Setelah kemenangan 'Joe Biden' di Amerika bersama 'Kamala Harris'. Di sambut dengan nafas kelegaan, tidak dengan Hujat caci yang menjulang tinggi. Sementara rencana kepulangan sampai tibanya HRS di Indonesia, ketengangan-ketegangan masih memecah rakyat. bahkan, sampai hari ini, serapah belum juga berhenti. Entah mengapa?.
Bila kita mendengar Pidato Biden dan Kamala, kita akan menangkap bahwa demokrasi mengalami goncangan. Semacam ketidakpercayaan pada demokrasi. Tetapi, presiden dan wakil presiden AS menyakinkan, bahwa mereka bisa mengatasi hal itu.
Ada sebuah kesan, yang bisa kita petik dari Amerika Serikat, dan itu di buktikan sampai ke presiden ke 46 Amerika Serikat, tentang kemampuan mengatasi problem bangsanya. Selalu ada cara untuk mengembalikan keakraban warga negaranya, dan hal itu memang tertuang di dalam konsitusi AS ; "We Hold The Strue, We the People". Itu yang selalu di ingatkan.
Konflik politik AS mestinya di dedah saripatinya, bahwa pada akhirnya ; siapapun yang berkelahi di dalam kompetisi. Tetap, berorientasi menyelesaikan problem tersebut. hal itu terdengar kuat dari pidato Biden. Bahkan Pidato ideologis Wakil Presidennya, Kamala Harris, yang sangat memukau, bahwa "Amerika akan di olah dengan kemampuan menerima fakta, sekaligus membayangkan harapan, terutama bagi anak-anak muda atau secara spesifik, kamala mengajak perempuan-perempuan As bermimpi se-ambisi mungkin".
Saya berpikir ini adalah ujian pertama bagi publik AS untuk menguji, apa yang di sebut sebagai keragamaan. Sebetulnya, AS sudah mulai di rangsang untuk menemukan cara mengatasi, kalau mau di sebut kaderisasi, mereka sudah menemukannya, saat Obama terpilih menjadi presiden, yang mewakili ras Kulit Hitam. Sekarang Kamala Harris, seorang perempuan sekaligus kulit berwarna. Sehingga, kita menemukan kelegaan bahwa ada masa depan yang baik dari demokrasi, jika ada percakapan yang bermutu diantara para kandidat.
Sedangkan, di Indonesia, penyambutan kedatangan HRS di warnai dengan Baliho-baliho dan spanduk yang di robek oleh orang tidak di kenal. Hujat caci bertebaran lintas maya, bahkan mulut sesumbar seorang artis dengan tanpa rasa malu memaki. Hal itu Menunjukkan bahwa ada ketidakutuhan melihat masa depan. Padahal, presiden Jokowi berkali-kali menyebutkan bahwa tidak ada cebong dan tidak ada kampret. Tetapi, HRS masih di tempatkan dalam frame antagonis.
Seolah-olah yang kita temukan adalah ada ketidaklegaan ketika HRS pulang. Padahal, tugas pemerintah ialah menemukan saripati keragamaan yang di sampaikkan dalam pidato Presiden dan wakil presiden terpilih AS. Jika pemerintah mau belajar. Makanya menjadi wajar jika, sampai detik ini, pihak Istana belum berkomentar tentang kepulangan HRS. Tetapi, bahasa tubuhnya justru sebenarnya menginginkan ketidakpulangan. Artinya tidak ada kesiapan secara mental Negara untuk mengakrabi warga negaranya. Dan hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi di AS.
Saya, orang di pinggiran menganggap, inilah kegagalan kita dalam BerNegara. Sebab, abai menemukan aura kebersamaan dan Menemukan imajinasi tentang kebangsaan. Padahal, pulangnya HRS bertepatan dengan Hari pahlawan.
HRS memang terkenal dengan Oposan pemerintah. dibelakangnya ada politik Islam. Dan kita tau secara mayoritas bahwa islam adalah fakta politik. Bahkan secara ideologis, islam pernah memberi aura di awal-awal kemerdekaan. Mestinya, kita mengerti dan paham tentang psikologi publik. Sebab, Mengabaikan kejernihan rasionalitas yang berlebihan juga tidak baik. Apalagi dengan pikiran tendesius dalam melihat fakta.
Di beberapa soal, saya secara pribadi banyak tidak sepakat dengan metode dakwah yang keras dan agak sedikit memaksa. Namun, tidak dengan mengabaikan fakta, bahwa ada psikologi publik yang berbahagia bahkan sangat emosional kebahagiannya, saat HRS pulang.
Saya menilai, Pulangannya HRS bukan sekedar Momen, tetapi sebuah monumen. Ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang datang dari setiap penjuru dengan semangat kebahagian untuk menyambut pemimpinya. Mereka datang tanpa di mobilisasi. ada yang menggunakan tongkat, ada juga yang bikin dapur umum, dengan kerelaan sendiri. Apa namanya, kalau bukan sebuah Monumen?.
Kesalahan sebahagian kita yang teringklud pada kesalahan Istana dan semua perangkat-perangkatnya, karena menganggap HRS itu bukan pemimpin. Padahal psikologi publik, sudah di olah, sejak 3 -4 tahun yang lalu. HRS itu terbentuk oleh sejarah, dan akhirnya ia tumbuh sebagai pemimpin. Entah, bagaimana cara kita menfasirkannya. Sebab, Fakta pulangnya HRS adalah, pulangnya janji perubahan.
Yang menarik ialah Kekhawatiran Istana, melalui corong kementriannya, sejak seminggu lalu, kerap Mencitradirikan pulangnya HRS, akan membuat masalah. Sehingga HRS adalah tokoh yang harus di awasi, bahkan barangkali harus di singkirkan dalam pakem politik. Sebabnya sederhana, karena sebahagian kita dan Istana serta seluruh perangkatnya merasa HRS adalah pesaing. Mau sampai kapan begitu?. HRS itu manusia, juga ulama. Pasti punya empati. Ajak bicara, jangan ajak perang. Nanti bangsa ini masuk kedalam bara api yang di buat sendiri.
Beginilah, jika semua saluran oposisi di tutup. Sehingga kepulangan HRS, akan dianggap publik untuk memimpin oposisi. Sebagaimana kita maklum bahwa HRS dikenal sebagai oposan pemerintah. Maka tak ayal, jika akan bertemu dengan nama-nama, Seperti ; Gatot, Rizal ramli, dsb. apapun alasannya, mereka adalah tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan istana saat ini. Dan itu baik untuk demokrasi kita.
Makanya, jangan heran. jika kita melihat monumen kepulangan HRS ke Indonesia, dipadati jutaan orang. Karena, HRS tidak pulang dari sebuah Tamasya. Dia pergi, karena peristiwa politik, dan dia pulang di dalam kondisi yang secara politik belum utuh.
Andai, kita lebih orisinil berpikir, tanpa tendensi. HRS bukan saja sebagai sebuah Fakta sosiologis. karena, di belakangnya, ternyata ada ummat yang jutaan. Tetapi, dia juga sekaligus menjadi sebuah fakta politik. Karena, berhadapan dengan kemacetan politik di dalam negeri. publik membuntuhkan adanya Resultante dari krisis ekonomi, krisis legitimasi, krisis kepercayaan. Dan resultante itu tiba pada HRS.
Saya membacanya, secara ideologis, orang-orang menginginkan adanya jenis rezim yang punya justice, yang punya keadilan, yang ada kesetaraan, yang ada penghargaan terhadap pikiran manusia. Dan hal itu, tidak ada Saat ini. Makanya, orang-orang gembira, sekaligus tercengang dan kagum, ketika HRS pulang. Inilah yang di sebut Psikologi publik, yang tidak bisa di jelaskan, oleh segala macam teori intelejen.
Nah, Yang kebakaran jenggot atau kebakaran kumis adalah mereka yang paranoid terhadap konfrontasi pikiran ahklak HRS. Karena, mereka menyimpan banyak rahasia akhlak buruk, dalam politik, Yang secara perlahan akan tersingkir dengan Estabilisme politik indonesia yang akan berubah. itulah yang tidak di tangkap istana, padahal sebuah sejarah. HRS itu melekat pada dirinya Piagam Jakarta. Sekaligus, pada dirinya melekat sebuah peristiwa Politik yang menghendaki dirinya menginginkan Indonesia yang Pancasilais. Jadi, sebenarnya, Mendua cara istana menghadapi HRS.
Jika mendengarkan Pidato Biden yang berkata ; "saya berpidato sebagai calon presiden Dari partai Demokrat. Tetapi, akan memimpin sebagai seorang pemimpin AS". Inilah yang di sebut kelegaan AS. Bangsa itu tumbuh dengan berbgai Konflik internal dan eksternal. Tetapi, selalu saja ada semangat bahwa demokrasi itu memang, seperti Kata Kamala " demokrasi itu sulit, tetapi selalu ada langkah untuk menempuhnya".
Kalau kita selalu belajar, memang bagian yang paling buruk dari demokrasi adalah ia masuk kedalam persaingan irasional, karena ego, karena motif-motif yang terlalu ekslusif, sekalipun hal itu memang bagian dari demokrasi. Namun, selalu saja ada perangkat yang bisa di gunakan untuk merekatkan pertengkaran tersebut.
Kalau saja kita mau jujur membaca bahasa tubuh pemerintah hari ini, ada semacam kegalauan, karena susah menemukan momentum untuk melakukan rekonsiliasi, menghasilkan keakraban dalam mengolah persaudaraan. Padahal momentum kedatangan HRS ini bisa di jadikan pemerintah sebagai perangkat untuk merekatkan kembali keakraban dan persatuan ummat. Saya membayangkan Presiden Jokowi mempersiapkan pidato penyambutan HRS, dengan gagah beliau menyampaikkan bahwa memang dulu pernah terjadi percekcokan dengan HRS, tetapi bangsa ini Harus tumbuh.
satu hal lagi, HRS kerap kali di citradirikan sebagai seorang yang anti Pancasilais, oleh orang-orang yang anti terhadap dirinya. Bisa menulis Disertasi tentang pancasila. Jika SRS Anti Pancasila, Mengapa Ia Justru mengambil sudut pandang Pancasila untuk Disertasinya; apakah HRS mau mengkritik Pancasila atau mau memuji Pancasila ataukah HRS mau menguji daya tahan ideologi pancasila?.
Tetapi, sebagai orang yang mau mengulas Pancasila dalam disertasinya, ia telah menunjukkan dan membuktikan bahwa, ada intensitas yang kuat dalam diri HRS untuk mengerti tentang bangsa ini. Karena, memilih disertasi Pancasila adalah untuk mengerti Bangsa Indonesia. Jadi, pilihan Disertasi Pancasila oleh HRS adalah Pilihan Intelektual yang menujukkan Bahwa HRS memahami pancasila. Tanpa, harus membuat Tagar Saya Pancasila.
Semestinya yang kerap mencitradirikan HRS, mengerti. Ini Indonesia. Bahwa relasi ulama dan umat itu terbangun di atas pilar-pilar sosiologis (hubungan patron-klien). Politik dan figuritas kepemimpinan pemerintahan yang rapuh, membuat publik atau umat nyaman dengan alternatif-alternatif yang lahir dari kepemimpinan tradisional-kharismatik. Jadi, jangan norak dan lebay, bila ada euphoria agak emosional dalam menyambut HRS. Itu biasa dalam suatu masyarakat agama dan politik. Itu biasa.
jujur, pecahnya Ummat menyikapi hal ini berada di tangan pemerintah, mau terus bersebrangan atau rekonsiliasi?. Mau menghindar bagaimanapun, gelombang penjemputan HRS, teringklud bara perlawanan ummat pada rezim. Pemimpin yang punya narasi main hantam seperti palu akan selalu melihat rakyat seperti paku. Tapi, itu sudah kita tinggalkan dalam sejarah orde lama dan baru HRS itu manusia, juga ulama. Pasti punya empati. Ajak bicara, jangan ajak berperang. Nanti bangsa ini masuk bara api yang di buat sendiri.
Fenomena HRS itu langkah, sebab suka atau tidak. belum ada tokoh yang di elu-elukan seperti beliau. Entah apapun motifnya. Saya membaca, ini kegagalan perkaderan OKP, termasuk HMI dalam mengisi kekosongan tokoh yang menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Dan HRS melakukan itu.
*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar