Diantara empat orang Khulafaur Rasyidin, hanya satu orang saja yang wafat secara "wajar", yaitu Abu Bakar r.a. Dua Khalifah diantaranya, Ustman Bin Afwan dan Ali Bin Abu thalib, Tumbang mengenaskan dalam lumuran darah persengketaan.
Ustman dibunuh dalam satu huru hara yang teramat mirip dengan "mass Coup de etaat" (Kudeta Massal). Huru hara terhadap Ustman ini bermula dari rasa ketidakpuasan Rakyat pada pemerintahannya yang di identikkan dengan Nepotisme dan Kolusi, serta korupsi di lingkaran Klan-Nya. Sedangkan, Ustman Sang Khalifah yang Mulai Uzur ini, pada akhir-akhir masa jabatannya (25-30 H). Praktis tenggelam dalam mengontrol dan mengikuti proyek penulisan Penyatuan Al-Qur'an.
Dalam nukilan sejarah mengatakan, Ustman di tikam (sebahagian sejarawan bertutur, Ustman di tikam saat sedang Mengaji, dari proyek Mushaf barunya yang baru saja di gandakan). Penikaman terhadap Ustman ini di sebabkan, karena massa gagal mendesaknya untuk mengembalikan marwan Bin Hakam (Sekretaris dan penasehat pribadi, sekaligus keluargannya). Marwan dianggap sebagai "Biang" dari kezaliman elit penguasa. Sebenarnya Ketidaktegasan Ustman berkaitan dengan Nepotisme-birokrasinya ini sudah pernah di peringatkan Aisyah r.a. Aisyah bahkan pernah di sambangi oleh para Perwira Untuk mengkudeta ustman.
Namun, keinginan para Perwira ini ditentang oleh Istri Rosulullah yang pintar, cantik serta Muda ini. Pada sisi lain, tawaran Putera-putera Sayidina Ali bin Abu thalib dan Sayidina Umar Bin Khottab r.a. serta beberapa kerabat yang mendatangani Ustman untuk mem-back up khalifah yang sudah mulai Uzur ini, di tanggapi oleh Khalifah, "Aku tak ingin menjadi orang pertama yang menyelisih Rosulullah, di kalangan ummatnya dengan membunuh", (Qurtubi XVI), pada akhirnya Ustman Putera afwan ini pun rubuh.
Sementara Khalifah yang Ke empat, di hadang ketika Ia keluar Rumah menuju Masjid, menjelang Subuh. Ia dibunuh oleh mantan Pengikutnya sendiri yang kecewa, karena mau mengikuti perundingan (Yang Akhirnya dikerjai) pihak Mua'wiyah bin abu Sofyan).
Pembunuhan Ustman dan Ali kental dengan aroma "kekuasaan". Mereka berdua di tikam oleh orang dalam islam sendiri.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada Khalifah ke-dua yakni Sayidina Umar Bin Khottab. Bermula dari dendam. Umar Bin Khottab yang tegas dan pintar ini, di tikam kala sedang memerintahkan meluruskan Shaf jama'ahnya (Konon dengan tongkatnya), sebelum mengangkat takbir sholat subuh. Seorang Budak Persia milik Mughirah Bin Syu'bah bernama Fairuz alias Abu Lu'luah, menikamnya. Ketika Umar bin Khottab di beritahu siapa yang menikamnya, Umar berkata, "Alhamdulillah, aku tak dibunuh oleh orang Islam". Abu Lu'luah berasal dari Persia. Belakangan, Ummat syi'ah menganggap Fairuz alias abu Lu'luah ini bergama Majuzi sebagai orang yang "berani karena agama", karena menikam Umar Bin Khottab. Wallahu a'lam bish shawab.
"Darah tetes ditengah rumah", kata Penyair Taufik Ismail.
Aisyah r.a. bersama Thalhah abu ubaidillah serta Zubair Bin Awwam, mengangkat senjata melawan Ali Bin abu Thalib r.a, setelah gagal mendesak sepupu Nabi Muhammad SAW, ini untuk mengusut tuntas dengan terang benderang pembunuhan terhadap Ustman bin Afwan.
Ketidakmampuam Sayidina Ali mengusut secara tuntas pembunuhan ini, memunculkan "opini liar" ditengah-tengah masyarakat kala itu, Ali merestui gerakan para perusuh membunuh Ustman Dan ketegangan Aisyah ra (cs) ini berakhir dengan perang. Thalhah dan Zubair gugur (kedua orang ini termasuk sahabat yang paling utama Rosulullah, bahkan dianggap memiliki "tiket - jaminan ke Surga)".
Sementara Aisyah ra, Istri Rosulullah - ditangkap dan dipulangkan dengan baik-baik ke madinah. Ketika putera Ali bin Abu Thalib Ra - Hussain bin Ali ra. Menyerahkan hak pemerintahanya ke tangan Muawiyah anak Abi sofyan dan Hindun (Hindun dalam sejarah dicatat sebagai wanita yang pernah memakan jantung atau hati Hamzah -paman Rosulullah, setelah Hamzah gugur dalam peperangan), Ini terjadi pada tahun 41 H. Saudara kembar Al-Hasan Bin Ali - Al Husain Bin Ali Ra, dibujuk oleh penduduk Kuffah - tempat Muawiyah bermukim untuk datang dan Membai'at.
Abdullah bin Abbas Sepupunya, serta Abdullah bin Umar bin Al-khottab, sudah merayunya agar tidak berangkat. Namun ini di tolak oleh Al-Husein. Takdir kemudian menentukan, Al-Hussein bin Ali Ra Bersama keluarga dan para pengawalnya dibantai oleh bala tentara Gubernur Basrah di padang Karbala, hal Ini terjadi di era Yazid Bin Muawiyah. Inilah salah satu episode heroik berbasis etos dendam yang kelak menentukan karakter kelompok keagamaan (Syi'ah). Kepala Al-Hussein di penggal dan kemudian diarak-arak di seputar kota Damaskus. "Darah tetes di tengah Rumah, Ya Rosulullah".
pertumpahan "darah di tengah rumah" terus berlanjut hingga periode dinasti-dinasti berikutnya. Teringat saya dengan Tulisan "viking dan Tartar-nya Syu'bah Asa. Syu'bah Asa mengutip Thantawai Jauhari yang mengatakan bahwa andai saja musyawarah di lestarikan, takkanlah sejarah islam ini di penuni kisah-kisah perebutan kekuasaan yang begitu brutal. Menurut Thantawi Jauhari, apa yang di tempuh penguasa muslim itu tidaklah berbeda dengan kekejaman dan Gaya pengkhiatan raja-raja dan kaisar Despotic Eropa, Cina atau darimana saja. Bahkan juga tidak jauh berbeda dengan kisah Amangkarut II pada masa mataram (Islam) yang pernah membantai ratusan, bahkan Ribuan-santri dan kiai. Apa yang dilakukan Amangkarut II, tak kalah "serunya" dengan apa yang di perbuat oleh Abul Abbas As-Saffa - pendiri dinasti Abbasyiah, yang tanganya banyak dilumuri darah kaum Muslimin (As-Saffah secara Harfiah bisa diartikan "penumpah darah"). As-Saffah dicatat dalam sejarah bersama pasukannya membunuh klan umayyah.
Cerita memilukan ini, di narasikan begitu luar biasa sehingga membuat buluk kuduk "tergidik" oleh George (Jirji) Zaidan dalam Novelnya "Bendera hitam dari Khurasan". Menurut Jirji Zaidan, pada orang arab, Referensi kebrutalan memiliki Historis : Transisi Jahiliyah. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan akan hal ini agar mereka jangan (nanti) akan kembali pada Kekafiran Jahiliyah dimana "Sebahagian dari kamu menebas leher yang lain" (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi).
Kekhawatiran Rosulullah SAW Inilah yang mereka lakukan belakangan. Ini juga yang (mungkin) sekarang dilakukan oleh Bashar Al-Assad yang membantai Ratusan rakyatnya di suriah (Dahulunya menjadi salah satu Encalve utama basis islam Politik). Tetapi apapun kebrutalan yang di nukilkan dalam sejarah, bagi beberapa sejarawan (Thantawi, Ira Martin Lapidus, JE Bosworth, Martin DGS. Hodgson - untuk menyebut beberapa nama diantarannya), tetap memiliki perbedaan dengan kebrutalan viking, Tartar apalagi Amangkarut II (yang terakhir hanya Improve saja).
Di luar kekuasan dinasti Umayyah dan Abbasyiah (dua dinasti besar yang Pondasinya di letakkan dari klan etnik arab), di kenal mempraktekkan "puncak keadilan dan peradaban", ini yang membedakan mereka dengan para despotic eropa, jepang, Cina dan di belahan dunia manapun. Tentu pada masa mereka, dimana tempat kekuasaan raja memungkinkan mereka untuk menjadikan leher seorang rakyat hanya untuk (sekedar) mencoba ketajaman sebuah pedang. Sementara para penguasa Muslim justru mempraktekkan ajaran Al-Qur'an, namun dalam soal politik itu berbeda. Dalam soal politik itulah terjadi pengingkaran terhadap kemanusiaan. Di bahagian hidup yang lain, Dinasti Umayyah dan Abbasyiah memiliki catatan manis peradaban dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.
Referensi : Thantawi Jauhari (1981, ed,ter), Jirji Zaidan (1992), Ira Martin Lapidus (1999), DGS. Hodgson (1998), Syub'ah Asa (1998).
(2)
*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar