Mengenai Saya

Jumat, 05 Mei 2023

GEGERA HUJAN SEHARI, JEJAK HILANG (Presiden Seumur Hidup Dan Kebulatan tekad 3 periode) ; CITIZEN JOURNALISME


Tahun 1963. Presiden Soekarno ditetapkan oleh MPRS menjadi Presiden “seumur hidup”. Limit akhirnya cuma satu, sampai Soekarno meninggal dunia. Dibeberapa literatur yang saya Daras, Keputusan ini memang tidak bulat. Ada suara yang berkeberatan di MPRS. Pelanggaran terhadap UUD 1945 serta menumbuhkembangkan kultus individu, menjadi pertimbangan pihak-pihak yang berkeberatan tersebut.

Namun, waktu itu, Soekarno sedang “digdaya”. Sedang kuat-kuatnya. Sehingga tidak ada anggota MPRS yang berkeberatan untuk menyatakan secara nyata dan lantang menentang.

Ditengah-tengah masyarakat, muncul anggapan dan opini, apabila menolak keputusan MPRS tersebut, berarti menolak ketokohan Soekarno. Menolak jasa-jasanya terhadap republik ini. Beberapa lapisan masyarakat di Indonesia masa itu, menyambut dengan antusias ketetapan MPRS itu. Mereka menemui Ketua MPRS, Chairul Saleh, untuk sekedar menyatakan, “kami mendukung Soekarno ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup”.

Tapi ada yang berani bersuara nyaring. 'Rasuna Said', misalnya. Seorang anggota MPRS. Melalui salah seorang yang dekat dengan Soekarno, yakni Ny Supeni, Rasuna Said memberi pesan politik untuk disampaikan ke Soekarno, Ia tak bisa langsung menyampaikan pendapatnya kepada Soekarno, karena beliau (Rasuna Said), waktu itu sedang terbaring sakit. Maka, melalui Ny. Supeni, ia berpesan, agar “Soekarno menolak pengangkatan beliau menjadi Presiden seumur hidup. Jangan mendahului kehendak Allah SWT.”, demikian kira-kira Pesan itu disampaikan Ny. Supeni pada Soekarno, “Dari orang yang Soekarno kenal baik, Rasuna Said”, kata Supeni.

Soekarno kemudian menjawab, “saya akan menyatakan pendirian saya, jika usul tersebut dibicarakan di MPRS”.

Lalu, dalam sebuah rapat akbar disebuah alun-alun, setelah MPRS menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, beliau berkata, “MPRS telah menetapkan saya sebagai Presiden seumur hidup. Saya mengucapkan terima kasih atas penghormatan itu. Tapi, saya berharap agar MPRS meninjau kembali ketetapan tersebut”.

Soekarno kembali mengungkapkan pernyataannya ini, dengan menyelipkan aroma “sindiran” pada tahun 1967, ketika MPRS mencabut TAP MPRS Tahun 1963 tentang Presiden seumur hidup tersebut. “Saudara-saudara yang membikin ketetapan MPRS tersebut dan menetapkan saya sebagai Presiden seumur hidup, kan?. kalau saudara ingin mencabutnya, itu terserah saudara. Dulu, saya pernah menyampaikan di sebuah rapat akbar, agar meninjau kembali ketetapan itu !”.

Kalian yang bersikeras, saya menerima saja. Demikian, mungkin, yang ingin disampaikan Soekarno.

Soekarno kemudian padam. Bintang yang bersinar terang itu, pudar. Ia membawa beberapa beban politik yang selalu dijadikan justifikasi historis-politik otoriternya beliau, dikemudian hari. Salah satunya, mengutak atik konstitusi. Menjadi Presiden seumur hidup.

Padahal, bila kita lihat bagaimana konteks lahirnya ketetapan MPRS saat pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, kita akan mafhum, MPRS-lah yang berperan penting. Soekarno, defensif.

Sayangnya, ia mempunyai kesalahan. Seperti teori dramaturgi, menolak didepan umum. tapi toh, ia menerima ketetapan itu.

Lalu Soeharto. Menjelang Pemilihan Umum 1992. Soeharto sudah mulai sepuh. Sudah menjadi Presiden Republik Indonesia penggal kelima (1967-1973/1973-1978/1978-1983/1983-1988/1988-1993).

Menjelang Sidang Umum MPR Tahun 1993, didepan beberapa media massa, termasuk TVRI, Soeharto sering melontarkan pernyataan bahwa walau tidak menyalahi konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 7 bahwa Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Soeharto juga meminta agar dipertimbangkan bahwa usianya sudah 72 tahun.

Pada waktu dilantiknya Soeharto menjadi Presiden RI untuk kelima kalinya (1988-1993), dikabar beritakan beberapa media massa nasional mengutip peryataan salah seorang anak Soeharto, bahwa ini merupakan pelantikan terakhir.

Lalu, apa yang berlaku?. Alamsyah Ratuprawiranegara, pensiunan militer yang pernah menjadi Menteri Agama RI (Seumpama Jenderal Fachrurrozi kemarin, seorang pensiunan militer jadi menteri Agama), mengusulkan sebuah istilah, yang bertujuan untuk “memohon” agar Soeharto tetap dilanjutkan di periode ke enam. Walau di tahun 1988, sudah ada sinyalemen dari keluarga Cendana, melalui salah seorang anaknya, bahwa periode kelima, Cukup sudah. Apatah lagi, di tahun 1993, Soeharto sudah mulai sepuh. Istilah yang diusulkan oleh Alamsyah Ratuprawiranegra tersebut adalah “kebulatan tekad”. Istilah ini kemudian menjadi berita yang sering dikabar beritakan di media massa dan TVRI jelang Sidang Umum MPR 1993.

Kebulatan tekad tersebut dikondisikan dan diopinikan sebagai bentuk permintaan tulus dari bawah. Dari berbagai lapisan masyarakat. Isi kebulatan tekad ini, selalu seragam ; “meminta Soeharto kembali menjadi Presiden periode ke enam. Tak ada putra bangsa, hingga saat itu, sekaliber Soeharto”.

Memang waktu itu, ada pihak-pihak yang mulai menawarkan agar jabatan Presiden Republik Indonesia, tidak berlama-lama. Tak sama seperti Soekarno. kecenderungan itu, sudah terlihat pada diri Soeharto. Sudah melewati penggal ke-lima, Sudah 25 tahun.

Maka, beberapa Perguruan Tinggi, salah satunya waktu itu, Universitas Gajah Mada mengusulkan agar MPR mulai mengatur masa jabatan Presiden, walaupun tidak tegas seperti batas jabatan Presiden Amerika Serikat yang hanya dua periode saja. Tidak boleh tiga kali berturut-turut. Usulan tim UGM ini tidak hanya mengenai pembatasan jabatan Presiden saja, tapi juga menyinggung Dwi Fungsi ABRI (isu yang “ngeri-ngeri sedap” masa itu), desentralisasi-otonomi daerah, serta kehidupan kepartaian dan lain-lain.

Bagaimana reaksi MPR waktu itu?. Wajar rakyat memiliki keinginan untuk mengusulkan pembatasan jabatan Presiden. Tapi menurut pimpinan MPR, pencalonan (kembali) Soeharto tidak salah, karena itu konstitusional. keinginan masyarakat agar Soeharto (kembali) menjadi Presiden untuk penggal ke-enam pun, menjadi basis legitimasi dari pimpinan MPR yang ingin menyampaikan pesan, "ingat rakyat masih mau". 

Kebulatan tekad yang massif menjelang Sidang Umum MPR menjadi pegangan pimpinan MPR. Soeharto bagaimana?. Beliau seperti biasa, tersenyum saja bila ditanya. Tergantung kehendak rakyat, adalah bahasa yang sering dilontarkan Presiden yang digelari “Smilling General” tersebut.

Usulan kalangan Perguruan Tinggi, tetap diterima oleh MPR. Tapi kalah oleh gencarnya kebulatan tekad yang massif itu. Dalam Sidang Umum MPR 1993, Soeharto dilantik kembali menjadi Presiden penggal ke enam. Fenomena Kebulatan Tekad ini tetap berlanjut jelang pemilu 1997, tapi tak semassif jelang pemilu 1992. Soeharto dilantik lagi periode ke-7. Dalam beberapa pemberitaan di media massa dan TV, semua itu (terkesan) bukan keinginan Soeharto, tapi keinginan MPR sebagai representasi rakyat Indonesia.

Ketika, Harmoko, ketua MPR hasil Pemilu 1997, meminta Soeharto mengundurkan diri, karena eskalasi politik dan resistensi masyarakat yang demikian massif menolak Soeharto. Harmoko banyak ditertawai berbagai pihak, sekaligus dipuji. Diketawakan, karena sebelumnya, Harmokolah yang paling getol menyampaikan pesan, “rakyat masih membutuhkan Soeharto”. Disisi lain, dipuji karena loyalis militan Soeharto ini, berani meminta Soeharto mundur. Pendulum sejarah berjalan.

Lalu, dalam satu tahun terakhir, Jokowi mulai diidentikkan dengan tagline politik #3 periode. Pihak yang menyokong ini, menganggap, kinerja Jokowi bagus dan harus dilanjutkan. Persoalan konstitusi, bisa “dibicarakan” di DPR/MPR. Bahkan pihak legislatif yang mayoritas merupakan “kubu” Jokowi, terkesan “memahami” keinginan berbagai kalangan masyarakat agar Jokowi lanjut ke periode ke-3.

Lalu bagaimana dengan Jokowi ?. Di berbagai kesempatan, sebagaimana yang diberitakan di media massa dan Televisi, Jokowi selalu mengatakan, “kita harus menghormati konstitusi. Saya tidak berkeinginan untuk menjadi Presiden periode ke tiga. Kalau ada yang mengusulkan itu, bagi saya, pengusul tersebut bisa jadi melakukan dua kemungkinan, menjebak dan menjilat”.

Belakangan, ada kata bersayap ; kita menghormati konstitusi, saya tidak ingin menjadi Presiden periode ke tiga kalinya, tapi kita menghormati hak konstitusi MPR. Kalimat terakhir, mengingatkan saya dengan kalimat Soekarno di rapat akbar, kebulatan tekad dan permintaan Harmoko di masa Soeharto.

Kita akan lihat, apakah Jokowi terpengaruh dengan bujuk politik. Tetapi, sebaiknya dua periode jauh lebih baik, dibandingkan lebih dari itu. Keputusan dua periode itu adalah keputusan sebagai hasil evaluasi yang lahir dari perjalanan panjang sejarah bangsa di dua presiden terdahulu (Soekarno dan Soeharto).

Semoga dua periode tersebut, menjadi “perjalanan yang walaupun tak panjang, tapi dalam sebuah miniatur yang padat”.

Dari ketiga padangan diatas, ada kesamaan yaitu kecintaan yang membabi buta, sehingga menumpulkan logika. Semoga saja presiden Jokowi tetap punya komitmen atas jabatan presiden dua periode.

Tetapi, disemua bangsa atau negara, ada aliran pendukung yang fanatik. Misalnya, Presiden 'Duterte' menerima pencalonan dari partainya untuk Pilpres 2022 sebagai cawapres. karena konstitusi Philipina, jabatan presiden hanya 6 tahun saja dan tidak ada dua periode.

apakah presiden Jokowi mau menjadi cawapres pada 2024?.

Stigmatisasi akan melekat, bila pola 'duterte' diterima. Menyiapkan secara maksimal dan (presisi) penggantinya, tentunya melalui partai politik, itu menurut saya jauh lebih rasional, elegan dan akan menjadi yurisprudensi serta pembelajaran politik masa yang akan datang.

Hukum sejarah akan berlaku, "rindu itu akan datang belakangan".

*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar