Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

MEDIA SOSIAL DAN KEMARAHAN KITA ; CITIZEN JOURNALISME



Ketika kasus pengeroyokan terhadap seorang dosen PTN terkemuka terjadi beberapa waktu lalu, sebagaimana halnya kasus “extrajudicial killing” terhadap enam orang anggota sebuah ormas yang terjadi sebelumnya, tak sedikit orang yang mengungkapkan rasa senangnya di akun media sosial mereka. Saya tidak ingin mengomentari apakah hal itu baik atau buruk, melainkan hanya sedikit tertarik pada bagaimana orang-orang telah menempatkan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. 

Ternyata, banyak sekali orang yang menjadikan media sosial sebagai semacam buku harian bagi dirinya. Dalam buku harian, seluruh isi hati dan pikiran memang boleh diutarakan sebebas-bebasnya. Kita boleh mengumpat, memaki, atau bahkan mengucapkan hal-hal buruk tentang/kepada orang lain. Tidak ada masalah. 

Marah dan jengkel, misalnya, adalah bagian dari ekspresi kemanusiaan yang lumrah. Toh yang baca hanya kita bukan?! Toh itu juga hanyalah katarsis, yang meskipun secara etis mungkin tetap dianggap buruk, namun hal-hal semacam itu bisa dianggap katup pelepas agar kita tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk dalam bentuk lainnya kan?! 

Tanpa bermaksud memberi permakluman, sebagai manusia biasa kita memang tidak luput dari melakukan hal-hal buruk, bukan hanya dalam perbuatan, tapi juga dalam soal isi hati dan pikiran. Ketika seseorang yang kita anggap jahat, atau pernah menjahati kita tertimpa musibah, misalnya, seringkali hal pertama yang terlintas dalam hati atau pikiran kita adalah rasa senang, dan bukannya iba. 

Meskipun kita semua mengetahui bahwa rasa senang semacam itu “bermasalah”, namun perasaan semacam itu, menurut saya, masih bisa dianggap sangat “manusiawi”. Dengan catatan: perasaan itu tidak diutarakan kepada orang lain, apalagi di ruang publik. 

Di sinilah media sosial berselisih jalan dengan buku harian. Buku harian ditulis bukan untuk dilihat oleh orang lain. Sementara, media sosial adalah sebuah ruang publik. Kita tidak sendirian di sana. Apapun yang kita tulis di sana tidak bisa diklaim sebagai “note to my self”, karena ada orang lain yang membaca dan bisa menanggapinya. Banyak orang lupa, dunia maya bisa jadi objek perkara perdata dan juga pidana yang sanksinya nyata, tidak maya. 

Ketika dua orang guru besar, satu dari Yogya, dan satunya lagi dari Surabaya, terpeleset menuliskan hal-hal tidak patut melalui akun media sosialnya, kesalahan dua orang itu sebenarnya mewakili kesalahan banyak pengguna media sosial lainnya, yang menganggap media sosial sebagai sejenis buku harian digital. 

Kenyataannya, media sosial bukanlah buku harian dalam bentuk digital. Sehingga, kita harus punya filter dalam menyensor diri sendiri. Tak semua yang ada dalam hati dan pikiran memang perlu diutarakan atau diketahui oleh orang lain. Ada hal-hal yang bersifat manusiawi ketika hanya disimpan, namun menjadi buruk ketika diutarakan. 

Dalam iklim demokrasi, yang pantas untuk jadi objek kejengkelan dan kemarahan di ruang publik hanyalah para penguasa dan oligarki di belakangnya. Lainnya, saya kira, tidak.


*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar