Pada zaman dahulu kala, tersebut seorang ahli ibadah memasuki rimba. Tak dijelaskan oleh juru cerita, kenapa harus ada seorang ahli ibadah masuk rimba dan di zaman dahulu kala. Kenapa tak di zaman sekarang saja?.
Sang ahli ibadah berjalan, menempuh perjuangan suci di jalan Tuhan. Di tengah jalan Tuhan itu, empat orang perampok mencegatnya.
"Serahkan perbekalanmu, Ahli Ibadah! Atau mati," ujar perampok mengancamkan sebilah pedang di leher sang ahli ibadah.
"Aku tak membawa bekal, Tuan Perampok," jawab sang ahli ibadah tenang, imannya mantap. Tuhan pasti menolong dirinya.
"Dusta! Apa Isi tas yang kau bawa itu?"
"Ini hanya baju-baju, Tuan Perampok."
"Jangan berdusta, wahai Ahli Ibadah! Kalau dusta, kamu kubunuh! Dagingmu pasti lezat dibakar."
Perampok merampas Tas yang dibawa sang ahli ibadah. Digeledah. Makanan!
"Pendusta!"
Empat orang perampok marah, mereka segera akan menghabisi sang ahli ibadah. Dalam keadaan genting, sang ahli ibadah memohon petunjuk Tuhan.
"Ya Tuhanku, selamatkanlah nyawaku yang telah kupergunakan selalu beribadah pada-Mu," doa sang ahli ibadah sepenuh iman.
Ajaib! Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, "Wahai hamba yang ahli ibadah, sesungguhnya demi menyelamatkan nyawamu, larilah engkau secepat-cepatnya ke dalam gua yang berada tepat di belakang tubuhmu."
Tanpa berpikir, sang ahli ibadah melompat, berlari kencang memasuki gua dangkal yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia lolos dari ancaman perampok. Tetapi empat orang perampok beringas mengejarnya. Dua orang perampok menjaga mulut gua dengan pedang terhunus. Dua orang lainnya memasuki gua. Sang ahli ibadah tak bisa berbuat apa-apa, ia terjebak di gua dangkal yang buntu. Ia kembali berdoa kepada Tuhannya.
"Ya Tuhanku, apa yang harus hamba perbuat sekarang? Berilah hamba petunjuk-Mu dan jalan keluar. Amin," doanya.
Terdengar suara dari langit, "Wahai hamba yang ahli ibadah, nah sekaranglah saatnya kamu mati."
***
Entah siapa yang telah menceritakan anekdot itu. Ternyata berpikir kritis dan terampil dalam bertindak sangat penting dalam memahami petunjuk-Nya. Sehingga seseorang yang beriman pada Tuhan, tidak dicelakakan dan tertipu kemantapan keyakinannya Atau diperalat oleh orang.
Iman bukan ketundukan robot pada tombol-tombol tanpa sedikit pun berpikir dan merasa. Itulah kenapa manusia lebih mulia daripada malaikat. Malaikat berbuat apa saja sesuai perintah tanpa berpikir. Tapi manusia melakukan apa saja menurut konfirmasi akal-pikirannya.
Bagi Sartre, kenyataan "ada" ialah transendental. "Ada" membentuk diri menjadi "ada pada dirinya sendiri" (being-in-itself) dan "ada bagi dirinya sendiri" (being-for-itself).
"Ada" pada dirinya sendiri ialah kenyataan. Seekor kuda tidak pernah jadi kambing lantaran seorang jendral dan seluruh dunia menyebutnya kambing. Esensi dan realitas kuda "ada" dengan dirinya. Tak terdeteksi. Eksistensi yang tak kuasa memberi makna pada dirinya sendiri.
Dalil Jean Paul Sartre - JPS bagai "meraba" sifat Tuhan dengan pengandaian materi. Sebentuk "kecerdasan lain" yang mungkin menarik diurai jika dihadapkan pada kritik-kritik sinis Sartre pada Tuhan dan agama.
Tetapi manusia "ada" dengan kesadaran. Manusia membawa "ketiadaan", ujar Sartre. Manusia menegakkan eksistensi, berbuat "tidak" pada segala yang ada. "Ketiadaan" tercipta lantaran "ber/men-tidak" pada dunia. Kesadaran manusia adalah kasus paling menakjubkan. Manusia terjatuh dari kekosongan, tanpa kehendak. Lalu kesadarannya menggejala. Kesadaran yang jernih : kesadaran diri.
Dengan kesadarannya, manusia dapat melepaskan diri dari segala obyek. Sehingga ia pun sadar, ia bukanlah obyek.
***
Barangkali anekdot tragis di atas, setidaknya, memahamkan kita, bahwa iman merupakan ketundukan rasional (akal-pikiran) dan irasionalitas (jiwa/rasa) yang terhimpun dalam keutuhan manusia yang konkret dan yang abstrak (lahir-batin).
Rasionalitas semata bukanlah iman, sebab ia menolak yang tak terjangkau olehnya dengan pertanyaan-pertanyaan rumit dan panjang. Ia hanya menerima apa yang dapat dijangkaunya. Namun keyakinan pada irasionalitas belaka, bukan pula iman yang kokoh. Iman tanpa rasionalitas bagai mensahihkan kebodohan.
Dia "zahir" dan "batin". Yang irasional sekaligus yang rasional. Yang di luar pun yang di dalam. Keterjangkauan yang tak terjangkau. Ketakterjangkauan yang terjangkau.
***
Kemudian kita mempersepsikan dunia. Melihat kenyataan yang seringkali mengusik hati. Kebencian, kriminalitas, politik yang memuakkan, kemiskinan, perang, dan wabah. Campur-aduk hasrat, bahagia, kesepian, derita, kelucuan, kesombongan, kepedihan.
Dengan hanya keimanan "yang irasional", seseorang selalu merasa kalah dan terancam perubahan. Ia harus memusuhi dan melawan perubahan, karena keimanan "yang rasional" dalam dirinya tak didayakan. Ia tidak mampu melihat dan membentuk dunia secara terampil dan berbaur kreatif dalam perubahan-perubahannya.
Manusia memerlukan lelucon sebagaimana ia memerlukan cermin. Ia melihat siapa dirinya dengan lelucon. Kadang orang yang gemar melontarkan lelucon seks, ia yang hasrat seksnya tertahan, atau yang berupaya mati-matian mengendalikan gairah kelaminnya demi sebuah "ketertiban". Itu menurut seorang kawan yang bukan peneliti. Hanya dengan lelucon, mungkin baginya melepaskan diri dari kungkungan ketakberdayaan atau benteng nasib yang kokoh dan susah dinegosiasi.
Dalam segala yang harus, yang rutin, yang tersusun rapi. Dalam ketegangan hidup, dalam tawanan sistem, dalam kesempitan, dalam keserba-formalan dan baku. Hanya tertawa dapat menghancurkan semua itu. Meruntuhkan segala keharusan dan memporak-porandakan segenap struktur yang mengikat dan memenjara kebebasan tanpa merusak kenyataan, tetapi memberinya perbandingan, menohoknya dengan akal sehat, atau nilai tawar. Konon, asas kehidupan surga adalah kebebasan. Bukan keteraturan yang harus dan meringkus.
Barangkali hal itulah yang berada dalam pikiran Charlie Chaplin. Hanya canda yang berani melawan kediktatoran dan kekejaman tanpa batas. Tatkala dunia bergidik pada Hitler, cuma canda yang sangat memperlakukan Hitler tak ada apa-apanya, di kala kekuatan politik dan militer pun ciut. Chaplin meniru penampilan Hitler, menampilkan Hitler yang menggelikan, kedodoran, dan lucu dengan kumis kaku yang menyedihkan itu.
Bercanda dan tertawa terpingkal-pingkal, menurut pameo, mujarab membebaskan dan menjernihkan jiwa dari tekanan dan kelam hidup yang dilaluinya. Lantaran canda-tawa menampilkan yang spontan, ganjil, dan "menyimpang". Sementara agama mengikat dan memenjara manusia dengan aturan, doktrin, dosa, dan "jalan yang lurus". Ketaatan, kepatuhan, dan ke-menghamba-an manusia pada agama terbukti menciptakan sikap jiwa yang tertutup, bakhil (eksklusif), kaku, gawat, mencegah dengan sangat keras kebebasan, dan perang yang gombal yang meminta korban nyawa serta harta benda.
Agama tak dapat dengan mudah melepaskan diri dari politik dan pragmatisme. Tetapi canda-tawa, selalu berhasil meloloskan diri dari politik, pragmatisme, bahkan agama, dan menyimpang secara mendadak dari jalan yang lurus. Canda-tawa dipandang dari kekakuan beragama, membuat orang murtad dan kufur, tapi sering menyuburkan perasaan riang yang damai. Itulah barangkali penyimpangan dan keingkaran yang menyenangkan!
Bukan hanya dalam pameo Yahudi yang dikutip Milan Kundera, "manusia mikir, Tuhan terbahak-bahak". Dalam khazanah Islam, Allah pun tertawa. Allah menegaskan diri-Nya menciptakan tawa dan air mata (QS.53:43). Dan Allah mengisahkan nabi-nabi-Nya tertawa. Nabi Ibrahim dan istrinya tertawa (QS.11:71-72), Nabi Sulaiman terpingkal-pingkal melihat semut-semut yang lucu itu (QS.27:19).
Memang tak semua canda adalah pembebasan. Sebagaimana tak segala tawa ialah kebahagiaan. Ini hanya keniscayaan, bahwa tak ada yang mutlak dalam hidup ini. Olok-olok yang menjatuhkan martabat orang lain, bukanlah pembebasan. Itulah lelucon penguasa dan orang kaya yang menertawakan kemelaratan dengan janji, hadiah, undian, dengan kata "sedekah" atau "santunan". Ia hanya lelucon tak bermakna, lantaran hanya "lip service sosial" tanpa pengentasan dan pemberdayaan. Inilah mungkin jenis lelucon yang dibenci Allah sebagaimana ditegaskan-Nya dalam teks suci (QS.9:65-66).
Manusia membutuhkan lelucon untuk melihat, bahkan mungkin, menemukan dirinya. Ia perlu menertawakan dirinya. Ia yang mudah menderita. Tapi dengan penderitaannya itu, manusia membuat lelucon dan olok-olok. Hingga ia menyadari keberadaannya. Diri yang kerap menderita dan sukar sempurna dalam kesempurnaannya. Lelucon membebaskan manusia dari perangkat dan label-label yang melekati kepolosannya sebagai manusia. Ia yang tak harus melulu di puncak, melulu di bawah, melulu begitu, melulu dosa dan pahala, melulu perihal surga-neraka, melulu doktrin gombal yang memabukkan. Ia perlu berjeda.
Dalam banyak riwayat kerasulan, dikisahkan Rasul yang suka tertawa hingga terbahak-bahak. Dalam sahih Bukhari-Muslim, Rasul mengabarkan Allah tertawa terpingkal-pingkal melihat dua manusia saling membunuh. Padahal keduanya masuk surga jua. Riwayat ini dapat dipahami, Allah bercanda - kata lain, menyindir manusia dengan tawa. Manusia yang saling menghabisi, tak menyadari betapa ia telah memboroskan tenaga, waktu, dan usia demi melayani nafsu untuk saling menguasai. Dalam sahih Bukhari-Muslim itu pula, Rasul menyatakan Allah memiliki surga yang tak ada kenikmatan apa pun di dalamnya, kecuali Allah menampakkan diri-Nya tertawa gembira.
Riwayat itu sejatinya menegaskan perihal Allah yang baik hati, yang menerima, bebas, dan membebaskan, yang tak pendendam, tak menghakimi makhluk-Nya dengan neraka, kutukan, dan azab yang pedih. Allah yang menyayangi dengan mesra, yang tak sedikit pun berpaling dari siapa saja yang menyimpang atau tersesat dari jalan yang lurus. Bahwa di situ, nilai humanisme tetap harus dijaga dalam diri yang bernama manusia. Tetapi bisakah agama, yang terutama telah melembaga itu, menuju Tuhan yang cair, tertawa, dan memandang segalanya dengan kearifan cinta yang membebaskan?
Makassar, 16-17-18 / 06/ 2022.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar