Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

CORET ESAI : KEKAYAAN YANG SIAL


Lalu tubuh dilindungi. Dilindungi dari virus, kecelakaan, dan luka-luka. Tapi bagaimana dengan ruh? Jiwa, kata orang. Lupakan hari ini. Agaknya tubuh lebih penting daripada jiwa, sembari terus menerus dikhotbahkan bahwa jiwa sangat penting. Jiwa lebih bebas, katanya. Lantaran jiwa tak memerlukan masker. Seperti para suporter Euro, tanpa masker dan tak perlu jarak, Di saat Indonesia sedang Pengetatan Aktivitas.

Tapi lupakanlah. 

Rupanya sebagaimana tubuh, jiwa pun memerlukan makanan. Entah apa saja.

Syahrazad dalam “1001 Malam”, menggunakan cerita-cerita untuk melindungi nyawanya, tubuhnya. Ia tak melindungi tubuhnya dengan baju besi, senjata tajam, vaksin, atau masker. Ia melindungi diri dengan cerita-cerita, dengan fiksi yang dibangun dari imajinasi. Sehingga sang raja tak jadi membunuhnya di pagi hari, lantaran sang raja membutuhkan Syahrazad tetap hidup, agar dapat melanjutkan cerita-ceritanya yang tak pernah selesai di malam berikutnya, yang bersambung sampai 1001 malam. 

Betapa setiap kematian di dalam kehidupan selalu memiliki maksud. Pandemi punya maksud, kata sebagian orang. Entah apa. 

Tetapi segalanya ada batas. Hingga di malam yang ke-1001, Syahrazad kehabisan cerita. Ia pun pasrah pada kehendak sang raja yang selalu membunuh perempuan di pagi hari setelah sebelumnya melewati malam pertama perkawinannya. Di negeri itu - sebelum Syahrazad menyampaikan cerita-ceritanya, telah terjadi kematian perempuan setiap hari. Raja mengawini perempuan pada pagi hari, meniduri perempuan yang telah dikawininya itu pada malam hari, lalu memenggal kepala perempuan tersebut pada pagi hari. Demikian terus menerus. 

Terjadi kematian perempuan tiap hari yang dilakukan algojo istana, bukan dilakukan oleh virus Dan Syahrazad sanggup memutuskan rantai kematian itu selama 1001 malam, dengan imajinasinya yang ia tuangkan dalam cerita-cerita. Rupa-rupanya memang di dalam diri manusia selalu tak lepas dari insting mempertahankan diri, kata Freud. Dengan begitu, ia ingin terus hidup nyaman. Keinginan terus hidup dengan nyaman itu, ia lakukan dengan cara membunuh atau melindungi diri dari pembunuhan, dan entah apa lagi. 

Barangkali memang ada peristiwa yang tak selalu berjalan secara sederhana. Tetapi justru di balik kesederhanaannya, sesungguhnya setiap peristiwa menyimpan kepelikan-kepelikan, muskil, dan ruwet. Semua akan kembali pada sebentuk persepsi. Persepsi manusia yang melintasi peristiwa atau meyakini sesuatu di dalam hidupnya. Di situlah kiranya, orang dapat belajar menyadari keterbatasan-keterbatasan pengertian dan pandangannya. 

Luis Borges mengisahkan perihal dua orang yang bermimpi. Kisah ini dibangun Borges dari kisah “1001 Malam” dalam adonan fiksinya yang aneh. Secara "bersejarah", Jorge Luis Borges memberinya titel "Historia de los dos que sonaron" (2 Que Sonaron), Critica, 23 Juni 1934. 

Sahdan sejarawan Arab al-Ishaqi, menuliskan peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah al-Ma'un (786-833 Masehi). Seorang laki-laki bernama Mohamed al-Maghribi yang miskin di kota Kairo mengalami mimpi yang ganjil. Dalam mimpinya, al-Maghribi mendapat petunjuk, agar segera mengambil keberuntungan hidup yang menantinya di Persia, di kota Isfahan. Dengan keyakinan terhadap mimpinya, berangkatlah al-Maghribi ke Persia. Tibalah ia di Kota Isfahan, di mana keberuntungan hidup tengah dipersiapkan Tuhan buat dirinya. 

Saat al-Maghribi bermalam di sebuah masjid, terjadi penjarahan di rumah warga sekitar masjid. Polisi tak berhasil menangkap penjarah. Entah bagaimana, al-Maghribi dituduh karena hanya dia yang berada di sekitar tempat kejadian. Al-Maghribi dipukuli warga hingga babak-belur dan sekarat. Polisi membawanya. 

Di kantor polisi, kepala polisi melakukan interogasi. Dalam versi saya, percakapan antara Kepala Polisi dan al-Maghribi, sebagai berikut. 

"Apa yang Anda cari di Isfahan? Kenapa Anda melakukan penjarahan?", tanya Kepala Polisi. 

"Saya tidak menjarah. Saya meyakini mimpi saya yang memberikan petunjuk, keberuntungan hidup saya menanti di kota Isfahan ini. Ternyata yang saya dapat justru sial dan babak-belur," jawab al-Maghribi jujur. 

Mendengar pengakuan al-Maghribi, Kepala Polisi tertawa keras. 

"Hahaha! Saya 3 kali bermimpi tentang sebuah rumah di Kairo beserta kebunnya. Di ceruk ujung ada jam matahari, di seberang jam matahari terdapat pohon ara. Di seberang pohon ara, ada air mancur Dan di bawah air mancur itulah, terpendam harta yang melimpah-limpah banyaknya. Saya tidak percaya! Tapi kamu manusia jahanam keturunan keledai! Goblok! Mimpi kok dipercaya!", ujar Kepala Polisi. 

Kepala Polisi mengusir al-Maghribi dari Isfahan. Pulanglah al-Maghribi. Ia tetap meyakini kebenaran mimpinya. Kini ia kembali ke Kairo bukan untuk membuktikan mimpinya. Melainkan membuktikan mimpi sang kepala polisi. Al-Maghribi mendatangi tempat yang diimpikan sang kepala polisi itu, dan ia menemukan harta melimpah di bawah air mancur. 

Kisah ini - oleh Borges, dikaitkan dengan kemahamurahan Allah. Kemahamurahan Allah yang tak mungkin diduga manusia.

Pada sejauh dan sedalam-dalam pengertian serta ingatan, Allah tidak terduga, maha-tak-terduga. Bukan Dia mempermainkan manusia ciptaan-Nya, barangkali lantaran manusia pasti memiliki batas pada pengertian (pikiran) dan ingatan sebagai perangkatnya memersepsi dunia. Mungkin orang mengira miskin itu sial. Padahal kaya harta pun sial. Tinggal siapa pelaku, siapa yang melihat, siapa yang memersepsinya.

Meski pernyataan begini lebih terdengar seperti sebuah omong kosong. Tapi rupanya, di situ ada Joker, si sial yang memberontak. Yang hidupnya adalah komedi itu sendiri. Sedang si kaya, lupa berbagi. Bakhil Dan keji pada si miskin. Kalau penyakit orang miskin adalah sakit kepala karena tak punya uang. Sedang si kaya pusing kebanyakan uang. Betapa congkaknya si kaya Dan betapa tragisnya si miskin. 

Sebagaimana realitas, tak selalu berhasil diringkus ringkas dan tepat dalam dugaan-dugaan. Rasionalitas pun sejatinya persepsi sebagaimana irasionalitas, dunia mengada lantaran ia ditegakkan dalam rangkaian ingatan. Selebihnya adalah kegelapan. Sesuatu yang tak pernah dapat dipastikan oleh pengertian-pengertian, barangkali karena pengertian-pengertian harus menyerah pada batas dirinya sendiri. 

Dalam khazanah Islam, disebut "al-insanu sirri wa ana sirruhu" (manusia rahasia, Akulah si rahasia itu sendiri). Hadist qudsi ini menarik, ia menegaskan hanya Dia berhak. Namun Dia memberikan ingatan dan akal-pikiran (ad-dzikra). Sehingga mengharuskan kesadaran kemanusiaan untuk tidak saling merendahkan atau memandang remeh iman dan keyakinan orang lain. Sebab ada batas pengertian terhadap hakikat iman dan dalam hidup yang beranekaragam, yang tak pernah pasti dapat diduga. Melainkan iman itu personal, yang selalu membuat jiwa gugup dan takjub. 

Makassar, 19 Desember 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar