Sahdan pagi. Mendungnya yang tipis. Gerimis menyerbuk manis. Harum rumputan dan daunan basah. Ada yang diam-diam nyelinap ke balik jendela. Berabad lampau, Aristoteles mempertanyakan ada dari segala “ada”: ada mutlak (science of being). Dengan sistematik, Plato mengajukan pertanyaan mengenai “ada”. Pertanyaan-pertanyaan Plato mengenai “ada” tersebut telah membuat pusing orang-orang Sofis. Kaum Sofis berkeyakinan, bahwa “ada” adalah relatif. Sehingga kebenaran pun relatif. Benar dapat menjadi salah, dan sebaliknya. Tergantung bagaimana argumentasi dibangun untuknya.
Perihal ontologis ini, jadi perkara cukup gawat dalam sejarah. Martin Heidegger menyebut problem gawat tersebut dengan kelupaan: forgetfullnes of being. Khazanah filsafat itu, bagi yang tekun mendalami Nahwu, bukan hal asing. Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi menyusun kamus dengan kategorisasi filsafat Yunani. Perkara ontologis bagai terpapar dalam "Kamus al-A'in"-nya yang mashur.
Dalam pergantian musim di Spanyol, Ibn Arabi mengemukakan “ada mutlak” dan “ada yang menjelma”. Seluruh kemuskilan itu hanya dicapai dengan rasa lemah manusia dan memohon ampunan (berharap dan harapan). Barulah ia dapat merasakan kehadiran “ada mutlak” itu melalui humanisme, yakni cinta (rahman-rahim). Sedemikian rupa, hingga ia mewujud secara faktual sebagai manusia yang berakal-budi. Atau meminjam istilah Ibn Arabi: "al-insan al-kamil".
Tapi rumuskan dunia dengan komedi! Entah di mana, itu pernah diucapkan Chaplin, komedian legendaris. Sang tokoh film "The Great Dictator" itu menjalani hidup dalam narasi tragedi; bagai martir modernitas yang berkumis Hitler.
Kita kenang seniman komedi yang agung akhir 70-an, Basiyo yang "menginternasional". Basiyo mengusung kearifan lokal, menciptakan tradisi komedi di tengah masyarakat tradisional. Basiyo merumuskan Indonesia, mengkomunikasikan kearifan lokal secara jenius, natural, lucu, satire. Bercanda, menyapa ke dalam jiwa.
Indonesia penuh komedi yang menyimpan tragedi. Lalu bayangkan parodi Jaka Tingkir yang dihadang 40 ekor Buaya.
Tetapi apakah dunia? Apakah komedi? Dan di manakah tragedi?
Komedi dan tragedi hanya dipisahkan sebentuk dinding yang tak terlampau tinggi. Ketika kesedihan dialami seseorang, kesedihan itulah tragedi baginya. Bagi seseorang yang berada di sebelah dinding kesedihan itu, memandangnya sebagai komedi. Tragedi dan komedi bagai cuma dibedakan oleh jarak pandang yang sangat tipis, oleh dinding yang tak cukup tinggi.
Filsafat telah lama dipelesetkan kawan saya menjadi Pil Sahwat, pil laki-laki lemah sahwat atau ejakulasi dini. Pikiran waras, wajar dan manusiawi bagai melihat sejarah panggung komedi, sekadar tak meratapinya sebagai tragedi. Ia menampakkan sesuatu yang bukan kenyataan sesungguhnya. Ada sesuatu di balik yang tampak. Itu parodi!
Kematian sang Standing Up Comedy, Robin Williams misalnya, menghenyak dunia komedi barat. Banyak sisi gelap Williams tak tampak pada peran melucunya. Ia secara sahih seolah merumuskan kehidupan barat; keceriaan di balik depresi, dari depresi psikologi sampai depresi ekonomi akibat invasi.
Menertawakan tragedi bukan kearifan. Menertawakan komedi atau humor-humor situasi dengan cerdas, mengajari mawas diri. Melihat diri sendiri dan kehidupan dengan pandangan yang sewajar-wajarnya. Kemudian merumuskannya dengan perasaan yang tidak gawat. Konon, bangsa besar adalah bangsa yang dapat menertawakan dirinya sendiri, kata pelesetan. Mendiang Uni Sovyet diguncang gerakan-gerakan humor yang mematikan. Kita mengenal "Mati Ketawa ala Rusia". Komedi segera menjelma cermin agung suatu negara. Ukuran demokratis, komunis, atau tiran dapat dilihat dari kecerdasan dan kebebasan humornya. Begitu juga dengan ketololan dan kecerdasan. Tapi entah kenapa banyak "orang kiri" susah sekali tertawa.
"Apa benar demokrasi telah diinjak-injak Orde Baru selama 32 tahun, Gus?" wartawan bertanya pada Gus Dur tahun 1998. Gus Dur menjawab jengkel; "Gak ada yang menginjak-injak demokrasi di sini! Lha wong demokrasinya saja gak ada, apa yang mau diinjak-injak?"
“Apa kepala Anda saja yang diinjak-injak?” sambung seseorang, entah siapa sambil cekikikan menahan tawa.
Dan di lain tempat di sana, Gus Dur ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Abu Nawas tak mampu menjebol dinding batu. Segala upaya dilakukan. Gagal! Tenaganya yang kecil dan lemah tak sanggup menjebol dinding batu yang besar dan kokoh itu. Ia berpikir keras. Muncul jalan keluar yang menakjubkan, yakni dengan cara meremehkan dinding batu itu, menertawakan dinding kokoh tersebut habis-habisan. Dinding batu memang tidak jebol. Tapi setidaknya, kekokohan dinding batu itu tak menyimpan kekokohan yang mutlak semutlak-mutlaknya bagi Abu Nawas, sebab ia telah berhasil menertawakannya.
Oh alangkah agungnya hidup.
Tokoh Semar yang sakti itu sering kentut. Saya menduga, perutnya selalu kocak. Perut Semar kocak lantaran ia memandang jagat raya dengan kelucuan yang ganjil. Seakan menegaskan, status, kehormatan, harta-benda, pujian, dan entah apa lagi adalah tai. Yang namanya tai itu perlu dikeluarkan lewat belakang, supaya tidak menyiksa perut dan racun dapat keluar. Ia dibutuhkan, tapi untuk dikeluarkan. Di dalam perut Semar itu jagat yang tetap tak mutlak. Sejatinya Semar adalah dewa. Itulah lucunya! Dewa kok manusiawi?
Pelawak-pelawak kita di tivi-tivi hari ini menampilkan humor menjijikkan, tak mendidik, mengandalkan kelucuan dari gerak penghinaan terhadap fisik manusia. Komedi atau humor paling rendah. Apakah ini paralel dengan keadaan bangsa? Rendah, mabuk artifisial, jatuh cinta pada batu dan citra yang palsu.
Humor yang baik sanggup menyerang dunia yang kaku, fanatik buta, dan digoda oleh sikap-sikap intoleran. Tapi ia membutuhkan pelatuk untuk melesat menembus dinding batu. Pelatuk itu adalah siapa saja yang masih ingin hidup dengan wajar dan menyadari agungnya kehidupan.
Mungkinkah kita? Bangsa yang terus-menerus menjadi bulan-bulanan penguasa. "Doa Musafir: Amin. Doa Penguasa: Aman," tulis mendiang Hamid Jabbar.
Kita hidup dalam komedi agung. Di dunia yang meniscayakan komedi agung ini, manusia perlu melucu tapi yang bermartabat, sembari mawas diri, dan menegaskan: tak ada kekuasaan dan keangkuhan mutlak semutlak-mutlaknya. Kalau ada, pasti lucu!
Makassar, 15/08/2020

.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar