Apakah perselingkuhan atau seorang peselingkuh dapat menciptakan “pulang”?. Tidak. Ia tak akan pernah humanis atau manusiawi. Hanya tubuhnya yang pulang ke rumah, tapi jiwanya yang telah kejam dan tega pada keluarga, berada di luar sana. Itu kiranya gambaran kekuasaan yang diam-diam atau secara terbuka menampakkan kecongkakan.
Rumah tak belaka tujuan pulang dari bepergian. Ia juga menyimpan ingatan, menerima kelelahan, kenang-kenangan. Juga rahasia suci seseorang.
Rasa memiliki membuat manusia bebas dan puas. Tetapi juga angkuh. Orang tak turut merasakan derita orang lain yang tak punya hak milik. Ada orang pulang ke tempat bukan miliknya atau rumah tangga yang numpang di rumah orangtua.
Apa yang benar-benar milik kita, jika segala yang kita miliki itu tak selalu bebas kita nikmati? Tanya seseorang. Pertanyaan yang seringkali menyusup dalam cerita-cerita Budi Darma perihal yang memiliki, namun yang gagal menikmati. Absurditas yang tercipta dari misteri kepribadian manusia. Kepribadian yang ditutupi topeng berlapis-lapis, sikap dan perilaku yang palsu. Yang terhormat, tapi bejat.
Dalam teori dramaturgi sosialnya, Erving Goffman mengurai perihal perangkat sosial yang digunakan memanipulasi atau dengan kata lain, menyamarkan kenyataan sesungguhnya dari kepribadian. Goffman menganalogikan perilaku sosial itu dengan sebuah pentas teater. Ada permukaan (front region), belakang (back region), dan "expressive equipment" (perangkat kepribadian). Ditata sedemikian rupa hingga menampilkan kepribadian tertentu (sebagaimana diandaikan) dalam kehidupan.
Barangkali benar pameo ; seorang penjahat hebat akan tampak sebagai pahlawan Dan pahlawan sering disalahsangkai sebagai penjahat. Bukankah pahlawan atau penjahat hanya ditentukan konteks?. Kita tak butuh pahlawan mati yang dapat dihidupkan lagi pada hari ini. Yang dibutuhkan ialah pahlawan hari ini dan dari saat ini, tapi ialah "gambaran tak sempurna" dari yang diyakini baik di masa lampau.
Seseorang butuh alasan barangkali tak terungkapkan, yang membuatnya selalu atau rindu pulang. Rumah, kata orang, adalah tempat harapan. Di situ, anak-anak tumbuh dan hidup dengan leluasa dalam naungan orangtuanya.
Seringkali rumah menunjukkan kepribadian pemiliknya. Mungkin juga status sosial. Pemuja kemewahan akan menghiasi rumahnya dengan barang-barang mewah yang bahkan tak jelas fungsingnya.
Bagaimana yang tak punya rumah? Bagaimana kehidupan anak-anak mereka yang tak punya rumah itu? Orang---sekali lagi masih katanya, selalu lupa untuk bersyukur. Dan betapa abstrak perasaan syukur itu.
Syukur punya rumah, tinggal bagaimana menjaganya sebagai ruang harapan dan jati diri yang baik, di mana seseorang aman menyimpan rahasianya, tempat merawat kenang-kenangan yang dalam. Kerja dan kesibukan menjadi bermakna ketika rumah menerima kelelahan yang diistirahatkan di dalamnya. Bangunan yang tak hanya dihuni tubuh. Tapi juga jiwa.
Punya rumah tidak mudah. Terlebih dalam kesempitan ekonomi. Kredit pun ditempuh, agar orang dapat menaungi rumah tangga dan anak-anaknya. Banyak orang tercecer lantaran tak punya rumah, anak-anak dididik orang asing karena mereka tak punya tempat pulang yang tenang, atau rumah tak menyediakan kenyamanan dalam menyimpan harapan dan cita-cita penghuninya.
Rumah dan pohonan, anak-anak dan masa depan mereka, rumah tangga dan tanggungjawabnya menjaga dan merawat kebahagiaan. Sepertinya tak ada kemerdekaan di ruang semewah apa pun yang disewa, sebab tak punya hak milik permanen atasnya.
Tapi rumah---seburuk apa pun, membebaskan seseorang dengan rasa kepemilikan dan harapan. Betapa manjurnya pulang, mujarabnya rumah; anak-anak yang sedang tumbuh itu merdeka mencorat-coret tembok-temboknya. Betapa vitalnya pulang, ia perlu dihargai. "Tak ada kata seindah pulang," ujar orang yang dalam bepergian.
Konon, rumah adalah "tanah surga" di dunia. "Raudhah" kata Rasul. Dan kita menebusnya dengan kerja, iman, harapan. Sebab di rumah itulah, anak-anak akan tumbuh menjadi manusia.
Keperkasaan bagi Ibnu Arabi, sebagai sifat "jalal". Keindahan adalah sifat "jamal". Terciptalah laki-laki (jalal) dan perempuan (jamal). Kedua sifat itu integral dan saling menguatkan dalam diri manusia.
Sederhananya barangkali, keperkasaan (jalal) tak berarti keperkasaan jika tak dijiwai keindahan yang puncaknya ialah termanifestasinya kelembutan (jamal). Keperkasaan tanpa kelembutan adalah kekejaman. Keindahan tak berarti sebagai dirinya sendiri tanpa dijiwai keperkasaan yang pada puncaknya ialah termanifestasinya kekokohan. Keindahan tanpa kekokohan adalah kelicikan dan kekejian.
Humanisme dalam kajian mistik Islam itu, sejatinya membawa pada panggilan sejati dalam diri, yakni pulang. Di dalam pulang, tiap kepergian dihayati, tiap kebersamaan disyukuri. Rumah dikokohkan keteguhan hati yang menjaga (jalal), diperindahkan kehalusan rasa (jamal) yang meneduhkan.
Yang tidak punya rumah, mungkin berpikir "andai punya rumah". Lalu kenapa yang sudah punya rumah terasing di rumahnya sendiri lantaran lupa betapa pentingnya rumah bagi anak-anak, bagi kelelahan, bagi kebebasan, dan harapan-harapan?
Rumah saja tak sudah, tetapi ia memerlukan cinta, kerja keras, semangat, harapan yang selalu belum sudah. Rumah, kata Ebied, tempat pulang "yang kotor dan kecil penuh cita-cita".
Makassar, 3 Juni 2021


Tidak ada komentar:
Posting Komentar