Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

HILANG KEAKRABAN WARGA NEGARA, KARENA BERTANDING INTERPRETASI


Misalnya, Adakah dalang penyerangan Ulama?. "Kita harus menjawab, ada". Lalu, dimana?. "Tentu bukan di Asmat, Di Badui, atau Di Dayak apalagi Di kajang dan Tolotang, dalangnya. Sangat mungkin Dalangnya disekitar Monas.

Elit bangsa kita, ini aneh. Sebab, Setiap ada konflik horizontal, kelompok pertama yang di undang ke istana adalah Kelompok rohaniwan atau pemuka agama. Padahal problem utama kekerasan adalah problem sosial. Akibatnya, kita selalu menganggap masalah sosial sebagai masalah teologis. Tidak Pernah dibongkar kondisi sosial dari kekerasaan tersebut.

Saya berikan contoh, Di tahun 40-an, ada konflik horizontal di India. Ada satu keluarga yang beragama Islam, sudah lima hari mereka terisolasi dirumahnya, tidak bisa keluar rumah, karena ada mayoritas hindu yang sedang mempersekusi minoritas islam.

Si bapak, Karena penanggung jawab penuh keluarga, tidak tahan melihat anaknya yang masih bayi kehabisan susu dan istrinya yang gusar. akhirnya memilih keluar rumah, untuk membeli susu. Istrinya mendaku, Bapak keluarlah untuk membeli susu. sebab, jika tidak. bayi kita bisa mati kelaparan.

Akibat, pilihan keluar rumah itulah, Akhirnya dia di buru dan dibunuh, dihalaman rumah seorang Yang beragama Hindu.

Pertanyaannya adalah apakah bapak tersebut mati, karena dia Muslim atau karena dia miskin?. "Ia Mati, karena Ia Miskin. Andaikan, Ia kaya dan Punya Uang. dia bisa pakai helikopter untuk pergi membeli susu di Super Market. Karena dia tidak punya uang atau Miskin, maka dia meninggal disitu".

kita harus berpikir ulang tentang apa sesungguhnya sosial original dari setiap kekerasan yang terjadi dibangsa ini.

Belakangan Kita berada pada situasi yang sama. Ada Krisis ekonomi, ada daya beli yang rendah, ada persekusi terhadap Ulama dan Ustadz, dsb. Maka, meningkatlah kekerasan. 

Orang kalau kekurangan karbohidrat, kepalanya pusing, bawaannya marah. Lalu, kita sebut dia Orang gila. "Iyya, orang gila yang rasional".

Asal kita tau, bahwa Si bapak yang terbunuh di India itu, terbunuh dihalaman rumah "Amartia Zen", seorang ekonom peraih Nobel yang kemudian menulis begitu bagus tentang problem kemiskinan diIndia. Makanya, dalam Ilmu ekonomi atau Sciene sosial, kerap dikenal terma Zen index, yang memperlihatkan bahwa tingkat kebahagian itu tidak diukur dengan model-model makro. Tapi, tentang apa yang disebut dengan Human development Index (kesejahteraan Manusia).

Ukuran itu tidak ada pada bangsa kita hari ini dan itu menimbulkan ketidakmampuan kita untuk menganalisis. Akibat, ketidakmampuan menganalisis secara kuantitatif, maka kita menginterpretasikan soal-soal tersebut pada soal kualitatif, seperti soal -soal teologis.

"Apakah Indonesia, punya konsep warga negara?".

Suatu waktu Sutan Sjharir naik pesawat, mondar mandir di Indonesia timur. Lalu, dia lihat dari atas topografi bangsa ini. Kemudian, beliau berkomentar kecil, bahwa "bangsa ini sebetulnya melarat dalam aspek kewarganegaraan". 

Iya, melarat. Karena yang dia lihat adalah desa-desa komunal, yang tidak terhubung dengan insitusi modern. Jadi, seolah-olah ini adalah gumpalan-gumpalan komunal yang tidak terkoneksi dengan ayat-ayat konstitusi. Maka, timbullah semacam doktrinasi.

Elit pejabat dan pemerintah berpikir, kita hari ini membangun jalan Tol untuk menghubungkan aktivitas ekonomi. Tetapi, aktivitas Demokrasi tidak dihubungkan dengan jalan Tol. Maksudnya adalah membangun infrastruktur statis tanpa membangun Infrastruktur demokrasi, adalah konflik horizontal yang sesungguhnya.

Hal itu mengingatkan kita, pada seorang BANGSAWAN PIKIRAN, yakni Moh Hatta, yang menuturkan, di sebuah karangannya, "Ke Arah Indonesia Merdeka", yang ditulis delapan puluh sembilan tahun silam. “Negeri tidak madjoe dan ma'moer kaloe tidak dikemoedikan oleh orang jang berpengetahoean tinggi. Bagi mereka mendjadi orang pemerintah boekan karena ketoeroenannja, melainkan karena ketjakapannja sendiri. Boekan bangsawan karena darah, jang mereka akoei, melainkan bangsawan karena otak dan ketjakapan.”

Kita menyaksikan negeri yang dulu dimerdekakan oleh para "bangsawan pikiran" ini terus-menerus terpuruk di tangan para "bangsawan keturunan" yang hanya bisa mematut-matut dirinya di papan reklame saja. Seharusnya kita bisa belajar, bahwa kita sebenarnya memerlukan para pemimpin yang bisa membangun jalan pikiran, bukan sekadar bisa membangun jalan raya!.


*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar