Menyesali masa lalu, tak membangun hari ini dengan kewajaran. Orang pun merasa, betapa cepat segalanya berlalu. Ada jalan panjang dalam ingatan. Tempat-tempat kenangan membuat orang ingin kembali. Mungkin pada seseorang yang pernah ada di situ, yang datang lagi, mengusik ingatan.
Orang lupa, ingatan bukan tempat manusia hidup. Meski tanpa ingatan, manusia mustahil menjalani hidup dengan wajar. Orang bertanya ; kenapa segalanya terasa jenak. Pertanyaan yang selalu tiba tanpa tanda tanya. Benda-benda, kedaaan, seks, dan kebahagiaan. Segalanya jenak. Berubah. Orang segera meninggalkannya, tatkala ia terlelap dalam tidur. Lenyap di dalamnya. Tak berdaya dalam keadaan bawah sadar itu. Suatu kedaaan yang bagi Sigmund Freud, tak dapat dikuasai manusia. Segala yang tak terencana terjadi dalam tidur. Dalam mimpi-mimpi.
Derita pun jenak. Hanya saja orang merasa waktu terasa panjang lantaran ia menolak derita yang menyergap hidupnya. Juga politik. Jenak. Namun meninggalkan bekas yang seringkali melukai sejarah. Orang mengandaikan masa lalu berada di seberang sana, hari ini di sini, dan masa depan di seberang yang lain.
Jarak itu dipisahkan oleh ingatan. Penanda Atau sebentuk sudut pandang. Sedang waktu tak pernah membelah dirinya menjadi bagian-bagian yang terpisah. Semua berada dalam laju waktu Atau "lengang" yang manusia "tertidur" di dalamnya, bagai kisah pemuda dalam ayat suci yang terlelap berabad-abad dalam goa. Padahal ia merasa hanya terlelap semalam saja. Halim Bahriz mengigaukan nasib realitas, nasib waktu yang dihuni manusia dalam puisi "Proyek Pemujaan 24 Jam".
[02:11] kau pulas selengang genangan. tuhan pensiun dari takdir-takdirnya.
Sejarah, barangkali bagi Bahriz, tak lebih "etimologi yang bisu itu mengucap lagi rahasia purba dalam dirinya". Keganjilan Atau serangkaian peristiwa yang tak kunjung dapat dijelaskan dengan mudah lewat kata-kata. Mungkin lantaran kata tegak sendiri di luar peristiwa. Bahkan boleh iya, di luar kehendak-kehendak manusia.
Orang dapat berkaca pada peristiwa yang diuraikan secara tak sempurna lewat kata, monumen, prasasti, dan entah apa lagi. Segalanya tampak terpotong-potong. Terbelah dalam sebidang media Dan kita menafsirkannya. Tetapi sastra, dengan tafsirnya yang menerobos peristiwa, selalu hendak mengutuhkan segenap gerak, waktu, dan materi melalui kata dengan mengkaribkan kata pada nasib peradaban. Hingga kata menjelaskan segala yang ditelan sunyi. Seolah sendiri tanpa eksistensi.
Dalam pewayangan, dikisahkan tentang Reksi Durna. Seorang yang berbaju dan berprofesi mulia, yakni guru dan agamawan agung. Tetapi, berjiwa licik dan rakus bagai bhuta. Sedang sesosok bhuta, berjiwa ksatria, berhati mulia, berwawasan guru agung. Dialah Kumbakarna. Karakter-karakter tokoh dalam pewayangan, menegaskan sekali lagi, manusia itu melewati lorong panjang untuk mengenali dirinya.
Dirinya yang menyedihkan di tengah kegembiraan-kegembiraan ganjil yang tak terjelaskan. Sedang Semar menyindir dengan gaya tertawanya yang "tertawa, tapi tampak menangis" Dan pada sekali waktu, "menangis, namun tampak tertawa". Ia hendak menghancurkan simbol-simbol yang disembah manusia melampaui nasib dan realitas kemanusiaannya.
Tatkala setiap realitas dan keniscayaan yang begitu rumit dan kaya dilipat ringkas belaka dalam simbol-simbol, justru manusia gagal mengenali realitas. Ada orang yang marah-marah melihat simbol agamanya dilecehkan. Ia merasa simbol itu mewakili atau adalah harga diri dan kehormatannya. Ia lupa, tepat di saat ia terbakar lantaran simbol agamanya dihina, ia telah memberhalakan benda. Menyembah penanda yang tak lain berhala simbol, yang dulu pernah dibabat habis oleh Nabi Ibrahim di istana kesombongan Namrud. Sehingga Nabi Ibrahim dibakar. Bakarlah habis segala berhala dalam diri manusia itu sendiri.
Apa yang tak berlalu, kata orang, akan berlalu jua. Apa yang dipuja, akan habis ditelan masa. Digilas atau diinjak-injak perubahan. Lantaran berhala simbol dalam diri manusia, tak pernah dapat menyelamatkannya dari realitas yang selalu lolos dari ringkusan penyimbolan. Itulah kenapa, memuja yang maha-tak-terbatas meniscayakan pada kesadaran kemanusiaan untuk mengerti, menjaga, dan merenungkan segala yang terbatas. Keterbatasan-keterbatasan dalam realitas yang tak boleh selesai dihayati, diarifi, diolah, dijalani.
Ketaksadaran pada batas, membuat manusia menciptakan Tuhan sebagai dirinya sendiri. Bagai Fir'aun yang tak menyadari batas dari kekuasaannya. Bahwa segala batas ialah jenak. Kesejenakan dari segala yang sesungguhnya tak jenak, lantaran waktu mengekalkan semua yang tak kekal dalam dinamika geraknya yang mengecoh manusia dengan "pulas" dalam "lengang" yang "menggenang" itu.
Kalau manusia telah mengimani berhala simbol, mempersetankan batas, dan menyembah dirinya sendiri. Maka, sebagaimana dicemaskan Bahriz dalam puisinya: "tuhan pensiun dari takdir-takdirnya". Karena manusia dengan segala simbol-simbolnya itu, telah menggantikan Dia.
Makassar, 23 maret 2021

.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar