Mengenai Saya

Senin, 01 Mei 2023

CORET ESAI ; MABUK - MABUKAN


Konon batas kepuasan adalah tak ada batas. Tapi manusia itu ganjil, katanya. Ia akan menjauhi nasehat tatkala ia tengah dalam keadaan baik-baik saja. Kelak, cepat atau lambat, ia membutuhkan nasehat ketika mengalami kejatuhan, celaka, dan babak belur disiksa ketidakpuasan dirinya sendiri. 

“Siapakah saya?", tergolong pertanyaan kuno yang sering dilemparkan para pertapa, ahli spiritual, bahkan penjual obat di pasar tradisional untuk mengelabuhi khalayak. Tapi agaknya, pertanyaan tersebut bukan pertanyaan main-main. Meski seringkali dilontarkan secara main-main. 

Dalam sebuah film Jerman bergenre techno-thriller, berjudul “Who Am I; No System Is Safe” (Who Am I; Kein System ist sicher) tahun 2014, garapan Baran bo Odar, dikisahkan seorang bernama Benjamin, sang hecker yang jenius itu berhasil meretas sistem komputer Badan Intelijen Negara. Dialah pemuda yang sejak kanak mengalami kesepian dan selalu tak berdaya di hadapan perempuan idaman yang berkulit putih bagai salju. 

Kesepian dan kegagapan dalam berhubungan dengan lawan jenisnya, membuatnya tenggelam jauh-jauh dalam kegilaan pada komputer. Sejak kecil ia telah meyakini, tak ada sistem yang aman dan tak terpecahkan. Lantaran sehebat apa pun sebuah sistem, ia tetap saja garapan manusia, yang membuka sejumlah kemungkinan untuk dijebol. Ia memakai nama samaran dengan sejumlah anonim yang misterius. Siapa dia? Orang tak tahu. Sang hecker sejati pun sampai pada suatu kebingungan purba : “siapa aku?” 

Rupa-rupanya di tengah kepalsuan yang disebut-sebut sebagai wabah kemarin, yang membuat kalangan bawah menjerit dan terperosok dalam kelesuan dan kesusahan ekonomi, “siapa kamu?” dan “siapa aku?” seolah-olah menjadi pertanyaan genting di balik semua ini. Deras mengucurnya informasi tak membuat segala persoalan mudah diatasi. Lantaran info-info itu tampil dengan tipuan, terpotong-potong tidak utuh, disampaikan oleh entah siapa, diviralkan oleh anonim, dan gerombolan main-main yang mencari kepuasan ganjil seperti kelainan jiwa. Sehingga sebagian besar info itu menyesatkan. Tetapi dipercayai, bahkan diimani. 

Lalu pertanyaan; “siapa penyampai?” dan “siapa penerima?” yang menjadi sasaran apa-apa yang disampaikan, rupanya tak banyak disadari. Segalanya mengemuka sedemikian cepat. Singkat Dan masif. Kenyataan tercacah-cacah oleh dugaan atau pandangan yang tak sepenuhnya dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Mereka pun tampil sebagai ahli, pakar, dan penjaga keamanan. Seolah ada segerombolan orang yang tertawa tercekik-cekik atau terbahak terbatuk-batuk sampai berguling-guling setelah merasa puas mensetting atau mendesain suatu keadaan. Ada yang lagi asik jahilin dunia, bisik seseorang. 

Pertanyaan “siapa aku” dan “siapa kamu?” itu absurd. Tetapi orang lain, kambing, benda-benda, apa pun di sekitar saya dan yang saya punya dapat jadi sebentuk peta, petunjuk, atau penanda perihal sebenarnya "siapa saya". Bagaikan sebentuk sistem yang tersusun oleh keadaan. Yang tak mudah ditelusuri tanpa keterbukaan. Namun yang tak pernah aman. Meski ia disembunyikan atau dilindungi secara kokoh. 

Orang bilang, eksistensi tidak penting. Yang terpenting "apakah kau bisa memfungsikan diri dengan tanggungjawab manusiawi menurut keadaanmu dalam kehidupan sehari-hari?". Jika tidak. Maka terbentuklah manusia instan yang tak berupaya memfungsikan diri di tengah kehidupan, tetapi merasa punya, dan ingin diakui. Seperti anak kecil yang melompat-lompat merasa dirinya seorang Batman atau superhero.

Setidaknya Don Quixote dalam Carventes menggambarkan sosok 'pahlawan jadi-jadian' menurut apa yang dikhayalkannya. Sehingga dengan gagah berani, Don Quixote mengangkat pedang, berperang melawan baling-baling kincir angin. Dia membayangkan kincir angin itu makhluk jahat yang akan menghancurkan bumi. Sang pahlawan harus menghalanginya demi kebenaran dan keadilan. Berabad-abad tak ada yang bisa mengutuk Don Quixote yang melaju kencang bersama kudanya itu, kalau kita hadapkan ia pada adagium JPS - Jhon Paul Sartre, "Manusia di kutuk untuk bebas!" 

Air yang dijatuhi batu tak pernah tersinggung terhadap batu, sehingga tidak lalu ingin jadi batu atau menghancurkannya. Kalau air ingin jadi batu atau menghancurkan batu karena batu telah menjatuhinya, segera hal itu menjadi lucu. Jangan ditertawakan. Tapi kasihanilah. Karena betapa repotnya hidup yang ia jalani. Ini kata orang bijak entah siapa, yang jelas bukan dari kaum pengacau. 

pertanyaan-pertanyaan perihal siapa aku dan siapa kamu itu, mengingatkan pada percakapan antara seorang hakim dengan sosok jenius yang tolol, Nazaruddin Hoja. 

"Wahai Nazaruddin, kenapa kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?" tanya seorang hakim yang sedang tidak melakukan penghakiman. 

"Apa iya?" jawab Nasrudin. 


Makassar, 28 Januari 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar