa.
Raja semut sadar - meski sama-sama menjabat sebagai raja, dirinya tak lebih besar dari sebutir debu yang menempel pada baju Raja Sulaiman. Raja Sulaiman tertawa mendengar perkataan para semut. Ia menghentikan pasukannya, guna memberi waktu bagi para semut kecil mengamankan diri.
Kisah tersebut - yang dikisahkan ulang secara bebas, ternyata bukan fabel. Melainkan dikisahkan dalam kitab suci. Ia bagai “dongeng Tuhan” buat manusia, yang menyimpan ajaran, bahwa bukan kebesaran sejati, jika dengan kebesaran itu, ia menginjak-injak yang kecil. Itu bukan kebesaran, melainkan penindasan. Bukan kekuatan, jika dengan kekuatan itu, ia menindih yang lemah. Itu bukan kekuatan, melainkan kesombongan. Maka keadilan -sebagaimana mungkin yang hendak disampaikan narasi kitab suci tersebut, bukan sikap yang hitam-putih. Keadilan bukan pembalasan dendam. Bukan peluru dibalas peluru, atau ledakan dibalas ledakan. Keadilan sejati bukanlah kekejaman terhadap kekejaman, bukan kejahatan terhadap kejahatan.
Namun dalam sejarah hidupnya, manusia meyakini keadilan adalah pembalasan terhadap perbuatan jahat seseorang yang setara dengan perbuatan jahat yang telah dilakukannya. “Nyawa harus dibayar nyawa!” katanya. Padahal pada ayat lain, memberi maaf dan memberi kebaikan bagi mereka yang berbuat jahat adalah kemuliaan di mata Tuhan (QS. Asy-Syura: 40). Tetapi apakah kemuliaan di mata Tuhan itu lebih penting dari kepuasan-kepuasan sejarah dalam melakukan pembalasan dendam? Kenapa untuk menyelamatkan satu kepentingan harus menghancurkan atau merusak ribuan kepentingan lain?
Barangkali lantaran rumitnya keadilan, kisah pada ayat suci di atas mirip dongeng. Hewan - yang dalam hal ini semut, dapat bercakap-cakap seperti manusia. Sehingga Raja Sulaiman menghentikan pasukannya yang agung, cuma untuk menghargai atau -katakanlah, menunjukkan sikap adil sebagai orang kuat dan orang besar bagi makhluk lain yang lemah dan kecil.
Kisah itu memang mirip dongeng. Dan orang boleh tak percaya. Tapi orang tak bisa tak percaya, bahwa sesungguhnya keadilan dalam kehidupannya sebagai manusia selalu menjadi dongeng yang seolah-olah nyata. Tampak rumit, muskil, absurd. Heidegger melihat keadilan - sebagaimana tafsirnya atas Nietzsche, adalah sebutan metafisik atas kebenaran.
Agaknya narasi ayat suci di atas menyindir perilaku sejarah, yang seringkali meyakini keadilan adalah pembalasan-pembalasan. Penuntasan dendam yang disebut hukum. Keadilan lalu menyempit hanya pada atasnama, bukan pada segala perilaku-perilaku kemanusiaan yang sejati. Orang yakin, jika hukum ditegakkan, urusan selesai.
Tetapi persoalannya tak semudah itu. Karena selalu saja penegakan hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah, yang kuat tak tersentuh bahkan menentukan hukum menurut kepentingannya sendiri. Lalu bagaimana mungkin menemukan rasa keadilan di dalam hukum yang katanya ditegakkan itu? Seseorang yang mencuri 1 kg beras karena kepepet demi menafkahi keluarganya, dipenjara bertahun-tahun. Dan keadilan pun terdengar lebih dongeng daripada dongeng, bukan?.
***
Tatkala seseorang hendak mencari hukum, ia menghadapi penjaga pintu yang berdiri sigap dan tegap di depan pintu. Dengan tegas, sang penjaga pintu yang kokoh-kekar sekokoh-kekar pintu yang dijaganya itu, mengatakan pada orang yang datang tersebut supaya dirinya menunggu di depan. Pintu hukum tertutup rapat.
“Hukum sedang sibuk! Harap menunggu!” ujar sang penjaga pintu.
Seseorang yang menunggu dalam “Di Penjelang Hukum”-nya Franz Kafka itu pun menunggu. Ia menunggu bersama perbekalan jauh. Berpuntung-puntung rokok berserakan. Ia menanti sampai cambang dan rambutnya memanjang. Entah berapa minggu, bulan, tahun, mungkin abad ia menunggu. Dan pintu masih tertutup rapat dengan penjaganya yang tegap dan sigap. Barangkali ia bernyanyi lagu lama: “aku masih seperti yang duluuu, menunggumuuu sampai akhiiirrr hidupkuuu... .”
Alangkah sibuknya hukum. Betapa ramai dan rumitnya, betapa ribut dan mustahilnya. Namun ketika seseorang berhasil melewati pintu depan, ia pun harus melewati entah berapa ratus pintu lagi di dalamnya. Pintu-pintu berdiri di dalam pintu-pintu. Pintu di dalam pintu, di dalamnya pintu, terdapat pintu yang dihadang pintu- pintu.
Pada pintu-pintu, orang harus melintas. Ia perlu melintasi batas, guna sampai entah pada apa. Pintu menjadi penanda batas itu. Ia memisahkan ruang luar dan ruang dalam. Di dalamnya, ia memisahkan wilayah dapur dan kamar mandi. Dan terus begitu. Di balik pintu-pintu itu, kita bayangkan meja-meja yang penuh kertas menumpuk dan berserak, berkas-berkas, alat-alat tulis, dan entah apa lagi. Pada satu meja di balik satu pintu, orang memerlukan waktu berabad-abad cuma untuk menemukan sebuah nama atau selembar data yang bercecer entah di mana. Sedang ribuan pintu yang lain masih harus dilintasi, ribuan meja harus dihadapi. Alangkah mustahilnya. Absurd. Seolah memang manusia tak pernah beres dengan segala sistem yang dibangunnya sendiri. Di situ ada begitu banyak kepentingan, atau kebutuhan praktis yang tak sepenuhnya dapat diselesaikan, mungkin selain para pemegang kunci kekuasaan. Orang hendak mendapatkan keadilan dengan cara-caranya yang sangat tidak adil. Tidak fair. Dan curang. Manusia dikorbankan demi sistem. Sistem menjadi lebih utama dan lebih berharga daripada manusia si pembuat sistem itu sendiri. Protokol kesehatan lebih penting daripada kebutuhan mendesak terhadap kesehatan itu sendiri. Betapa sesaknya!
Konon di dalam diri manusia ada pintu-pintu. Bahkan dalam agama, orang menyebutnya “pintu ampunan” atau “pintu surga”. Apakah di balik “pintu ampunan” atau “pintu surga” itu masih terdapat ribuan pintu lagi? Dalam fana, segala batas menegas. Membedakan satu keadaan pada keadaan lain. Satu wilayah dengan wilayah lain. Satu ketentuan pada ketentuan lain. Dan semua itu dipisahkan oleh pintu. Tetapi bukankah tanpa menyadari adanya batas, manusia tak lagi pantas? Sehingga setiap batas harus ditandai dengan pintu, agar orang mengetuknya. Itu melelahkan. Sangat birokratis. Dan absurd. Bahwa kesadaran pada batas perlu dipertegaskan dengan sehelai pintu, lantaran kesadaran pada batas itu seringkali tidak konsisten dalam diri manusia. Dan apakah bagi kaum beriman, Tuhan pun harus menciptakan pintu-pintu bagi manusia guna sampai pada-Nya? Betapa formalnya dan birokratisnya Tuhan!
Meski sesungguhnya batas-batas itu hanya berlaku bagi manusia. Dan jika Tuhan diimani maha-tak-terjangkau, manusia tak perlu mengklaim Dia pada kepentingannya sendiri. Tuhan yang sangat birokratis, menugaskan malaikat-malaikat mengurus dan mendata manusia dengan ribuan berkas, kertas-kertas, atau catatan-catatan. Kemudian menerbitkan sebuah file atau buku tebal yang memuat data, identitas, dan segala perbuatan manusia. Apakah Tuhan membutuhkan hitungan, data, dan berkas-berkas makhluk-Nya? Apakah penting bagi Tuhan untuk mengetahui dan memeriksa segala catatan dan buku amal-perbuatan manusia guna memenuhi sarat melintasi “pintu ampunan” atau “pintu surga”-Nya?
Sahdan di pintu surga, ketika para pemuka agama yang semasa di dunia rajin menghimbau umat pada jalan keimanan, tengah sibuk menunggu dan mengisi daftar identitas diri dan memperinci jutaan catatan amalnya, terjadi keributan. Seseorang dengan topi terbalik di kepalanya, entah muncul dari sebelah mana, tiba-tiba menyelonong seenaknya melintasi pintu surga yang dijaga ketat para malaikat. Para penjaga pintu surga yang kokoh-kekar, terkecoh! Dan pria dengan topi terbalik itu berhasil lolos dengan mudah melewati pintu surga dengan penjagaan berlapis. Para pemuka agama yang mengantre sambil melengkapi berkas-berkas amalnya itu protes.
“Siapa dia? Kenapa dia seenaknya, sudah gak punya sopan-santun, main masuk-masuk saja melewati pintu surga tanpa melengkapi berkas-berkas?” tanya para pemuka agama dengan heran pada para malaikat penjaga pintu surga.
“ Woooh... Itu sopir Pete-pete - angkot! Ketika di dunia dia suka ngebut, para penumpangnya malah berdoa, mendoakannya selamat sampai tujuan. Sehingga dia dipercepat oleh Tuhan masuk surga dari pintu mana pun tanpa melengkapi berkas-berkas, cukup Surat Izin Mengemudi. Sedang kalian, kalau berkhotbah sangat lama, sehingga umat kalian malah memaki-maki dalam hati. Dan kalau kalian berceramah, selalu menciptakan keributan, memperlebar Juarang Kemiskinan, perpecahan, dan kebisingan di dunia. Ajaran kalian tidak memudahkan, justru selalu mempersulit umat. Sehingga banyak orang terganggu. Maka kalian harus mengantre lama di depan pintu surga ini, supaya melengkapi berkas secara detil dan jelas. Kurang satu berkas saja, surga tidak diizinkan,” jawab malaikat penjaga pintu surga tegas.
Mereka pun menunggu di depan pintu surga yang masih tertutup rapat itu, yang dijaga secara ketat para penjaga pintu yang kokoh-kekar, tegap, dan selalu sigap.
Makassar, 10/06/2022



Tidak ada komentar:
Posting Komentar