Hampir tiga dekade silam, tidak lama sesudah Uni Soviet bubar, 'Samuel Huntington' melemparkan pandangan yang kemudian melahirkan perdebatan bahwa sesudah Perang Dingin antara Soviet dengan Barat berakhir. maka konflik selanjutnya akan digantikan oleh perseteruan antara peradaban Barat dengan peradaban-peradaban besar lainnya, terutama Islam.
Ada tujuh peradaban besar, selain Barat, yang disebut Huntington dalam bukunya, yaitu Konfusian (Cina), Jepang, Hindu, Islam, Slavia-Ortodoks (Rusia), dan Amerika Latin. Ya, terlepas dari warisan budaya Eropa yang mereka miliki, Huntington memisahkan Rusia dan Amerika Latin sebagai bukan-Barat.
Esensi dari argumen Huntington adalah konflik pasca-Perang Dingin tidak lagi dilatarbelakangi oleh ideologi, melainkan oleh perbedaan budaya. Menurut Huntington, berbeda dengan ideologi, kelas atau faktor sosial lainnya yang bisa berubah. budaya punya karakter yang sukar untuk diubah.
Sayangnya, tesis Huntington lebih banyak tersanggah dan juga disanggah, daripada disetujui. Menurut Jeane Kirkpatrick (1993), salah satu orang yang paling dini mengkritik tesis Huntington, sebagian besar perang paling berdarah di abad kedua puluh justru terjadi di dalam peradaban, bukan antar-peradaban.
Seperti yang kita lihat hari ini, peradaban Islam, misalnya, lebih banyak diwarnai oleh konflik internal, yang didorong oleh persaingan geopolitik antara Arab Saudi dengan Iran, daripada berkonflik dengan Barat. Di sisi lain, meskipun Rusia dengan Cina telah membangun aliansi militer dan ekonomi untuk menghadapi Barat, serta memiliki hubungan baik dengan negara-negara muslim serta negara berkembang lain di Afrika dan Timur Tengah. namun di Asia, pola aliansi yang terbentuk cukup berlainan. Di bawah agresivitas militer dan ekonomi Cina, banyak negara Asia lebih memilih hubungan militer yang lebih dekat dengan Barat.
Meskipun secara umum tesis 'benturan peradaban' dianggap keliru, namun Huntington sepenuhnya benar ketika menempatkan budaya, identitas dan agama sebagai determinan penting dalam konflik. Sebagai bangsa dengan tingkat kemajemukan tinggi, tesis Huntington telah memberi kita sebuah pe-er penting. Kita perlu menyadari bahwa merawat keragaman agar tidak menjadi sumber konflik bukanlah sebuah perkara mudah. Heboh mengenai rendang babi adalah contohnya.
Dulu, di era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, berbagai konflik dan baku dalih bisa ditekan agar tidak muncul ke permukaan melalui pendekatan militer dan keamanan. Pancasila sebagai diskursus bisa berjalan seolah-olah efektif di ruang publik terutama karena ditopang oleh ‘strong leader’. Kini, pendekatan-pendekatan semacam itu tentunya sudah tidak laku lagi.
Sebab, Untuk meredam konflik kita harus terbuka membangun dialog dan pemahaman. Sayangnya, golongan terpelajar yang seharusnya bisa memoderasi dialog, seringkali justru menjadi pihak yang paling tidak moderat. Mereka lebih suka melakukan monolog dan mengabaikan sudut pandang serta sudut rasa orang lain, seolah pendapat mereka adalah semesta kebenaran itu sendiri.
Jika sudah begitu, lantas siapa yang harus memoderasi dialog?.
**
RENDANG B*B* - ADAB ATAU IDENTITAS?
Di Indonesia, mereka yang sering dicap sebagai kelompok “intoleran”, serta mereka yang sering mendaku dirinya sebagai golongan “toleran”, sebenarnya sama-sama gampang marah. Bedanya, yang pertama marahnya adalah terhadap hal-hal yang menyinggung identitas. Sementara, mereka yang merasa dirinya toleran, gampang sekali marah jika kelompok pertama sedang marah-marah, tanpa sedikitpun berusaha memahami kenapa kelompok pertama itu bisa terpancing amarahnya. Jadi, pada banyak titik, keduanya sebenarnya bisa disebut sama-sama pemarah.
Saya bukan orang Minang atau orang Padang, sehingga tidak memiliki ketersinggungan sebagaimana yang mereka miliki terkait viralnya warung makan Padang non-halal di Jakarta Utara itu. Namun, meskipun demikian, saya bisa memahami kenapa mereka cukup tersinggung dengan adanya isu itu.
Ada dua saya kira sumber ketersinggungan masyarakat Minang terhadap usaha warung makan Padang non-halal yang viral itu.
Pertama, soal identitas. Saya sepakat, (bahan) makanan memang tidak punya agama. Tetapi, ketika ada orang menggunakan label “warung Minang non-halal”, atau “warung Padang non-halal”, urusannya pertama-tama bukanlah soal makanan, melainkan soal identitas yang sudah punya pakem dan tidak bisa didekonstruksi begitu saja.
Secara historis, sosiologis dan antropologis, tidak perlu diperdebatkan lagi jika orang dan budaya Minang sangat identik dengan Islam. “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” sudah menjadi diktum masyarakat Minangkabau. Sehingga, jika ada orang yang tetiba nyelonong begitu saja menggunakan label Minang dan melekatkannya pada hal-hal non-halal, sekali lagi ini bukan soal “makanan tidak punya agama”, melainkan menyangkut isu identitas yang sensitif.
Kedua, soal adab bermasyarakat. Kalau kita bicara kultur Indonesia secara umum, yang bersifat plural, baik secara etnik maupun agama, penjualan produk daging non-halal sebenarnya memang tidak pernah vulgar. Baik di restoran bonafid, maupun di warung kelas kaki lima, penjualan produk olahan daging-daging non-halal selalu disamarkan, atau menggunakan kode-kode atau istilah khusus.
Contohnya, daging babi disebut sebagai “B2”, dan daging anjing disebut “B1”. Ini bukan hanya terjadi di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya muslim. Tetapi juga di wilayah yang secara demografis mayoritas penduduknya non-muslim. Di NTT dan Manado, misalnya, daging anjing biasanya disebut “RW”, singkatan dari “rintek wuuk”, bahasa Manado yang berarti “bulu halus”. Kata “B1” sendiri, ada yang menyebut berasal dari kata “biang”, yang dalam bahasa Batak berarti anjing.
Jadi, entah sejak kapan, yang jelas masyarakat kita sejak lama telah menjunjung adab untuk selalu menggunakan “eufimisme” atau penyamaran, terhadap makanan-makanan yang tidak bisa diterima oleh semua kalangan sebagai bentuk sopan santun. Itu sebabnya, kata beberapa kawan saya, di beberapa kota di Jawa, seperti Solo atau Yogya, misalnya, orang menyebut sate daging anjing dengan sebutan “sate jamu” atau menyebut tongseng daging anjing dengan nama “sengsu”, singkatan dari “tongseng asu”, yang dalam bahasa Jawa berarti tongseng anjing.
Sehingga, jika ada yang berani melabrak fatsoen tersebut, tanpa melibatkan isu agama atau identitas sekalipun, ada persoalan etika yang terlanggar di dalamnya.
Artinya, sebelum marah-marah kepada orang Minang yang tersinggung, sebaiknya kita belajar memahami kenapa mereka merasa tersinggung. Bukankah kalau ada tetangga sedang bersengketa, kita seharusnya mengajak mereka berdialog, dan bukannya ikut marah-marah?!.
Makassar, 16/06/2022
*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar