Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

CORET ESAI : SIAPAKAH MEREKA - KEKUASAAN MESIN ATAU INSTRUMEN AGAMA

Tatkala seorang tukang cukur Yahudi yang diperankan Charlie Chaplin dalam "The Great Dictator" mencukur janggut sambil menari, ia tampak jenaka. Tapi mengerikan! Lantaran ia menggunakan sebilah pisau cukur yang seakan-akan serampangan pada janggut dan leher pelanggannya. Terkesan main-main. Dengan ringan, tapi bagai mempermainkan nyawa. Ia tidak khawatir pisau cukur yang tajam itu nantinya akan terpeleset, lalu menggorok leher pelanggannya. Tukang cukur Yahudi berkumis Hitler itu menari mengikuti nada agung Jerman, karya Brahms "The Hungarian Dance No.5" yang mashur. 

Tapi siapa para penindas dalam "The Great Dictator" yang menakjubkan itu? Di situ orang tahu, ada Hitler dan Mussolini. Chaplin memparodikan Hitler yang sewenang-wenang, tapi menyedihkan. Sekaligus menjadi si tukang cukur Yahudi yang lugu, jelata, dan berkuasa terhadap nyawa pelanggannya. Barangkali ia hendak menyampaikan, siapa pun berkuasa pada hidupnya. Alangkah absurd jika kekuasaan seseorang harus merampas kuasa orang lain. Tentu ini humor ajaib. "The Great Dictator" yang lucu mengobarkan daya perlawanan yang manjur. Humornya menghancurkan kekuasaan politik yang disakralkan, menjatuhkan wibawa para penindas. Para penindas itu - sekuat apa pun, ternyata cuma manusia yang pasti tak kebal senjata. 

Kekuasaan cenderung diktator. Ia tidak lebih alat sebuah instrumen, sebuah sistem yang dibuat atasnama janji dan harapan. Betapa pun kuat dan sempurna sebuah kekuasaan, ia harus dikritik, dipertanyakan terus menerus. 

Tetapi siapakah penindas?.

Tatkala Chaplin "yang Hitler" berpidato, ia menyampaikan pesan yang menyerang telak pada penindasan, tapi main-main. Dengan logat Jerman yang kehitler-hitleran, ia meyakinkan: " kebencian akan berlalu, diktator akan mati Dan kekuatan yang mereka ambil dari rakyat akan kembali ke rakyat!", tegasnya. Sekuat apa pun seorang penindas, toh ia akan mati. Tak tahan dan tak berkuasa atas usia. "Prajurit!" ujarnya. Bahwa manusia bukanlah ternak, jangan tunduk pada manusia keji, atau sistem yang dalam "The Great Dictator" ialah "yang gemar berpikir, tapi tak menggunakan perasaan", mereka yang "Machine man (Manusia Mesin), machine minds (Pikiran Mesin), and machine hearts (Hati mesin)." Sebab lanjut si Chaplin - dalam parodi Hitlernya, para penindas hanya membebaskan dirinya sendiri dengan memperbudak rakyatnya. 

Agama dapat menjelma alat penindasan tanpa perasaan. Seringkali guyonan dan tawa dalam agama dianggap tak sopan, main-main, dan dosa. Nyaris para pemeluk agama yang berwatak menguasai dan menindas, menjadikan agama sebagai alat berkuasa, menguasai, dan mencampuri urusan pribadi orang lain. Ia mengharamkan humor dan tawa, karena tawa dapat merusak kesakralan agama serta menjatuhkan wibawa para pemukanya. Agama yang gagal bercanda, hanya memandang neraka atau surga, dan manusia lemah yang penuh dosa. 

Lantas siapa resah? 

Dalam "Coretan Dinding", Iwan Fals menduga "kucing hitam dan penindas sama-sama resah". Sebab coretan di dinding adalah bukti pemberontakan si "kucing hitam" yang "terpojok di tempat sampah atau di tiap kota". Ia menatap dengan mata menyala, waspada, awas pada musuhnya. Dan "musuhnya adalah penindas," katanya. 

Hari ini, sang penindas tak hanya satu atau dua orang. Nyaris setiap gerak dan tingkah partai-partai politik ialah menegakkan oligarki atasnama agama dan demokrasi. Ia belaka alat, "tempat rekreasi", penopang kekuasaan para petingginya. Omong kosong mewakili rakyat! Juga tak perlu Tuhan, apalagi agama. Tuhan dan agama dalam politik cuma tempat sampah, atau alat, tak pernah dapat membasuh politik. Justru dalam politik yang praktis, Tuhan dan agama tampak begitu kotor, dusta, kejam, memperbudak. 

Charlie Chaplin tak hidup di negeri ini, hari ini. Andai ia hidup di sini dan hari ini, ia akan mendapati tak hanya seorang Hitler dan seorang Mussolini. Melainkan ribuan dengan nama, posisi, dan pola yang berbeda. Tetapi dengan watak yang sama: penindas. 

Sesungguhnya di dalam kenyataan, makna sudah sama peyotnya dengan manusia. Renta. Rapuh. Dan juga sia-sia. Tetapi pada satu keadaan, agaknya orang tak bisa hidup tanpa kebermaknaan. Segalanya harus ia ukur makna. Atau dengan kata lain; bertanya “apa maknanya”. Sama halnya segala-gala harus dengan benda-benda. Bahkan manusia sendiri dianggap dan diperlakukan sebagai benda-benda atau nilai tukar. Mempertanyakan kebermaknaan dari sesuatu, sejatinya watak kekuasaan. Makna selalu saja menciptakan keributan, ramai, dan ke-tidak-sungguhan. Tak segalanya memerlukan makna. Ombak di lautan tak membutuhkan makna untuk tetap membelai bibir pantai. 

Tetapi ketidakpuasan manusia atas makna, membuatnya telah menyakiti dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan pun memanjang, berbelit-belit, dan bersifat material. Tepat di titik itu, ia terjerembab dalam sebuah komedi. Barangkali itu yang membuat Charlie Chaplin harus memperlakukan manusia sebagai onderdil sebuah pabrik dalam filmnya yang termashur. Jika sebuah pabrik memerlukan onderdil, maka onderdil utama dari sebuah pabrik adalah manusia itu sendiri. Bukankah itu komedi yang sangat tragis? 

Dalam film bisu (silent movie) “Modern Times” (1936), Charlie Chaplin mengisahkan betapa sial dan celaka seorang yang hidup dalam ketakberdayaan di tengah modernitas. Modernitas yang tak mengenal manusia, hanya mengenal mesin dan benda-benda. Sahdan tersebutlah “manusia modern” atau manusia yang berada di tengah zaman yang disebut modern bernama Little Tramp (Gelandangan Kecil). Ia miskin. Tapi perlu hidup. Untuk itu, ia perlu membiayai hidup. Membiayai hidup harus dengan uang. Maka agar uang, ia harus kerja. Dan pekerjaan di situ susah. 

Segalanya diganti mesin. Tetapi manusialah yang harus menjalankan mesin. Menjalankan mesin harus terus menerus. Ke-terus-menerus-an itulah yang membuat manusia adalah bagian dan bahkan mesin itu sendiri. Menjadi onderdil. Ditindas. Menjadi lucu. 

Little Tramp (Gelandangan Kecil) mewakili manusia tak mujur yang diproduksi mesin dan kekuasaan terhadapnya. Diperas dan diperalat. Komedi hidup tak membutuhkan kata-kata. Lantaran kesedihan di dalamnya tak terwakili kata-kata. Barangkali begitulah Charlie Chaplin. Dalam komedi, mungkin saja suatu dialog tak memiliki porsi. Tetapi bagi sang pelaku - bagi dirinya sendiri, yang digerakkan komedi, dialog - untuk menampilkan komedi, memanglah tidak penting lagi. Lantaran ia adalah komedi itu sendiri.

Tetapi bukankah memang dalam banyak sekali keadaan di tengah zaman ini, pembicaraan hanya basa-basi kepalsuan? Orang tak merasa harus mewujudkan simpati dengan sikap kemanusiaan, merasa tak perlu bertanggungjawab atas segala ucapan dan pengertian-pengertian. Segala bentuk simpati dan perhatian cukup diwakilkan pada ucapan-ucapan tanpa beban, atau penanda gambar. Di saat bersamaan, orang sudah tampak selesai dan dangkal dengan gambar dan adegan-adegan. Ia telah menjadi onderdil. Seperti sebuah mesin, perhatian yang tanpa perasaan, tanpa sikap, tanpa tindakan. Dan terhadap yang tertindas kalah, ia diam tanpa keterlibatan untuk melakukan pengentasan. 


Makassar, 21/05/2020




Tidak ada komentar:

Posting Komentar