Mengenai Saya

Kamis, 04 Mei 2023

HASRAT AKAN IDENTITAS


Ada sebuah "kaidah rohani" yang saya pegangi untuk melihat segala masalah, baik yang bersifat keagamaan atau umum, "Keragaman adalah sunnah atau hukum Tuhan yang akan selalu melekat pada semua hal. 

Mungkin kaidah ini, bagi sebagian orang, dianggap klise dan "truisme" belaka - sesuatu yang sudah "self evident", benar dengan sendirinya, tidak perlu dijelaskan lagi. Tetapi, sering kali kita atau minimal saya, melupakan kaidah dasar dalam ciptaan Tuhan ini. Bukti bahwa kita sering lupa hal ini adalah kecenderungan kita untuk (kalau bisa) memaksa semua orang sama dengan diri kita. Mungkin "pemaksaan" ini tidak kita lakukan secara terang-terangan. 

Pemaksaan ini kita lakukan secara "sembunyi-sembunyi", misalnya: secara diam-diam kita, dalam hati, sebenarnya "ingin", menghendaki agar semua orang sama pendapat dan pandangannya dengan diri kita. Jika ada yang berbeda pendapat, kita mencoba, dengan argumen yang berbusa-busa, untuk meyakinkan orang itu bahwa pendapat dia salah, dan hanya sayalah yang benar. 

Dalam bahasa filsafat, kita bisa mengatakan: hasrat akan "identitas" (yaitu segala hal harus sama dengan "diri" kita), selalu ada pada setiap manusia. Jika ada yang berbeda, kita langsung cemas dan ingin "menaklukkan" perbedaan itu agar bisa terserap dalam "identitas diri" kita. 

Dengan kata lain, Tuhan menghendaki perbedaan, tetapi diam-diam kita menghendaki "kesamaan". Ketika "liyan" atau orang lain sama dengan diri kita, kita merasa "nyaman", tenang, karena kedirian kita terkonfirmasi. Tabiat manusia memang cenderung melihat dirinya sebagai "pakubumi", pusat untuk melihat dan mengukur orang lain. 

Jika orang lain itu sama dengan kita. misalnya, warna kulitnya, budayanya, agamanya, dll., kita akan senang. Jika dia berbeda, kita merasa terancam, atau minimal cemas. Dalam bentuknya yang buruk dan destruktif, hasrat ini bisa muncul dalam bentuk "agresi": menyerang pihak lain yang berbeda. 

Era medsos saat ini memberikan ruang yang luas, bahkan memfasilitasi bangkitnya agresi atas "liyan" yang berbeda ini, sebagaimana terungkap dalam Facebook Papers yang bocor dan menjadi kontroversi akhir-akhir ini di Amerika. Platform seperti Facebook bekerja melalui sebuah algoritma yang unik: yaitu meningkatkan "keterlibatan" (engagement) melalui isu-isu yang "divisive", membelah publik, menimbulkan polarisasi. 

Sifat manusia memang cenderung menyukai hal-hal yang "panas". Polarisasi adalah situasi panas yang menaikkan "selera" netizen untuk ikut "nimbrung" dalam percakapan, dan dengan demikian tingkat "keterlibatan" akan naik. Naiknya keterlibatan netizen berarti mengucurnya keuntungan moneter bagi pencipta sebuah platform. Sifat-sifat alamiah yang menyukai hal-hal yang "panas" inilah yang dimanfaatkan dengan cerdik oleh Facebook dan platform medsos yang lain. 

Jik kita telusuri lebih dalam, apa sih sumber utama polarisasi itu? Sumbernya tiada lain adalah hasrat akan identitas. Karen kita ingin agar semua orang "sama" (identik - identitas) dengan diri kita, tetapi toh kenyataannya itu tidak mungkin terjadi (karena "by nature", realitas akan selalu beragam), maka lahirlah situasi ini: "Saya" versus "mereka" yang berbeda. Polarisasi biasanya muncul bukan sekedar karena ada "liyan" yang berbeda. Polarisasi adalah tahap lebih lanjut dari keragaman yang faktual itu - yakni, kehendak kita untuk memaksa yang lain itu sama dengan diri kita. 

Saya sendiri memiliki kecenderungan ini. Saya, misalnya, sering tidak sabar manakala melihat orang-orang yang memiliki pandangan keagamaan yang tidak sama dengan diri saya. Saya, diam-diam dalam hati, sebetulnya ingin "menaklukkan" argumen orang-orang itu agar mereka berubah pandangan dan menyetujui pendapat saya. Saya diam-diam merasa cemas, mungkin malah terancam, terhadap orang-orang semacam itu. Diam-diam, saya memiliki pikiran semacam ini: ketika seluruh dunia sudah seragam dan sama dengan diri saya, barulah saya merasa bahagia dan damai. Sebelum itu, saya cenderung "gemas" dan ingin melakukan "jihad" untuk menaklukkan liyan-liyan yang berbeda itu. 

Hasrat akan identitas dan kehendak agar orang lain sama dengan diri kita, itu adalah sesuatu yang "alamiah" pada setiap manusia. Mungkin ini adalah bagian dari mekanisme atau cara manusia untuk pertahanan diri; "survival mechanism". 

Tetapi, alangkah baiknya, manakala hasrat itu mendesak-desak dan hendak menyatakan diri ke permukaan, kita mengingat kembali "kaidah rohani" di atas: bahwa Tuhan menghendaki keragaman di dalam segala hal. Berbeda itu adalah common Law- Siklus Sunnatullah yang menjadi aset berharga untuk merajut kebersamaan.  

Berbeda itu selalu menyisahkan sisi menarik dan menghasilkan sebuah pertanyaan, mengapa kita harus bersama. Berbeda dalam dialektika dan berargumentasi adalah hal yang lumrah untuk dinikmati. Berbeda adalah mozaik peradaban yang harus dibumikan untuk bertemu pada hukum harmoni dalam resonansi cinta yang luhur.  

Menafikan perbedaan dalam symphoni ke-aku-an dan ke-ego-an dapat menihilkan kekuatan cinta yang telah terbingkai dalam kesatuan gerak simultan menuju kesejatian & kesempurnaan hidup. Di tengah perbedaan yang tercipta, selalu tersimpan kerinduan membara untuk mengurai kebencian menjadi kecintaan nan tulus.  

Sebuah kata bijak para pujangga, "Kecintaan yang tulus selalu terkontaminasi oleh kebencian yang kesumat dan kebencian yang kejam selalu melahirkan kehangatan cinta yang tiada tara". 

Berkenaan dengan itu saya teringat dengan sebuah Diktum, yang berbunyi ; 1. "Rojulun yadri Allahu yadri (dia tahu bahwa dia tahu)" : Orang Bijak. 2. "Rojulun la Yadri Allahu yadri (dia tidak tahu bahwa dia tahu)" ; orang bodoh. 3. "Rojulun Allahu yadri la yadri (dia tahu bahwa dia tidak tahu)" ; orang Cerdas. 4. "Rojulun la yadri Allahu la yadri (dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu)" ; orang Jahil muraqqob (bodohnya dobol) atau kerap disebut sebagai orang Pandir. 

Diktum diatas adalah ungkapan yang di sampaikkan Al-Ghazali. Sekalipun jauh sebelum Al-Ghazali pernah di utarakan Oleh Phytagoras dalam versi yang lain. Pernyataan tersebut, sebenarnya memperlihatkan, bagaimana jarak antara orang bijak dan orang pandir.  

Apakah Al -Ghazali juga belajar filsafat Phytagoras?. Itu soal lain, Sebab Seluruh filsafat yunani, antara tahun 500-1000 SM, berhenti pikirannya, manuskrip dan naskahnya dibawa oleh filusuf-filusuf Arab atau di selamatkan oleh filusuf-filusuf Arab. Lalu, kemudian dibawah lagi ke Inggris. 

Yang hendak saya Underline adalah Perdebatan dengan orang bodoh harus di klasifikasi : "mana yang bodoh karena belum tahu dan mana yang bodoh karena dia tidak tahu bahwa ia bodoh". Jika ketemu, orang yang kedua, maka segera tinggalkan. Sebab, lebih menguntungkan buat hidup kita.


*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar